PERINGATAN HARI BUMI:
SAVE OUR EARTH, SAVE OUR LIFE
oleh
Fernando R. B. Nujun
Pada tahun 1970, Gaylord Nelson, Senator Amerika Serikat yang adalah juga seorang pengajar lingkungan
hidup mencanangkan peringatan Hari Bumi. Bertepatan dengan peringatan tersebut, di belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) berlangsung musim semi, sementara di belahan Bumi Selatan (Southern Hemisphere) berlangsung musim gugur. Akan tetapi, berlandaskan sebuah tradisi yang dicanangkan oleh John McConnell, seorang aktivis perdamaian, PBB sendiri memperingati Hari Bumi pada tanggal 20 Maret 1969. Pada tanggal tersebut, berlangsung sebuah fenomena alam yang disebut “Ekuinoks Maret”, yakni peristiwa di mana matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa. Kini, Hari Bumi diperingati secara internasional setiap tanggal 22 April oleh lebih dari 175 negara di bawah koordinasi Jaringan Hari Bumi (Earth Day Network).
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, Bumi, rahim kehidupan kita, tengah dilanda krisis ekologi yang dahsyat. Pemanasan Global berada dalam level mengkhawatirkan. Perubahan iklim dan cuaca pun tidak lagi menentu. Musim kemarau yang panjang terjadi di mana-mana. Hutan sebagai paru-paru dunia digunduli dan dibakar. Aliran sungai menjadi tempat pembuangan sampah gratis. Polusi air, tanah, dan udara, tampak menjadi hal yang lumrah. Gemuruh riuh pabrik-pabrik besar dan kendaraan-kendaraan bermotor memperkeruh keadaan dengan menghasilkan bunyi-bunyi tak teratur yang memekakkan gendang telinga. Rentetan krisis ekologi ini memperlihatkan ekosistem bumi yang telah kehilangan keseimbangannya. Masalah-masalah seperti bencana tanah longsor, banjir bandang, angin topan, kekeringan, krisis air bersih, deforestasi, kebakaran hutan, desertifikasi lahan, mencairnya es di kutub, punahnya spesies tertentu dan hilangnya keanekaragaman hayati merupakan konsekuensi tak terbantahkan dari ketidakseimbangan ekosistem bumi.
Bertolak dari fakta yang ada, kita dapat bertanya lebih lanjut perihal latar belakang timbulnya berbagai krisis ekologi tersebut. Tindakan dan pola pikir manusia yang cenderung antroposentris kiranya menjadi jawaban yang tepat. Tindakan dan pola pikir antroposentris berarti manusia menganggap dirinya sebagai yang paling penting dalam seluruh tatanan ekosistem. Keberlangsungan hidup manusia lantas menjadi prioritas. Segala sesuatu yang tersedia di bumi adalah sekadar untuk memenuhi baik kebutuhan, maupun keinginan manusia. Dalam ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus sendiri mengafirmasi bahwa karena ulah manusia-lah (anthropogenic couses), krisis ekologi itu terjadi. “Akan tidak berguna menggambarkan gejala-gejala krisis ekologi tanpa mengenali akarnya dalam diri manusia. Terdapat suatu cara memahami hidup dan aktivitas manusia yang keliru dan bertentangan dengan realitas dunia hingga merugikannya” (LS, no. 101).
Paradigma antroposentris tentu saja keliru karena berpeluang besar melanggengkan tindakan sewenang-wenang manusia terhadap Ibu Bumi. Manusia tidak akan lagi melihat bumi sebagai tempat tinggal yang perlu dirawat, tetapi memandangnya semata-mata sebagai obyek yang perlu diteliti, diolah, dan dieksploitasi secara sistematik, terstruktur, dan masif. Dalam hal ini, relasi dengan Ibu Bumi dibangun atas dasar pertimbangan utilitarianistik. Sejauh memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada manusia, relasi harmonis dengan Ibu Bumi baru dipandang penting. Jika tidak, peran Ibu Bumi hanya dilihat secara teknologis saja.
Makna dan Tujuan
Krisis ekologi mencerminkan wajah Ibu Bumi yang tidak lagi menampakkan keindahan. Kekacauan terjadi di sana-sini. Padahal, bumi dan segala isinya, termasuk manusia diciptakan dalam suatu harmonisasi universal. Harmonisasi memungkinkan terjaganya keseimbangan ekosistem bumi. Akan tetapi, terdorong oleh hasrat berlebihan, manusia, ciptaan yang paling luhur, cenderung menguasai dan mendominasi rahim kehidupannya sendiri. Akibatnya, keseimbangan ekosistem bumi terganggu. Selain mengancam keberlangsungan hidup ciptaan lain, ketakseimbangan ekosistem bumi juga mengancam eksistensi manusia. Sungguh sebuah ironi, ketika manusia justru menjadi korban atau pihak yang paling dirugikan karena tindakannya sendiri.
Intervensi destruktif manusia atas Bumi Pertiwi sesungguhnya memperlihatkan kurangnya kesadaran dan apresiasi manusia itu sendiri terhadap planet Bumi, tempat di mana ia bertumbuh dan berkembang, serta melangsungkan kehidupannya. Kebanyakan manusia hanya mau memanfaatkan sebanyak mungkin segala potensi yang dimiliki alam, sementara upaya untuk terus-menerus menjaga dan melestarikannya teramat minim. Atas dasar inilah Hari Bumi dicanangkan. Dengan memperingati dan merayakannya, kita diharapkan mampu menjalin kembali relasi yang harmonis dengan Ibu Pertiwi. Hanya satu hal yang dituntut dari kita, yaitu melakukan pertobatan ekologis. Pertobatan ekologis memungkinkan kita mengubah pola berpikir dan bertindak antroposentris menjadi lebih ekologis. Hanya dengan berpikir dan bertindak ekologis, kita mampu menyelamatkan bumi dan kehidupan kita sendiri. Inilah pesan moral yang hendak dikemukakan dalam peringatan Hari Bumi sedunia. Sudah saatnya kita melakukakan perubahan. Save our world, save our life!!!
Komentar
Posting Komentar