Langsung ke konten utama

Kitab Keluaran dalam Paradigma Bangsa Israel dan Umat Kristiani

JURNAL II
Kamis, 7 Maret 2016

Karena merupakan inti Taurat, Kitab Keluaran memiliki kedudukan tertinggi dalam kehidupan bangsa Israel. Beberapa alasan berikut mempertegas keyakinan tersebut. Pertama, Kitab Keluaran memperkenalkan sekaligus memperlihatkan asal-usul dan identitas bangsa Israel. Di dalam Kitab Keluaran dikisahkan berbagai peristiwa inspiratif yang mendorong terbentuknya bangsa dan negara Israel. Kedua, dalam Kitab Keluaran diperkenalkan juga siapakah YHWH itu. Dengan menceritakan kemenangan besar dalam pertempuran dahsyat antara YHWH  dan Mesir, YHWH lalu digambarkan sebagai Yang Berkuasa dan Sang Penyelamat, yakni Dia yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Ketiga, Kitab Keluaran menggambarkan pewahyuan diri YHWH dan menjelaskan tanggapan umat Israel atas pewahyuan tersebut. Keempat, Kitab Keluaran menggambarkan pula ketidaksabaran bangsa Israel. Kelima, Kitab Keluaran menunjukkan hukum baru yang mengikat YHWH dengan Israel (Perjanjian Musa/Sinai). Keenam, Kitab Keluaran pada akhirnya mengungkapkan pentingnya memelihara perjanjian bangsa Israel dengan YHWH.
Bagi umat Kristiani, Kitab Keluaran juga memiliki kedudukan yang penting. Akan tetapi, konsep umat Israel mengenai pentingnya Kitab Keluaran tentu berbeda dengan umat Kristiani. Jika oleh umat Israel, Kitab Keluaran dipandang sebagai inti dari Torah, bagi umat Kristiani, Kitab Keluaran dipandang sebagai “yang akan digenapi”. Yesus sendiri pernah berkata, “Aku datang bukan untuk meniadakan Hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya”. Dengan demikian, bagi umat Kristiani, Kitab Keluaran lebih dipandang sebagai ‘jalan’ yang dipersiapkan khusus untuk kedatangan Yesus.
Perbedaan lainnya ialah sama seperti umat Israel menganggap Kitab Keluaran sebagai inti dari Torah, umat Kristiani pun menganggap Yesus sebagai inti dari keseluruhan hidupnya. Mengapa? Karena bagi umat Kristiani, Yesus yang disebut Kristus itu adalah pewahyuan diri Allah sendiri. Jika dalam Kitab Keluaran dikisahkan bahwa YHWH mewahyukan diri-Nya melalui perantaraan Musa dalam rupa Perjanjian Sinai, dalam kitab-kitab Injil ditunjukkan bahwa Allah mewahyukan diri-Nya melalui perantaraan Putera-Nya sendiri, Yesus Kristus. Ia adalah inkarnasi diri Allah. Dengan kata lain, Yesus adalah Allah yang tertampakkan. “Barangsiapa melihat Aku, Ia melihat Bapa yang mengutus Aku”.

Yesus adalah utusan Bapa. Dia diutus untuk menyampaikan Kabar Sukacita kepada dunia. Menariknya ialah pewartaan Kabar Sukacita itu ditanggapi beragam oleh manusia. Ada yang menerima, ada pula yang menolak. Mereka yang menolak Dia bahkan berusaha menghentikan upaya penyebarluasan Kabar Sukacita itu dengan berbagai cara, termasuk dengan menyalibkan Yesus sendiri dan para Murid-Nya. Hal yang sama pula terjadi pada umat Israel. Allah mengutus Musa untuk menyatakan kebaikan Allah di hadapan bangsa terpilih itu. Akan tetapi, tindakan Musa tersebut mendapat berbagai tanggapan dari umat Israel. Ada yang menerima, ada pula yang menolak. Mereka yang menolak cenderung mengeluh dan bahkan membuat serta menyembah allah lain; suatu tindakan yang dapat mendatangkan murka Allah atas umat pilihan-Nya itu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...