SILENCE
Dalam Analisis
Sosiologi Agama
Tulisan sederhana ini menyajikan
beberapa buah pemikiran yang merupakan hasil analisis (ditinjau dari perspektif
Sosiologi Agama) terhadap karya tangan Shusako Endo, SILENCE. Beberapa pertanyaan yang diajukan dosen pengampuh mata
kuliah Sosiologi Agama pun menjadi rujukan utama untuk menentukan arah
pembahasan. Agar lebih mudah menganalisis dan menemukan “butir-butir emas” yang
terkandung dalam buku tersebut, penulis sengaja memberi uraian dalam bentuk
wawancara (pola tanya-jawab).
1.
Apakah
tema pokok yang dipaparkan di dalam
buku ini?
Dengan berlatar belakang periode penuh pergolakan
dalam sejarah Jepang, yang dikenal sebagai “abad Kristen”, Shusako Endo, yang
dijuluki Graham Greene-nya Jepang, secara dramatis mengisahkan dan menampilkan
dalam bukunya, SILENCE, perjalanan
panjang yang melelahkan dan penuh dengan derita beberapa pastor Jesuit
berkebangsaan Portugal. Ketiga pastor tersebut adalah Sebastian Rodrigues,
Francisco Garrpe, dan Juan de Santa Marta. Sejak awal, ketiganya memang
bertekad untuk meneruskan penyebaran iman di Jepang. Di samping itu, mereka
juga hendak mencari tahu kebenaran mengenai kemurtadan Christovao Ferreira, seorang
biarawan-imam Jesuit yang telah menjadi sumber inspirasi bagi para imam serta
umat yang setia selain karena sikapnya yang bijak dan pantang menyerah, juga
karena dipandang sebagai misionaris berpengalaman, guru (teolog) dan provincial mereka.
Setelah kematian Juan de Santa Marta di Macao karena
menderita sakit dan pengalaman perpisahan yang berujung pada kematian Francisco
Garrpe, kisah yang termuat dalam SILENCE kemudian
berpusat pada perjalanan Sebastian Rodrigues. Dalam perjalanannya yang panjang
dan melelahkan itu, Rodrigues bergulat hebat dengan keyakinannya, terutama
ketika ia dihadapkan pada situasi pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan
besar-besaran terhadap para misionaris dan umat Kristen di Jepang. Tambahan pula, dalam situasi yang sedemikian
genting seperti itu, Allah seolah-olah menutup mata dan telinga sehingga tidak dapat
melihat dan mendengar penderitaan serta jeritan pilu umat-Nya. Pertanyaan
reflektif yang selalu menjadi bahan pergumulannya adalah mengapa Allah tetap
membungkam dan selalu tinggal dalam keheningan yang nyaman bagi Diri-Nya
sendiri, seolah-olah don’t care terhadap
‘via dolorosa’ umat-Nya? Selain
karena ancaman yang menyesakkan dari pihak pemerintah Jepang, situasi ini jugalah
yang pada akhirnya berhasil menghantar Rodrigues pada suatu keputusan radikal-kontroversial
berupa tindakan simbolis: menginjak fumie.
Meskipun ia melakukannya karena desakan penganiayaan yang begitu hebat,
terutama terhadap masyarakat tani Jepang yang beriman nasrani, tindakan ini
tetap dipandang sebagai penyangkalan terhadap imannya sendiri. Dengan demikian,
ia secara otomatis dianggap keluar dari Gereja dan masuk dalam kategorisasi
kaum murtad. Karena tindakannya itulah, ia lalu dijuluki sebagai ‘si Paulus
murtad’.
Bertolak dari garis besar isi novel berjudul SILENCE di atas, dapatlah dilihat bahwa
Mr. Endo sebenarnya mengemukakan masalah-masalah seputar keimanan dan Tuhan,
dosa dan pengkhianatan, mati sebagai martir dan pengingkaran iman. Meskipun
demikian, masalah utama yang tetap menarik perhatian Mr. Endo sejak awal adalah
konflik antara Timur dan Barat, terutama dalam kaitannya dengan Kristianitas. Karena
beraroma kebarat-baratan, Kristianitas sulit beradaptasi dengan daerah Asia Timur
Jauh, Jepang yang memiliki tradisi/kebudayaan, kepercayaan, sejarah, dan
sensibilitas yang samasekali berbeda. Ketidakmampuan untuk beradaptasi secara
radikal ini lantas membuat kehadiran Kristianitas tidak diterima dan ditolak
yang kemudian berujung pada aksi pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan
terhadap para Kakure Kirishitan.
Berdasarkan pemahaman ini, Mr. Endo lalu menarik suatu kesimpulan tegas, yakni
bahwa Kristianitas harus beradaptasi secara radikal kalau ingin menumbuhkan
akar di “rawa-rawa” lumpur Jepang. Dalam keseluruhan bingkai inilah tema pokok yang
termuat dalam buku SILENCE tersebut dapat
dikupas tuntas.
2.
Apakah
gejala sosial (jika ada) yang
dijelaskan di dalam buku ini? Jawablah pertanyaan ini dalam konteks dilema pokok yang dihadapi oleh Rm. Sebastian
Rodrigues yang didampingi rekannya, Rm. Francisco Garrpe saat penindasan dan
penyiksaan terhadap Kakure Kirishitan setelah kekalahan Pemberontakan
Shimabara.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, dalam perjalanan
panjangnya yang melelahkan itu, Rodrigues berhadapan dengan berbagai tantangan
berat berupa pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan. Di tengah situasi yang
tidak kondusif tersebut, ia terperangkap dalam sebuah pilihan yang dilematis:
tetap mempertahankan atau justru menyangkal imannya sendiri. Ironisnya, kedua
pilihan tersebut lebih bersifat menjerat daripada menjadi solusi untuk dapat
keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Mengapa? Karena keduanya memiliki
konsekuensi buruk yang juga dilematis. Di satu sisi, jika ia tetap berpegang
teguh pada keyakinannya, yang dikorbankan adalah umat kristiani Jepang yang
umumnya berasal dari masyarakat kalangan bawah yang miskin dan sederhana. Jika
hal itu sungguh terjadi, akan semakin banyak para pengikut setia Kristus yang
menderita, dan bahkan mati sebagai martir demi mempertahankan imannya. Efek
sampingnya, secara kuantitatif populasi umat Kristen di Jepang (terhitung
dengan begitu banyaknya juga yang menjadi murtad) perlahan-lahan berkurang, sehingga
pada suatu saat pastilah kehadiran Kristianitas di tanah Jepang hanya tinggal
kenangan. Di samping itu, motivasi awal kedatangan Rodrigues dan kedua
sahabatnya pun, yakni mau berkorban demi memperkuat akar (baca: menyelamatkan)
benih-benih Kristianitas yang telah ditabur atau ditanam di ‘rawa-rawa’ lumpur
Jepang, menjadi tidak bermakna lagi dan sekadar sebagai bualan belaka.
Sementara itu, di sisi lain, apabila ia menyangkal
imannya, ia tidak jauh dari atau sama seperti Yudas Iskariot yang berani
mengkhianati Yesus Kristus, Putera Allah yang kehadiran-Nya di dunia tampak
dalam Gereja-Nya yang suci. Lagipula tindakan penyangkalan tersebut tidak hanya
melambangkan kegagalan misi seseorang (Rodrigues), tetapi juga merepresentasi
kegagalan Gereja Universal dalam mewartakan Kerajaan Allah, sebuah tugas
perutusan yang diserahkan kepadanya oleh Kristus sebagai kepala. Hal ini jelas suatu
tindakan yang sangat memalukan dan dalam kacamata iman dilihat sebagai tindakan
tercela yang dapat mendatangkan murka Allah. Jika tindakan itu sungguh terjadi,
konsekuensi lebih lanjut yang harus ia tanggung adalah dikeluarkan dari
komunitas gerejawi, dicoret dari daftar misionaris, dan siap dikategorisasi
sebagai kelompok kaum murtad. Predikat sebagai “Si Paulus Murtad” setelah
tindakan penginjakan terhadap fumie yang
dilakukannya mempertegas konsekuensi ini.
Kedua masalah ini menjadi dilema pokok yang dihadapi
Sebastian Rodrigues. Melalui kedua dilema pokok tersebut, gejala sosial yang
termuat dalam buku ini pun ditampilkan. Gejala-gejala sosial itu tidak hanya
mencakup gejala agama, tetapi juga menyinggung gejala sosial yang lain, seperti
gejala ekonomi, politik, moral, dsb. Sejak awal, gejala agama memang menjadi
isu sentral dalam buku ini. Lagipula permasalahan yang diangkat pun semata-mata
berkutat pada lingkaran agama saja. Justru karena isu agama itulah, tercipta
konflik sosial dalam masyarakat Jepang. Pengejaran, penganiayaan, dan
pembunuhan, tindakan-tindakan amoral yang mencoreng harkat dan martabat sebagai
manusia, yang dilakukan oleh pemerintah Jepang baik terhadap para misionaris,
maupun masyarakat Jepang yang menganut Kristianisme itu sendiri adalah bukti
nyata adanya konflik sosial tersebut.
Sementara itu, gejala ekonomi diangkat karena de facto hubungan yang baik antara
Jepang dengan para misionaris (Portugis dan Spanyol) pada mulanya terjadi
karena hubungan dagang. Barang-barang yang bernilai ekonomis yang dibawa oleh
para misionaris itu memikat daya tarik masyarakat setempat dan juga para
penguasa, sehingga terciptalah mekanisme pasar dan transaksi jual-beli pun
mulai dipraktikkan. Hubungan dagang yang baik itu jelas berimplikasi positif.
Dengan segera, pertumbuhan dan perkembangan Kristianitas terjadi.
Seminari-seminari, gereja-gereja, rumah sakit, biara-biara, dsb dibangun untuk
menunjang kehidupan benih Kristianitas yang baru ditaburkan di ‘rawa-rawa’
lumpur Jepang tersebut. Ini merupakan masa-masa keemasan Kristianitas di
Jepang. Setelah situasinya berbanding terbalik, gejala sosial-ekonomi tetap ada,
tetapi yang menjadi fokus perhatian kini adalah (terlepas dari masyarakat
Jepang yang umumnya masih hidup miskin) nasib masyarakat Jepang beriman
Kristiani yang hidup di bawah taraf kesejahteraan hidup rata-rata. Situasi ini semakin
diperparah dengan adanya kebijakan pemerintah terkait pemungutan pajak sebesar
sepuluh persen dari masyarakat tani tersebut. Kebijakan ini jelas semakin
membebani kehidupan mereka. Dengan kondisi miskin-papa dan hanya bermodalkan
hasil pertanian yang tidak seberapa, mereka tentu mengalami kesulitan besar
untuk dapat membayar pajak. Karena belum dapat keluar dari lingkaran kemiskinan
ini, mereka lalu mengobarkan api pemberontakan yang kemudian dikenal sebagai
Pemberontakan Shimabara. Meskipun
pada akhirnya berhasil dibasmi, harus diakui pula bahwa pemberontakan tersebut
juga memuat kepentingan agama Kristiani. Itulah sebabnya, berbagai upaya, termasuk
dengan penganiayaan dan pembunuhan, untuk membebaskan Jepang dari pengaruh
Kristianitas dilakukan secara gencar, sistematis, terstruktur, dan masif oleh
para pemerintah.
3.
Apa
perspektif teoretis sosiologi agama yang
dapat diulas dengan mengacu pada gejala sosial yang dikupas, khususnya di dalam
konteks dihukum mati melalui ana-tsurushi dan dipaksa untuk
menginjak-injak sebuah fumie. Secara spesifik, gunakanlah perspektif
teoretis sosiologi agama yang menurut Anda paling relevan dengan gejala sosial
tersebut.
Pada bagian kedua telah dilihat gejala-gejala sosial
apa saja yang dapat dikupas dari isi buku berjudul SILENCE ini. Gejala sosial, seperti gejala agama, politik, ekonomi,
moral, dsb memberi penekanan tersendiri. Meskipun ada begitu banyak gejala
sosial yang dapat ditemukan, hal sosial mendasar yang dominan ditampakkan dalam
keseluruhan isi buku itu adalah konflik kepentingan antardua kubu yang berbeda
dan bertentangan satu dengan yang lain. Secara lebih luas, dapat dikatakan
bahwa dua kubu yang terlibat dalam konflik sosial tersebut adalah Timur (yang
direpresentasikan oleh Jepang) dan Barat (yang direpresentasikan oleh
Kristianitas).
Konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat
Jepang itu tentu berdampak buruk. Pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan
terjadi di mana-mana. Hukuman mati melalui ana-tsurushi
menjadi best choice. Tindak kekerasan
yang sengaja dilegalkan ini dilakukan demi satu tujuan: pohon Kristianitas
harus dicabut secara paksa dari bumi Jepang. Untuk itu, menginjak-injak sebuah fumie merupakan syarat yang harus
dipenuhi jika ingin tetap tinggal dalam zona nyaman. Kompleksitas masalah yang
ditampilkan ini memperlihatkan besarnya antusiasme para pemerintah Jepang untuk
membebaskan Jepang dari indoktrinasi
Kristianitas, yang oleh mereka dinilai berbahaya dan dapat mengancam persatuan
bangsa, apalagi setelah terjadinya pemberontakan Shimabara yang tidak hanya dipengaruhi faktor ekonomi, tetapi juga
faktor agama. Tambahan pula, kepatuhan mutlak para pengikut Kristianisme yang
tidak lain adalah masyarakat Jepang itu sendiri terhadap pemimpin mereka, para
misionaris yang tidak lain adalah orang-orang Barat (Portugis dan Spanyol) mempertebal
paradigma negatif terhadap Kristianitas.
Atas dasar itu, teoretis perspektif sosiologi agama
yang menurut penulis paling relevan dengan gejala sosial tersebut adalah aliran
fungsionalisme.[1]
Aliran ini bertolak dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu suatu sistem
perimbangan. Setiap kelompok yang
menjadi bagian dari masyarakat memberikan sumbangannya yang khas melalui
peranannya masing-masing-masing yang telah ditentukan demi lestarinya sistem
perimbangan sebagai keseluruhan. Arti dan makna dari sebuah kegiatan sosial
hanya dimengerti dengan baik apabila orang dapat menemukan tempat dan fungsinya
dalam keseluruhan sistem sosialnya secara tepat. Dalam kerangka berpikir yang
demikian, timbulnya suatu bentrokan dalam organisasi dipandang berfungsi
korektif untuk membetulkan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam subbagian
(baca: institusi-institusi) yang tidak berjalan baik. Penelitian yang diadakan
sebagian besar ditujukan untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang
berfungsi baik atau tidaknya peranan-peranan yang dilaksanakan oleh semua
bagian di seluruh lapisan.
Apabila aliran fungsionalisme ini diminta bantuannya
untuk meneliti suatu wilayah keagamaan atau suatu lembaga religius, perhatian
khusus akan dicurahkan untuk memperoleh penjelasan mengenai dua hal: a)
bagian-bagian mana dari wilayah yang berfungsi baik dan b) bagian mana yang
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dari data-data tersebut akan diberikan
petunjuk atau anjuran supaya bagian-bagian lembaga yang tidak sanggup
memberikan sumbangan kepada terwujudnya keseimbangan dari seluruh sistem, harus
diubah.
4.
Jelaskan
dengan lengkap mengapa Anda berpendapat ada relevansi antara perspektif
teoretis sosiologi agama yang Anda pilih dengan gejala sosial yang dibahas di
dalam buku ini![2]
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, aliran
fungsionalisme melihat masyarakat sebagai suatu equilibrium sosial dari semua institusi yang ada di dalamnya. Keseluruhan institusi tersebut
membentuk sistem sosial sedemikian rupa sehingga tercipta hubungan saling
ketergantungan antarsatu dengan yang lain. Dalam kerangka pemikiran ini, agama
hanya merupakan suatu bentuk tindakan
langkah manusia yang dilembagakan
yang berada di antara lembaga-lembaga sosial lainnya.
Teori fungsionalisme memandang agama sebagai salah
satu lembaga sosial yang memegang kunci penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat. Kebutuhan mendasar itu
adalah kebutuhan manusia yang tidak dapat dipuaskan dengan nilai-nilai duniawi
yang serba sementara ini. Hanya dengan sesuatu “yang ada di luar” dunia
empiris-lah yang mampu melakukannya. Akan tetapi, sosiologi fungsionalisme
tidak bermaksud mengutik hakekat dari apa “yang di luar” itu, tetapi hanya
melihat pengaruhnya yang nyata, sejauh hakekat itu telah mengambil bentuknya
yang konkret sebagai salah satu lembaga sosial.
Penelitian-penelitian yang diadakan oleh aliran
fungsionalisme menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berguna baik bagi
kebijaksanaan instansi-instasi keagamaan maupun pemerintah (khususnya bagi
masyarakat Barat). Para fungsionalis sanggup menjelaskan bahwa masyarakat
religius dan profan mengemban fungsi bagi manusia. Kedua belah pihak mempunyai
kewajiban moril untuk menyadari saling ketergantungannya.
Lebih lanjut, teori fungsionalisme melihat agama
sebagai penyebab sosial (social causation)
yang dominan dalam terbentuknya lapisan (strata) sosial dalam tubuh masyarakat.
Setiap strata mempunyai perasaan tersendiri yang sanggup mengumpulkan
orang-orangnya dalam suatu wadah persatuan yang amat kompak (jika mereka
menganut satu agama yang sama), tetapi perasaan religius dari agama yang
berlainan dapat memisahkan kelompok yang satu dengan yang lain secara tajam. Dalam
hal inilah konflik yang bermotif keagamaan pun terjadi. Di sini dapat pula
dijelaskan bahwa teori fungsionalisme melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang istimewa, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku
manusia penganutnya baik lahiriah maupun batiniah, sehingga sistem sosialnya
untuk sebagian terdiri dari kaidah-kaidah yang dibentuk oleh agama.
Berpijak pada pandangan dasariah ini, penulis berpendapat
bahwa tentu ada relevansi antara perspektif teoretis sosiologi agama yang satu
ini dengan gejala sosial yang dikedepankan dalam buku. Sejak awal, penulis
telah menyadari adanya penyimpangan yang dilakukan instansi-instansi tertentu.
Penyimpangan yang paling sering diperlihatkan adalah sikap esktrem pemerintah
Jepang terhadap para misionaris dan masyarakatnya yang beriman Kristiani.
Pemerintah yang seharusnya mengurus kepentingan profan negara memaksa dan
merangsek masuk ke dalam ranah agama yang seharusnya menjadi tanggungan para
pemuka agama, baik Kristen maupun Buddha. Tindakan penyimpangan ini jelas berefek
buruk pada keseimbangan sosial. Harmonisasi lantas dikorbankan dan dengan
segera diganti dengan situasi penuh derita. Sementara itu, masyarakat yang
seharusnya mendapat perlindungan malah merasa tidak nyaman untuk tinggal di
tanah kelahirannya sendiri. Akibatnya, mereka juga tidak mampu menjalankan roda
perekonomian, sehingga berdampak pada munculnya kemiskinan akut dan
kemelaratan. Juga tercipta suatu kesenjangan sosial. Yang miskin semakin miskin
dan yang kaya semakin kaya. Tindakan pemerintah yang membebani rakyat dengan
pajak yang tinggi ini lagi-lagi memperlihatkan adanya pelanggaran yang
dilakukan instansi pemerintah.
5.
Menurut
pendapat Anda, apakah faktor-faktor penyebab sehingga buku ini dianggap sebagai
salah satu buku novel sejarah terbaik pada abad ke-20 dan menerima penghargaan
sastra Tanizaki di Jepang serta diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing
termasuk Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia?
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang
menyebabkan buku ini menjadi salah satu novel sejarah terbaik pada abad ke-20. Pertama, novel ini merupakan karya
sastra yang berimplikasi teologis. Mengapa? Karena novel ini dalam suatu segi
merupakan ekspresi konflik antara sensibilitas Mr. Endo sebagai pengarang yang
tidak lain adalah orang Jepang itu sendiri dan Kristianitas Hellenistic yang
telah diberikan kepadanya sejak kecil. Ia telah menyatakan hal ini dengan tegas
pada sebuah wawancara yang terekam dalam majalah Kumo. Dalam wawancara tersebut, ia mengibaratkan ke-Katolik-an
sebagai baju yang siap dipakai. Berhadapan dengan analogi ini, ia harus
memutuskan apakah akan mengenakannya atau menyingkirkannya sambil mencari baju lain
yang cocok. Ini dilakukan agar ia dapat menemukan jati dirinya yang sebenarnya.
Pencarian atas jati diri ini adalah “rawa-rawa” Jepang dalam dirinya, yang karena
kekhasannya dapat menolak baju siap pakai yang tidak lain ialah Kristianitas
itu sendiri. Pada akhirnya, ia sendiri memang mengakui bahwa meskipun dia
berusaha mencari baju yang lain, ia tetap tidak mampu melepaskan baju siap
pakai yang telah diberikan kepadanya sejak kecil itu. Ia telah menyatu dengan
ke-Katolik-an, walaupun itu sesuatu yang dipinjam.
Konfrontasi ini lantas mendorong Mr. Endo untuk
mencari jalan agar dapat mendamaikan keduanya (Jepang dan Kristianitas
Helenistik). Agar rekonsiliasi itu dapat tercapai, ia menganjurkan kepada orang
Jepang agar menyerap Kristianitas tanpa dipengaruhi oleh tradisi, sejarah,
warisan, atau pun sensibilitas Kristen. Sementara kepada Kristianitas, ia
menganjurkan agar Kristianitas harus mampu berdaptasi secara radikal kalau
ingin menumbuhkan akar di ‘rawa-rawa’ lumpur Jepang.
Kedua,
gagasan
Mr. Endo yang ia sampaikan melalui pelbagai peristiwa dramatis dalam buku ini
sangatlah topikal dan bersifat universal, bukan sekadar kontemporer sebagaimana
yang dinilai oleh orang Jepang. Itulah sebabnya, gagasan Mr. Endo memiliki
kesesuaian dengan teologi Barat modern. “Sebab jika Kristianitas yang Hellenistic
itu tidak sesuai dengan Jepang, maka dia juga tidak sesuai dengan Barat modern.
Jika gagasan tentang Tuhan itu harus dipikirkan ulang untuk Jepang, maka
gagasan ini juga harus dipikirkan ulang untuk Barat modern.”[3]
Kesesuaian dengan teologi Barat modern jelas membantu Mr. Endo untuk menemukan
jalan keluar dari masalah pokok yang angkat dalam novelnya ini.
Daftar Pustaka
Endo,
Shusako. SILENCE, dalam “HENING”. Pener.
Tanti Lesmana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius,
1983.
[1]
Ada beberapa jenis aliran Sosiologi Agama (aliran klasik, positivisme, teori
konflik dan fungsionalisme). Bandingkan, D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hal. 23-26. Karena
perbedaan visi atas realitas masyarakat, masing-masing aliran memiliki metode
dan pendekatan yang berbeda-beda pula. Akan tetapi, setelah membandingkan
gejala sosial yang termuat dalam buku ini dengan pandangan dari berbagai aliran
tersebut, penulis menemukan bahwa setiap aliran memiliki kaitan satu dengan yang
lain, dan bahkan saling melengkapi. Itulah sebabnya penulis juga mengalami
kesulitan untuk menentukan perspektif teoretis sosiologi agama seperti apakah
yang paling tepat dan relevan dengan gejala sosial yang ada. Oleh karena itu,
penulis berpendapat bahwa mengkombinasikan sumbangan dari masing-masing aliran
baik pula untuk diterapkan. Berbagai aliran ini tentu mempunyai penafsiran yang
khas terhadap perilaku manusia, tetapi dengan mengkombinasikan sumbangan dari
setiap aliran ini, kita dapat memperoleh gambaran lebih komprehensif mengenai
kehidupan sosial. Namun, untuk mempermudah pembahasan, penulis tidak
menerapkannya dalam tulisan sederhana ini. Hal tersebut lantas mendorong
penulis untuk memilih aliran fungsionalisme yang bagi penulis sangat besar pengaruhnya
dalam mengupas gejala sosial yang ada.
[2]
Jawaban untuk pertanyaan
ini dirangkum dari pokok bahasan subbagian “Penglihatan Teori Fungsionalisme
atas Agama” dalam D. Hendropuspito, Sosiologi
Agama, hal. 27-28.
[3] Shusako Endo, SILENCE, dalam “HENING”, pener. Tanti
Lesmana (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 22.
Komentar
Posting Komentar