JURNAL
IV
Kamis,
21 April 2016
Sebelum
peristiwa Keluaran (pembebasan bangsa Israel dari perbudakan) itu terjadi, YHWH
melakukan tindakan “mengacungkan tangan” ke atas bangsa Mesir dengan menurunkan
sepuluh tulah yang luar biasa dahsyatnya. Bagi saya, tindakan YHWH ini tidak
hanya menarik untuk direfleksikan secara teologis-biblis, tetapi juga perlu diperbincangkan
dalam tataran konseptual secara historis-kritis. Namun, yang hendak saya soroti
di sini bukanlah tindakan “mengacungkan tangan” pada dirinya sendiri, melainkan
suatu motivasi terselubung yang ada di balik tindakan itu. Dengan demikian,
pertanyaan pokok yang harus dijawab adalah “Mengapa Yahweh mengacungkan
tangan-Nya ke atas Mesir?”
Dalam
kitab Keluaran, dikisahkan bahwa Yahweh menghukum Mesir dengan menurunkan
sepuluh tulah yang mengerikan. Terlepas dari beberapa pandangan mengenai
karakteristik tulah tersebut, ada beberapa alasan yang mendorong Yahweh
bertindak demikian. Jika ditinjau dari perspektif teologis-biblis, Keluaran
9:14-16 menyodorkan dua alasan yang pasti, yakni “...supaya engkau mengetahui,
bahwa tidak ada yang seperti Aku di seluruh bumi...” (Kel. 9:14) dan “...supaya
memperlihatkan kepadamu kekuatan-Ku, dan supaya nama-Ku dimasyurkan di seluruh
bumi” (Kel. 9:16). Namun, perlu diketahui bahwa kisah tentang sepuluh tulah itu
disusun dalam kerangka teologis tertentu sehingga kedua alasan tersebut semata-mata
bertujuan memelihara kedaulatan Allah secara mutlak.
Samasekali
berbeda dengan tinjauan teologis-biblis di atas, Bruggemann menyajikan suatu
alasan menarik dari tinjauan historis-kritis. Pertama-tama, ia menggambarkan
peristiwa Keluaran itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pelbagai
masalah sosial yang ada, teristimewa masalah perbudakan. Itulah sebabnya,
Bruggemann menyatakan bahwa pertarungan hebat antara YHWH (Israel) dan Firaun (Mesir)
bukanlah pertarungan antara dua pribadi, melainkan suatu perwujudan dari dua
status dan kebijakan sosial yang berbeda. Menurutnya, Mesir adalah representasi
dari status dan kebijakan sosial kelompok penguasa yang pro-perbudakan,
sementara Israel adalah representasi dari status dan kebijakan sosial kelompok subaltern yang anti-perbudakan.
Masing-masing kelompok tentu memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain
sehingga relasi yang terjalin antarkeduanya lebih pada relasi saling
meniadakan. Kelompok yang satu berupaya menguasai dan melemahkan peran dari kelompok
yang lain. Dalam situasi yang tidak kondusif ini, konflik pun tak terhindarkan lagi.
Berpijak pada paradigma ini, jelaslah bahwa oleh Bruggemann, kemenangan Yahwe dilihat
sebagai kemenangan politik non-perbudakan.
Bagi saya,
melihat peristiwa Keluaran baik secara teologis-biblis, maupun historis-kritis merupakan
suatu hal penting. Mengapa? Selain karena dapat memperkaya dan memperluas
cakrawala pemahaman kita, interpretasi dari berbagai sudut pandang juga membantu
kita untuk selalu bersikap terbuka, inklusif, dan obyektif dalam memandang
setiap persoalan baik yang terkait dengan agama, maupun sosial-kultural. Dengan
bertindak demikian, kita terhindar dari dua posisi ekstrem yang saling
bertentangan, intoleransi mayoritas dan tirani minoritas. Menempuh apa yang
Aristoteles sebut sebagai “jalan tengah” lebih bersifat netral dan liberal.
Komentar
Posting Komentar