JURNAL
III
Kamis,
14 April 2016
“Aku
adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut
sebenarnya adalah terjemahan dari “EHYEH
ASYER EHYEH”. Akar kata EHYEH itu
sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk
pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek).
Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara
harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan
Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi,
yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu
bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan
transendensi dari Yang Ilahi.
Kata
HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi
YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan
sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu yang tertampakkan disebab
oleh-Nya. Dialah Causa Prima. Dengan
rumusan yang berbeda, Yahweh lalu diartikan sebagai penggerak yang tidak dapat
digerakkan (motor imobile). Itulah
sebabnya nama Yahweh dikategorisasi sebagai nama yang kudus. Akan tetapi,
karena kekudusan atau kesakralannya itu, orang tidak diperkenankan mengucapkan
nama tersebut secara sembarangan. Sebagai pengganti, orang lalu menyebut
Yahweh: Adonai.
Konsep
mengenai nama Allah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Betapa tidak, Allah
yang misteri, transenden, dan imanen sifatnya itu justru memiliki sebuah nama
sebagai identifikasi, walaupun terkesan agak filosofis sehingga tampak
membingungkan. Menariknya ialah jika Allah yang tak tertampakkan saja memiliki
sebuah nama sebagai pemberi identitas, apalagi kita umat manusia yang secara
visual tertampakkan. Saya sendiri meyakini bahwa kita semua pasti tidak ada
yang tidak memiliki nama. Kita semua memiliki nama. Namun, dari keyakinan tersebut
timbullah sebuah pertanyaan reflektif yang juga menarik untuk didalami lebih
lanjut: “Apakah nama-nama yang kita miliki itu mengandung makna tertentu? Ataukah
hanya sekadar tempelan saja; sebuah nama tanpa makna?”
Nama
pada dirinya sendiri memang telah memiliki sejumlah arti. Selain sebagai sebuah
identifikasi, suatu pengenalan atas identitas diri, nama yang dimiliki
seseorang juga memperlihatkan karakter sekaligus dapat menubuatkan masa depan dari
orang yang mengenakan nama tersebut. Nama ‘Emmanuel’ yang disematkan pada diri Yesus,
misalnya diartikan sebagai ‘Allah beserta kita’. Nama tersebut memperlihatkan
bahwa melalui diri dan seluruh tindakan Yesus, Allah akan senantiasa menyertai
umat-Nya. Begitu pula dengan nama ‘Yesus’ yang merupakan nama di atas segala
nama; sebuah nama yang menggambarkan kemuliaan dan kekuasaan Yesus sebagai
Putera Allah.
Ketika
dibaptis, orang tua kita cenderung menamai kita dengan nama orang-orang kudus,
seperti Agustinus, Fransiskus Asisi, Paulus, Petrus, Yohanes, dsb. Yang
diharapkan oleh orang tua kita tentunya ialah agar kita dapat bertumbuh dan
berkembang dalam keutamaan, seperti yang dimiliki oleh para kudus yang namanya
kita jadikan sebagai identifikasi diri itu. Singkatnya, kita diharapkan untuk hidup
selaras dengan nama yang kita miliki. Inilah makna terdalam dari sebuah nama.
Komentar
Posting Komentar