Pendekatan Poskolonial
Spivak:
Tak ada yang lebih
antusias dalam menyuarakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu selain
anggota masyarakat yang bersangkutan. Gayatri Chakravorty Spivak adalah seorang
berkewarganegaraan India yang begitu semangat memperjuangkan nasib kaum subaltern di negara asalnya itu. Adanya
perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang yang memiliki posisi sebagai
bawahan (a subordinate position) atau
mereka yang tidak termasuk elit-kolonial, tuan tanah, para petani kaya dan kelas
petani menengah ke atas mendorong Spivak untuk
mengadakan revolusi paradigma. Melalui karya-karyanya, ia mengupayakan
penerapan suatu metode atau pendekatan baru untuk dapat mengenal lebih dalam
identitas sesungguhnya dari kaum yang dipandang sebagai subaltern. Inilah pokok bahasan utama yang hendak dikemukakan dalam
artikel sederhana ini, tanpa harus mengurangi atau mengesampingkan unsur-unsur
penting terkait biografi singkat dari penyalur suara kaum subaltern ini.
Biografi Singkat
Gayatri
Chakravorty Spivak lahir pada 24
Februari 1942 di Ballygunge, Kolkata, India. Ia menempuh
pendidikan di beberapa universitas, seperti Rabindra Bharati University (2012), Presidency University di Kolkata, University of Calcutta, Cornell
University, University of Toronto, University of London, Oberlin College, dan
Rovira i Virgili University. Setelah
menyelesaikan studinya, ia menjadi seorang pengajar sekaligus penerjemah dan
kemudian menjadi profesor di Columbia University. Berbagai buku telah ia
tuliskan. Para pemikir hebat, seperti Jacques Derrida, Edward Said, Michel Foucault, Karl
Marx, Antonio Gramsci, Sigmund Freud, Mahasweta Devi, Immanuel Kant, dan Nicos Poulantzas menginspirasi dan memengaruhi pola berpikirnya sehingga mampu
melahirkan serta memunculkan ide-ide cemerlang yang kemudian ia tuangkan dalam pelbagai
tulisannya. Selain aktif memperjuangkan nasib kaum subaltern melalui jalur pena, ia adalah juga salah seorang anggota pendiri the
School’s Institute for Comparative Literature & Society. Karena jasa dan kontribusinya yang besar dalam dunia
akademik-kultural, ia lalu mendapat penghargaan Guggenheim Fellowship for Humanities,
U.S. & Canada.
Tradisi Sati Selayang Pandang
Spivak adalah
seorang wanita yang amat menaruh hati pada masyarakat India pribumi. Di dalam
masyarakat itu, tepatnya di bagian Barat-Laut India, dipraktikkan sebuah
tradisi yang disebut sati. Sati merupakan tindakan pengorbanan diri dengan cara membakar diri. Tindakan
pengorbanan diri ini dilakukan oleh seorang istri yang
ditinggal mati suaminya. Pada saat upacara kremasi jenazah suaminya diselenggarakan, seorang istri mengambil bagian secara penuh
dalam upacara tersebut dengan cara menceburkan diri atau masuk ke dalam perapian
yang bernyala-nyala, sehingga turut terbakar bersama suaminya.
Hukum Manu di India menyatakan bahwa seorang janda Hindu
tetap seorang Sati (bahasa Sansekerta) yang artinya murni dan tidak dapat menikah lagi. Melalui tindakan mengorbankan diri itu, seorang janda tetaplah suci. Janda itu pun menjadi dewi dan membawa
keberuntungan bagi kelahirannya serta kehidupan keluarganya. Pengorbanan diri juga merupakan tindakan
simbolik untuk menunjukkan devosi abadi sang istri kepada sang suami yang telah meninggal.
Sebagai suatu tindakan pengorbanan diri, Sati menjadi sumber yang
manjur bagi stereotip masyarakat India selama perjalanan dengan perintah
religius yang penuh dengan hal-hal mistis dan berbau takhayul. Selain motivasi-motivasi yang barbau metafisis, batasan-batasan sosial yang
diberlakukan terhadap para janda Hindu (seperti
gunting
rambut, membuang semua permata, memakai sari putih sederhana, makan satu kali
sehari, dikucilkan dari perayaan-perayaan antara lain perkawinan) juga merupakan “cold” sati. Apa yang disebut sebagai cold sati itu lalu memotivasi beberapa janda untuk mengorbankan
diri atas kemauannya sendiri.
Spivak Sang Dekonstruksioner
Oleh Collin McCabe, Spivak diggambarkan sebagai seorang
“dekonstruksionis feminis Marxis.”
Alasan utamanya adalah ia kerapkali menggunakan dekonstruksi untuk menguji “bagaimana kebenaran dikonstruksi”. Di samping itu, ia juga dengan tegas menyatakan posisi intelektual dan politis seseorang (contoh: Marxisme) untuk “menginterupsi” atau “membawa yang lainnya
ke dalam krisis”. Ini merupakan bagian
dari kritikan pedas yang dilontarkan Spivak terhadap metode yang diterapkan Barat
untuk memperdalam pengetahuan akan identitas masyarakat pribumi. Keseluruhan kritik yang dilontarkannya itu berhubungan langsung dengan aspirasi etisnya untuk sebuah
“politik terbuka.” Dalam hal ini, ia menggunakan dekonstruksi sebagai “penjaga
keamanan” dalam melawan represi atau pengucilan “yang lain (alterities)”, yaitu masyarakat, peristiwa, atau ide-ide yang secara radikal sebagai “other” terhadap pandangan
dunia (world-view) yang dominan.
Spivak menulis perlawanan terhadap “kekerasan epistemik (epistemic
violence)” yang dilakukan oleh diskursus-diskursus pengetahuan untuk mengukir dunia dan mengutuk pelupaan terhadap
potongan-potongan yang tidak mudah dicocokkan. Spivak sendiri secara sadar mengeksplorasi struktur kekerasan tanpa sebuah
asumsi final yang sudah terselesaikan.
Can The Subaltern Speak?
Dalam bukunya yang berjudul Can The Subaltern Speak?, Spivak berpendapat bahwa kritik
poskolonial, seperti para feminis, merupakan
upaya memberdayakan suara-suara mereka yang terpinggirkan. Argumen Spivak ini didasarkan pada tindakan Inggris yang melarang tradisi sati, sebuah ritual kepercayaan yang
dipraktikkan di Barat-Laut India. Menurut Spivak, kehadiran kaum kolonial Inggris tidak hanya berpengaruh
secara politis-ekonomis, tetapi juga berpengaruh besar dalam kehidupan sosial-kultural
masyarakat India. Mereka bahkan berusaha mengintervensi lebih jauh
praktik-praktik kebudayaan masyarakat setempat. Intervensi itu nampak jelas
dalam upaya mereka melarang dan membendung tradisi sati. Dengan mengedepankan
maksud baik, demi hak dasariah para janda untuk hidup lebih lama dan lebih
layak lagi, misalnya mereka berusaha menghilangkan tradisi sati yang telah
berakar tunggang dalam masyarakat pribumi.
Mengingat tradisi
sati yang oleh orang-orang di luar komunitas India, termasuk orang-orang Inggris,
dinilai sangat brutal (de facto
memang demikian), para kolonialis sering berpikir bahwa mereka bermaksud baik. Tindakan pengorbanan diri itu dinilai tidak manusiawi
sehingga harus segera dihentikan. Dalam hal ini, mereka menampilkan diri
sebagai yang lebih mengenal dan mengetahui apa yang seharusnya serta sebaiknya
dilakukan atau dipraktikkan oleh masyarakat setempat. Akan tetapi, bagi Spivak,
mereka bukan sedang menawarkan suatu pola berpikir yang lebih baik dan
manusiawi, melainkan mereka sesungguhnya sedang memaksakan pola berpikir mereka
pada suatu masyarakat yang telah bertahun-tahun lamanya hidup dengan pola
berpikirnya sendiri. Tindakan pemaksaan ini jelas berdampak buruk karena
tradisi yang terinternalisasi dalam masyarakat India itu secara paksa dicabut.
Hal itu sama halnya dengan menghilangkan identitas atau apa yang menjadi kekhasan
masyarakat setempat.
Studi Poskolonial: Kritik sekaligus Solusi
Tindakan pemaksaan
kaum kolonialis Inggris itu dikritik oleh Spivak. Ia pertama-tama mengkritik studi yang dilakukan oleh Subaltern Studies
Group yang mengadopsi istilah tersebut dari Gramsci, lalu
menempatkannya sebagai suara dari agen dalam poskolonial India. Ia mendasari kritikannya itu pada pemikiran
Michel Foucault dan Gillas Deleuze yang menentang pandangan bahwa
individu-individu adalah subjek yang berdaulat dengan kesadarannya yang otonom. Bagi Spivak, subjek bukanlah pengarang atas dirinya sendiri. Manusia tidak
mengkonstruksikan identitasnya sendiri. Semuanya itu telah tertulis untuk kita, manusia. Dengan
kata lain, subjek tidak dapat berkuasa atas dirinya sendiri. Implikasinya, subjek bukanlah representasi transparan atas dirinya,
melainkan sebagai efek dari sebuah wacana. Namun, kontradiksi terjadi ketika
mereka menempatkan para pekerja sebagai kelompok tertindas yang sepenuhnya
berkesadaran dan dapat menyuarakan hak mereka.
Atas dasar itu, Spivak lalu melihat studi pos-kolonial sebagai sebuah contoh baru dari usaha untuk membebaskan orang lain dan memampukan mereka untuk
mengalami dan mewacanakan bagian dari
diri mereka. Bagaimanapun juga, menurut Spivak, riset tentang subjek dari dunia ketiga
selalu mengandung kolonial pada dirinya, terutama
karena mereka mendefinisikan “the other” subjek sebagai objek studi dan sebagai
sesuatu yang harus dapat disarikan melalui pengetahuan atau melalui riset ilmiah yang mereka lakukan. Bagi
Spivak, hal itu menunjukkan upaya pembenaran atas penaklukan tehadap budaya lain
dan perbudakan atas orang lain. Ironisnya, kaum
imperialis mengklaim hasil riset mereka bersifat objektif. Padahal, dalam kacamata Spivak, Barat sesungguhnya sedang berbicara kepada dirinya dengan
menggunakan bahasa mereka sendiri tentang the other semata-mata demi keuntungan mereka. Spivak meyakini bahwa Barat terobsesi untuk melindungi dirinya sendiri sebagai subjek, dan
wacana apapun yang dilakukan sebenarnya mengenai diri mereka sendiri. Menurut Spivak, the subaltern tidak dapat mewacanakan diri mereka
sendiri selama para akademisi Barat tidak dapat menghubungkan mereka dengan
menggunakan paradigma the other itu sendiri.
Strategic Essentialism
Untuk menentang
tindakan Barat yang cenderung mengobyekkan the
other demi kepentingan mereka sendiri itu, Spivak lalu menawarkan kepada
masyarakat pribumi yang subaltern
sebuah strategic essentialism. Strategic essentialism merupakan sebuah jalan di mana para kaum
marginal (untuk sementara) mengesampingkan perbedaan lokal dan menempa rasa
identitas kolektif untuk bergerak dalam suatu gerakan politik. Hal itu merupakan penggalian inti elemen kelompok sekaligus menekan mereka agar menciptakan solidaritas dan memperkuat kehadiran mereka di tengah masyarakat.
Berjalannya strategic essentialism sangat ditentukan oleh faktor waktu, yakni KAPAN tepatnya hal itu bisa
dijalankan dan faktor subyek, yakni SIAPA yang memiliki otoritas untuk
bekerja pada ranah itu. Itulah sebabnya
dibutuhkan waktu dan orang yang tepat agar strategic
essentialism ini berjalan efektif. Menurut Spivak, para kaum marginal harus memformulasikan sendiri identitas mereka demi kemajuan
komunitasnya. Dengan kata lain, itu semua adalah
pilihan dan kesadaran mereka sendiri. Ini
merupakan upaya terbaik yang dapat ditempuh agar mereka dapat menyuarakan
kepentingannya kepada penguasa.
Kesimpulan
Melalui serangkaian penelitian dan karya tulis yang ia
ciptakan, Spivak terus berusaha menyadarkan kaum subaltern (khususnya di India) untuk bersuara dan melawan dogma-dogma
Barat. Upaya mereka untuk mengintervensi lebih jauh kehidupan
sosial-kultural masyarakat India, yakni dengan mencabut secara paksa tradisi
sati yang telah terinternalisasi dalam kebudayaan lokal harus dipatahkan.
Demikian pula, tindakan Barat yang cenderung mengobyekkan masyarakat pribumi
yang lemah melalui observasi ilmiah perlu ditentang. Dengan strategic essentialism-nya, Spivak
berusaha membangkitkan solidaritas masyarakat pribumi untuk bahu-membahu
menyuarakan kepentingan bersama kepada penguasa yang imperialis. Perjuangan
tanpa diskriminatif dan obyektifitas ini dilakukan semata-mata karena Spivak
sendiri menyadari bahwa semua orang berhak untuk bersuara dan memertahankan identitas
mereka dari intervensi pihak luar yang merasa dirinya lebih
mulia dan lebih baik.
[1]
Tulisan sederhana ini
dirangkum dan dikembangkan dari artikel berjudul “Gayatri Spivak: the Deconstructive Twist”, hal. 74-113.
Komentar
Posting Komentar