JURNAL I
Kamis,31
Maret 2016
Sebuah
pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “Si
vis Pacem, Para Bellum”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian,
bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius
Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari-- menyatakan hal yang senada: “Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat”. Artinya, ‘Siapa
menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi
kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak
dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam
artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi
ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman
penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih
dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang
demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dilihat
semata-mata sebagai buah dari pertikaian. Peperangan seolah-olah menjadi jalan
satu-satunya menuju perdamaian, padahal tanpa adanya konflik, perdamaian tetap dapat
terjaga.
Yang
hendak dikedepankan di sini tentu saja ialah bagaimana kita berupaya
menciptakan situasi yang damai, ketika dihadapkan pada suatu situasi penuh
konflik. Dalam konteks ini, sikap dan tindakan altruistik menjadi tumpuhan
harapan kita bersama. Maksudnya, kita diharapkan mampu bertindak melampaui diri
sendiri dengan mencintai orang lain sepenuh
hati, termasuk musuh-musuh kita, seperti kita mencintai diri kita sendiri.
Sebagai orang Kristen, kita bahkan dituntut untuk memaafkan atau mengampuni dan
mendoakan siapa saja yang bersalah kepada kita. Yesus Kristus yang kita imani itu
jelas telah memperlihatkan kepada kita teladan hidup yang tepat. Sebagai
murid-murid-Nya, kita tentu berkewajiban untuk mengikuti sikap dan tindakan
Yesus sendiri. Mengapa? Karena sikap dan tindakan yang demikian pastinya
menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan perdamaian, meskipun berbagai
pertikaian marak terjadi di mana-mana.
Dalam
KS Perjanjian Lama, ditemukan begitu banyak konflik yang terjadi, teristimewa
konflik antarsesama manusia. Misalkan saja, konflik antara Yakub dan Esau (Kej.
25:19-34). Pertikaian antara Yakub dan Esau dipicu oleh hasrat berlebih-lebihan
untuk merebut hak kesulungan (Kej. 29-34) dan berjuang untuk mendapatkan berkat
dari Ishak, ayah mereka (Kej. 27:1-45). Konflik yang lain lagi terjadi,
misalnya antara Yakub dan Laban (Kej. 27:46-28:9). Tindakan saling menipu
antara kedua tokoh ini menjadi pemicu utama lahirnya konflik. Namun, hal yang
menarik dari dua kisah yang berbeda ini terletak dalam upaya mereka untuk
keluar dari situasi konflik dan segera menciptakan hubungan damai satu dengan
yang lain. Baik konflik yang terjadi antara Yakub dan Esau (Kej. 32:3-21;
33:1), maupun antara Yakub dan Laban (Kej. 31:25-32:3) berujung pada upaya
untuk menciptakan perdamaian. Happy
Ending inilah yang tentunya diharapkan dapat tercapai. Oleh sebab itu, setiap
pertikaian perlu segera diselesaikan. Agar bisa menyelesaikannya, masing-masing
pihak dituntut untuk keluar dari zona nyaman, melawan egoisme pribadi, bersikap
rendah hati dengan meminta maaf dan memaafkan yang lain. Dalam konteks ini,
kedua pepatah Latin klasik di atas menjadi relevan.
Komentar
Posting Komentar