Langsung ke konten utama

SILENCE DALAM ANALISIS SOSIOLOGI AGAMA

SILENCE
Dalam Analisis Sosiologi Agama

Tulisan sederhana ini menyajikan beberapa buah pemikiran yang merupakan hasil analisis (ditinjau dari perspektif Sosiologi Agama) terhadap karya tangan Shusako Endo, SILENCE. Beberapa pertanyaan yang diajukan dosen pengampuh mata kuliah Sosiologi Agama pun menjadi rujukan utama untuk menentukan arah pembahasan. Agar lebih mudah menganalisis dan menemukan “butir-butir emas” yang terkandung dalam buku tersebut, penulis sengaja memberi uraian dalam bentuk wawancara (pola tanya-jawab).  
1.      Apakah tema pokok yang dipaparkan di dalam buku ini?
Dengan berlatar belakang periode penuh pergolakan dalam sejarah Jepang, yang dikenal sebagai “abad Kristen”, Shusako Endo, yang dijuluki Graham Greene-nya Jepang, secara dramatis mengisahkan dan menampilkan dalam bukunya, SILENCE, perjalanan panjang yang melelahkan dan penuh dengan derita beberapa pastor Jesuit berkebangsaan Portugal. Ketiga pastor tersebut adalah Sebastian Rodrigues, Francisco Garrpe, dan Juan de Santa Marta. Sejak awal, ketiganya memang bertekad untuk meneruskan penyebaran iman di Jepang. Di samping itu, mereka juga hendak mencari tahu kebenaran mengenai kemurtadan Christovao Ferreira, seorang biarawan-imam Jesuit yang telah menjadi sumber inspirasi bagi para imam serta umat yang setia selain karena sikapnya yang bijak dan pantang menyerah, juga karena dipandang sebagai misionaris berpengalaman, guru (teolog) dan provincial mereka.
Setelah kematian Juan de Santa Marta di Macao karena menderita sakit dan pengalaman perpisahan yang berujung pada kematian Francisco Garrpe, kisah yang termuat dalam SILENCE kemudian berpusat pada perjalanan Sebastian Rodrigues. Dalam perjalanannya yang panjang dan melelahkan itu, Rodrigues bergulat hebat dengan keyakinannya, terutama ketika ia dihadapkan pada situasi pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan besar-besaran terhadap para misionaris dan umat Kristen di Jepang.  Tambahan pula, dalam situasi yang sedemikian genting seperti itu, Allah seolah-olah menutup mata dan telinga sehingga tidak dapat melihat dan mendengar penderitaan serta jeritan pilu umat-Nya. Pertanyaan reflektif yang selalu menjadi bahan pergumulannya adalah mengapa Allah tetap membungkam dan selalu tinggal dalam keheningan yang nyaman bagi Diri-Nya sendiri, seolah-olah don’t care terhadap ‘via dolorosa’ umat-Nya? Selain karena ancaman yang menyesakkan dari pihak pemerintah Jepang, situasi ini jugalah yang pada akhirnya berhasil menghantar Rodrigues pada suatu keputusan radikal-kontroversial berupa tindakan simbolis: menginjak fumie. Meskipun ia melakukannya karena desakan penganiayaan yang begitu hebat, terutama terhadap masyarakat tani Jepang yang beriman nasrani, tindakan ini tetap dipandang sebagai penyangkalan terhadap imannya sendiri. Dengan demikian, ia secara otomatis dianggap keluar dari Gereja dan masuk dalam kategorisasi kaum murtad. Karena tindakannya itulah, ia lalu dijuluki sebagai ‘si Paulus murtad’.
Bertolak dari garis besar isi novel berjudul SILENCE di atas, dapatlah dilihat bahwa Mr. Endo sebenarnya mengemukakan masalah-masalah seputar keimanan dan Tuhan, dosa dan pengkhianatan, mati sebagai martir dan pengingkaran iman. Meskipun demikian, masalah utama yang tetap menarik perhatian Mr. Endo sejak awal adalah konflik antara Timur dan Barat, terutama dalam kaitannya dengan Kristianitas. Karena beraroma kebarat-baratan, Kristianitas sulit beradaptasi dengan daerah Asia Timur Jauh, Jepang yang memiliki tradisi/kebudayaan, kepercayaan, sejarah, dan sensibilitas yang samasekali berbeda. Ketidakmampuan untuk beradaptasi secara radikal ini lantas membuat kehadiran Kristianitas tidak diterima dan ditolak yang kemudian berujung pada aksi pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap para Kakure Kirishitan. Berdasarkan pemahaman ini, Mr. Endo lalu menarik suatu kesimpulan tegas, yakni bahwa Kristianitas harus beradaptasi secara radikal kalau ingin menumbuhkan akar di “rawa-rawa” lumpur Jepang. Dalam keseluruhan bingkai inilah tema pokok yang termuat dalam buku SILENCE tersebut dapat dikupas tuntas.

2.      Apakah gejala sosial (jika ada) yang dijelaskan di dalam buku ini? Jawablah pertanyaan ini dalam konteks dilema pokok yang dihadapi oleh Rm. Sebastian Rodrigues yang didampingi rekannya, Rm. Francisco Garrpe saat penindasan dan penyiksaan terhadap Kakure Kirishitan setelah kekalahan Pemberontakan Shimabara.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, dalam perjalanan panjangnya yang melelahkan itu, Rodrigues berhadapan dengan berbagai tantangan berat berupa pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan. Di tengah situasi yang tidak kondusif tersebut, ia terperangkap dalam sebuah pilihan yang dilematis: tetap mempertahankan atau justru menyangkal imannya sendiri. Ironisnya, kedua pilihan tersebut lebih bersifat menjerat daripada menjadi solusi untuk dapat keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Mengapa? Karena keduanya memiliki konsekuensi buruk yang juga dilematis. Di satu sisi, jika ia tetap berpegang teguh pada keyakinannya, yang dikorbankan adalah umat kristiani Jepang yang umumnya berasal dari masyarakat kalangan bawah yang miskin dan sederhana. Jika hal itu sungguh terjadi, akan semakin banyak para pengikut setia Kristus yang menderita, dan bahkan mati sebagai martir demi mempertahankan imannya. Efek sampingnya, secara kuantitatif populasi umat Kristen di Jepang (terhitung dengan begitu banyaknya juga yang menjadi murtad) perlahan-lahan berkurang, sehingga pada suatu saat pastilah kehadiran Kristianitas di tanah Jepang hanya tinggal kenangan. Di samping itu, motivasi awal kedatangan Rodrigues dan kedua sahabatnya pun, yakni mau berkorban demi memperkuat akar (baca: menyelamatkan) benih-benih Kristianitas yang telah ditabur atau ditanam di ‘rawa-rawa’ lumpur Jepang, menjadi tidak bermakna lagi dan sekadar sebagai bualan belaka.
Sementara itu, di sisi lain, apabila ia menyangkal imannya, ia tidak jauh dari atau sama seperti Yudas Iskariot yang berani mengkhianati Yesus Kristus, Putera Allah yang kehadiran-Nya di dunia tampak dalam Gereja-Nya yang suci. Lagipula tindakan penyangkalan tersebut tidak hanya melambangkan kegagalan misi seseorang (Rodrigues), tetapi juga merepresentasi kegagalan Gereja Universal dalam mewartakan Kerajaan Allah, sebuah tugas perutusan yang diserahkan kepadanya oleh Kristus sebagai kepala. Hal ini jelas suatu tindakan yang sangat memalukan dan dalam kacamata iman dilihat sebagai tindakan tercela yang dapat mendatangkan murka Allah. Jika tindakan itu sungguh terjadi, konsekuensi lebih lanjut yang harus ia tanggung adalah dikeluarkan dari komunitas gerejawi, dicoret dari daftar misionaris, dan siap dikategorisasi sebagai kelompok kaum murtad. Predikat sebagai “Si Paulus Murtad” setelah tindakan penginjakan terhadap fumie yang dilakukannya mempertegas konsekuensi ini.
Kedua masalah ini menjadi dilema pokok yang dihadapi Sebastian Rodrigues. Melalui kedua dilema pokok tersebut, gejala sosial yang termuat dalam buku ini pun ditampilkan. Gejala-gejala sosial itu tidak hanya mencakup gejala agama, tetapi juga menyinggung gejala sosial yang lain, seperti gejala ekonomi, politik, moral, dsb. Sejak awal, gejala agama memang menjadi isu sentral dalam buku ini. Lagipula permasalahan yang diangkat pun semata-mata berkutat pada lingkaran agama saja. Justru karena isu agama itulah, tercipta konflik sosial dalam masyarakat Jepang. Pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan, tindakan-tindakan amoral yang mencoreng harkat dan martabat sebagai manusia, yang dilakukan oleh pemerintah Jepang baik terhadap para misionaris, maupun masyarakat Jepang yang menganut Kristianisme itu sendiri adalah bukti nyata adanya konflik sosial tersebut.
Sementara itu, gejala ekonomi diangkat karena de facto hubungan yang baik antara Jepang dengan para misionaris (Portugis dan Spanyol) pada mulanya terjadi karena hubungan dagang. Barang-barang yang bernilai ekonomis yang dibawa oleh para misionaris itu memikat daya tarik masyarakat setempat dan juga para penguasa, sehingga terciptalah mekanisme pasar dan transaksi jual-beli pun mulai dipraktikkan. Hubungan dagang yang baik itu jelas berimplikasi positif. Dengan segera, pertumbuhan dan perkembangan Kristianitas terjadi. Seminari-seminari, gereja-gereja, rumah sakit, biara-biara, dsb dibangun untuk menunjang kehidupan benih Kristianitas yang baru ditaburkan di ‘rawa-rawa’ lumpur Jepang tersebut. Ini merupakan masa-masa keemasan Kristianitas di Jepang. Setelah situasinya berbanding terbalik, gejala sosial-ekonomi tetap ada, tetapi yang menjadi fokus perhatian kini adalah (terlepas dari masyarakat Jepang yang umumnya masih hidup miskin) nasib masyarakat Jepang beriman Kristiani yang hidup di bawah taraf kesejahteraan hidup rata-rata. Situasi ini semakin diperparah dengan adanya kebijakan pemerintah terkait pemungutan pajak sebesar sepuluh persen dari masyarakat tani tersebut. Kebijakan ini jelas semakin membebani kehidupan mereka. Dengan kondisi miskin-papa dan hanya bermodalkan hasil pertanian yang tidak seberapa, mereka tentu mengalami kesulitan besar untuk dapat membayar pajak. Karena belum dapat keluar dari lingkaran kemiskinan ini, mereka lalu mengobarkan api pemberontakan yang kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Shimabara. Meskipun pada akhirnya berhasil dibasmi, harus diakui pula bahwa pemberontakan tersebut juga memuat kepentingan agama Kristiani. Itulah sebabnya, berbagai upaya, termasuk dengan penganiayaan dan pembunuhan, untuk membebaskan Jepang dari pengaruh Kristianitas dilakukan secara gencar, sistematis, terstruktur, dan masif oleh para pemerintah.
  
3.      Apa perspektif teoretis sosiologi agama yang dapat diulas dengan mengacu pada gejala sosial yang dikupas, khususnya di dalam konteks dihukum mati melalui ana-tsurushi dan dipaksa untuk menginjak-injak sebuah fumie. Secara spesifik, gunakanlah perspektif teoretis sosiologi agama yang menurut Anda paling relevan dengan gejala sosial tersebut.
Pada bagian kedua telah dilihat gejala-gejala sosial apa saja yang dapat dikupas dari isi buku berjudul SILENCE ini. Gejala sosial, seperti gejala agama, politik, ekonomi, moral, dsb memberi penekanan tersendiri. Meskipun ada begitu banyak gejala sosial yang dapat ditemukan, hal sosial mendasar yang dominan ditampakkan dalam keseluruhan isi buku itu adalah konflik kepentingan antardua kubu yang berbeda dan bertentangan satu dengan yang lain. Secara lebih luas, dapat dikatakan bahwa dua kubu yang terlibat dalam konflik sosial tersebut adalah Timur (yang direpresentasikan oleh Jepang) dan Barat (yang direpresentasikan oleh Kristianitas).
Konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat Jepang itu tentu berdampak buruk. Pengejaran, penganiayaan, dan pembunuhan terjadi di mana-mana. Hukuman mati melalui ana-tsurushi menjadi best choice. Tindak kekerasan yang sengaja dilegalkan ini dilakukan demi satu tujuan: pohon Kristianitas harus dicabut secara paksa dari bumi Jepang. Untuk itu, menginjak-injak sebuah fumie merupakan syarat yang harus dipenuhi jika ingin tetap tinggal dalam zona nyaman. Kompleksitas masalah yang ditampilkan ini memperlihatkan besarnya antusiasme para pemerintah Jepang untuk  membebaskan Jepang dari indoktrinasi Kristianitas, yang oleh mereka dinilai berbahaya dan dapat mengancam persatuan bangsa, apalagi setelah terjadinya pemberontakan Shimabara yang tidak hanya dipengaruhi faktor ekonomi, tetapi juga faktor agama. Tambahan pula, kepatuhan mutlak para pengikut Kristianisme yang tidak lain adalah masyarakat Jepang itu sendiri terhadap pemimpin mereka, para misionaris yang tidak lain adalah orang-orang Barat (Portugis dan Spanyol) mempertebal paradigma negatif terhadap Kristianitas.
Atas dasar itu, teoretis perspektif sosiologi agama yang menurut penulis paling relevan dengan gejala sosial tersebut adalah aliran fungsionalisme.[1] Aliran ini bertolak dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu suatu sistem perimbangan. Setiap kelompok  yang menjadi bagian dari masyarakat memberikan sumbangannya yang khas melalui peranannya masing-masing-masing yang telah ditentukan demi lestarinya sistem perimbangan sebagai keseluruhan. Arti dan makna dari sebuah kegiatan sosial hanya dimengerti dengan baik apabila orang dapat menemukan tempat dan fungsinya dalam keseluruhan sistem sosialnya secara tepat. Dalam kerangka berpikir yang demikian, timbulnya suatu bentrokan dalam organisasi dipandang berfungsi korektif untuk membetulkan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam subbagian (baca: institusi-institusi) yang tidak berjalan baik. Penelitian yang diadakan sebagian besar ditujukan untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang berfungsi baik atau tidaknya peranan-peranan yang dilaksanakan oleh semua bagian di seluruh lapisan.
Apabila aliran fungsionalisme ini diminta bantuannya untuk meneliti suatu wilayah keagamaan atau suatu lembaga religius, perhatian khusus akan dicurahkan untuk memperoleh penjelasan mengenai dua hal: a) bagian-bagian mana dari wilayah yang berfungsi baik dan b) bagian mana yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dari data-data tersebut akan diberikan petunjuk atau anjuran supaya bagian-bagian lembaga yang tidak sanggup memberikan sumbangan kepada terwujudnya keseimbangan dari seluruh sistem, harus diubah. 

4.      Jelaskan dengan lengkap mengapa Anda berpendapat ada relevansi antara perspektif teoretis sosiologi agama yang Anda pilih dengan gejala sosial yang dibahas di dalam buku ini![2]
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, aliran fungsionalisme melihat masyarakat sebagai suatu equilibrium sosial dari semua institusi yang ada di dalamnya. Keseluruhan institusi tersebut membentuk sistem sosial sedemikian rupa sehingga tercipta hubungan saling ketergantungan antarsatu dengan yang lain. Dalam kerangka pemikiran ini, agama hanya merupakan suatu bentuk tindakan langkah manusia yang dilembagakan yang berada di antara lembaga-lembaga sosial lainnya.
Teori fungsionalisme memandang agama sebagai salah satu lembaga sosial yang memegang kunci penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat. Kebutuhan mendasar itu adalah kebutuhan manusia yang tidak dapat dipuaskan dengan nilai-nilai duniawi yang serba sementara ini. Hanya dengan sesuatu “yang ada di luar” dunia empiris-lah yang mampu melakukannya. Akan tetapi, sosiologi fungsionalisme tidak bermaksud mengutik hakekat dari apa “yang di luar” itu, tetapi hanya melihat pengaruhnya yang nyata, sejauh hakekat itu telah mengambil bentuknya yang konkret sebagai salah satu lembaga sosial.
Penelitian-penelitian yang diadakan oleh aliran fungsionalisme menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berguna baik bagi kebijaksanaan instansi-instasi keagamaan maupun pemerintah (khususnya bagi masyarakat Barat). Para fungsionalis sanggup menjelaskan bahwa masyarakat religius dan profan mengemban fungsi bagi manusia. Kedua belah pihak mempunyai kewajiban moril untuk menyadari saling ketergantungannya.
Lebih lanjut, teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial (social causation) yang dominan dalam terbentuknya lapisan (strata) sosial dalam tubuh masyarakat. Setiap strata mempunyai perasaan tersendiri yang sanggup mengumpulkan orang-orangnya dalam suatu wadah persatuan yang amat kompak (jika mereka menganut satu agama yang sama), tetapi perasaan religius dari agama yang berlainan dapat memisahkan kelompok yang satu dengan yang lain secara tajam. Dalam hal inilah konflik yang bermotif keagamaan pun terjadi. Di sini dapat pula dijelaskan bahwa teori fungsionalisme melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang istimewa, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku manusia penganutnya baik lahiriah maupun batiniah, sehingga sistem sosialnya untuk sebagian terdiri dari kaidah-kaidah yang dibentuk oleh agama.
Berpijak pada pandangan dasariah ini, penulis berpendapat bahwa tentu ada relevansi antara perspektif teoretis sosiologi agama yang satu ini dengan gejala sosial yang dikedepankan dalam buku. Sejak awal, penulis telah menyadari adanya penyimpangan yang dilakukan instansi-instansi tertentu. Penyimpangan yang paling sering diperlihatkan adalah sikap esktrem pemerintah Jepang terhadap para misionaris dan masyarakatnya yang beriman Kristiani. Pemerintah yang seharusnya mengurus kepentingan profan negara memaksa dan merangsek masuk ke dalam ranah agama yang seharusnya menjadi tanggungan para pemuka agama, baik Kristen maupun Buddha. Tindakan penyimpangan ini jelas berefek buruk pada keseimbangan sosial. Harmonisasi lantas dikorbankan dan dengan segera diganti dengan situasi penuh derita. Sementara itu, masyarakat yang seharusnya mendapat perlindungan malah merasa tidak nyaman untuk tinggal di tanah kelahirannya sendiri. Akibatnya, mereka juga tidak mampu menjalankan roda perekonomian, sehingga berdampak pada munculnya kemiskinan akut dan kemelaratan. Juga tercipta suatu kesenjangan sosial. Yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Tindakan pemerintah yang membebani rakyat dengan pajak yang tinggi ini lagi-lagi memperlihatkan adanya pelanggaran yang dilakukan instansi pemerintah.

5.      Menurut pendapat Anda, apakah faktor-faktor penyebab sehingga buku ini dianggap sebagai salah satu buku novel sejarah terbaik pada abad ke-20 dan menerima penghargaan sastra Tanizaki di Jepang serta diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing termasuk Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia?
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan buku ini menjadi salah satu novel sejarah terbaik pada abad ke-20. Pertama, novel ini merupakan karya sastra yang berimplikasi teologis. Mengapa? Karena novel ini dalam suatu segi merupakan ekspresi konflik antara sensibilitas Mr. Endo sebagai pengarang yang tidak lain adalah orang Jepang itu sendiri dan Kristianitas Hellenistic yang telah diberikan kepadanya sejak kecil. Ia telah menyatakan hal ini dengan tegas pada sebuah wawancara yang terekam dalam majalah Kumo. Dalam wawancara tersebut, ia mengibaratkan ke-Katolik-an sebagai baju yang siap dipakai. Berhadapan dengan analogi ini, ia harus memutuskan apakah akan mengenakannya atau menyingkirkannya sambil mencari baju lain yang cocok. Ini dilakukan agar ia dapat menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Pencarian atas jati diri ini adalah “rawa-rawa” Jepang dalam dirinya, yang karena kekhasannya dapat menolak baju siap pakai yang tidak lain ialah Kristianitas itu sendiri. Pada akhirnya, ia sendiri memang mengakui bahwa meskipun dia berusaha mencari baju yang lain, ia tetap tidak mampu melepaskan baju siap pakai yang telah diberikan kepadanya sejak kecil itu. Ia telah menyatu dengan ke-Katolik-an, walaupun itu sesuatu yang dipinjam.
Konfrontasi ini lantas mendorong Mr. Endo untuk mencari jalan agar dapat mendamaikan keduanya (Jepang dan Kristianitas Helenistik). Agar rekonsiliasi itu dapat tercapai, ia menganjurkan kepada orang Jepang agar menyerap Kristianitas tanpa dipengaruhi oleh tradisi, sejarah, warisan, atau pun sensibilitas Kristen. Sementara kepada Kristianitas, ia menganjurkan agar Kristianitas harus mampu berdaptasi secara radikal kalau ingin menumbuhkan akar di ‘rawa-rawa’ lumpur Jepang.
Kedua, gagasan Mr. Endo yang ia sampaikan melalui pelbagai peristiwa dramatis dalam buku ini sangatlah topikal dan bersifat universal, bukan sekadar kontemporer sebagaimana yang dinilai oleh orang Jepang. Itulah sebabnya, gagasan Mr. Endo memiliki kesesuaian dengan teologi Barat modern. “Sebab jika Kristianitas yang Hellenistic itu tidak sesuai dengan Jepang, maka dia juga tidak sesuai dengan Barat modern. Jika gagasan tentang Tuhan itu harus dipikirkan ulang untuk Jepang, maka gagasan ini juga harus dipikirkan ulang untuk Barat modern.”[3] Kesesuaian dengan teologi Barat modern jelas membantu Mr. Endo untuk menemukan jalan keluar dari masalah pokok yang angkat dalam novelnya ini.


Daftar Pustaka
Endo, Shusako. SILENCE, dalam “HENING”. Pener. Tanti Lesmana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.



[1] Ada beberapa jenis aliran Sosiologi Agama (aliran klasik, positivisme, teori konflik dan fungsionalisme). Bandingkan, D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hal. 23-26. Karena perbedaan visi atas realitas masyarakat, masing-masing aliran memiliki metode dan pendekatan yang berbeda-beda pula. Akan tetapi, setelah membandingkan gejala sosial yang termuat dalam buku ini dengan pandangan dari berbagai aliran tersebut, penulis menemukan bahwa setiap aliran memiliki kaitan satu dengan yang lain, dan bahkan saling melengkapi. Itulah sebabnya penulis juga mengalami kesulitan untuk menentukan perspektif teoretis sosiologi agama seperti apakah yang paling tepat dan relevan dengan gejala sosial yang ada. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa mengkombinasikan sumbangan dari masing-masing aliran baik pula untuk diterapkan. Berbagai aliran ini tentu mempunyai penafsiran yang khas terhadap perilaku manusia, tetapi dengan mengkombinasikan sumbangan dari setiap aliran ini, kita dapat memperoleh gambaran lebih komprehensif mengenai kehidupan sosial. Namun, untuk mempermudah pembahasan, penulis tidak menerapkannya dalam tulisan sederhana ini. Hal tersebut lantas mendorong penulis untuk memilih aliran fungsionalisme yang bagi penulis sangat besar pengaruhnya dalam mengupas gejala sosial yang ada.   

[2] Jawaban untuk pertanyaan ini dirangkum dari pokok bahasan subbagian “Penglihatan Teori Fungsionalisme atas Agama” dalam D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, hal. 27-28.
[3] Shusako Endo, SILENCE, dalam “HENING”, pener. Tanti Lesmana (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 22.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...