Langsung ke konten utama

Pendekatan Poskolonial Spivak

Pendekatan Poskolonial Spivak:
Sebuah Upaya Menyuarakan Kepentingan Kaum Subaltern[1]

Tak ada yang lebih antusias dalam menyuarakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu selain anggota masyarakat yang bersangkutan. Gayatri Chakravorty Spivak adalah seorang berkewarganegaraan India yang begitu semangat memperjuangkan nasib kaum subaltern di negara asalnya itu. Adanya perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang yang memiliki posisi sebagai bawahan (a subordinate position) atau mereka yang tidak termasuk elit-kolonial, tuan tanah, para petani kaya dan kelas petani menengah ke atas mendorong Spivak untuk mengadakan revolusi paradigma. Melalui karya-karyanya, ia mengupayakan penerapan suatu metode atau pendekatan baru untuk dapat mengenal lebih dalam identitas sesungguhnya dari kaum yang dipandang sebagai subaltern. Inilah pokok bahasan utama yang hendak dikemukakan dalam artikel sederhana ini, tanpa harus mengurangi atau mengesampingkan unsur-unsur penting terkait biografi singkat dari penyalur suara kaum subaltern ini.

Biografi Singkat
Gayatri Chakravorty Spivak lahir pada 24 Februari 1942 di Ballygunge, Kolkata, India. Ia menempuh pendidikan di beberapa universitas, seperti Rabindra Bharati University (2012), Presidency University di Kolkata, University of Calcutta, Cornell University, University of Toronto, University of London, Oberlin College, dan Rovira i Virgili University. Setelah menyelesaikan studinya, ia menjadi seorang pengajar sekaligus penerjemah dan kemudian menjadi profesor di Columbia University. Berbagai buku telah ia tuliskan. Para pemikir hebat, seperti Jacques Derrida, Edward Said, Michel Foucault, Karl Marx, Antonio Gramsci, Sigmund Freud, Mahasweta Devi, Immanuel Kant, dan Nicos Poulantzas menginspirasi dan memengaruhi pola berpikirnya sehingga mampu melahirkan serta memunculkan ide-ide cemerlang yang kemudian ia tuangkan dalam pelbagai tulisannya. Selain aktif memperjuangkan nasib kaum subaltern melalui jalur pena, ia adalah juga salah seorang anggota pendiri the School’s Institute for Comparative Literature & Society. Karena jasa dan kontribusinya yang besar dalam dunia akademik-kultural, ia lalu mendapat penghargaan Guggenheim Fellowship for Humanities, U.S. & Canada.

Tradisi Sati Selayang Pandang
Spivak adalah seorang wanita yang amat menaruh hati pada masyarakat India pribumi. Di dalam masyarakat itu, tepatnya di bagian Barat-Laut India, dipraktikkan sebuah tradisi yang disebut sati. Sati merupakan tindakan pengorbanan diri dengan cara membakar diri. Tindakan pengorbanan diri ini dilakukan oleh seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Pada saat upacara kremasi jenazah suaminya diselenggarakan, seorang istri mengambil bagian secara penuh dalam upacara tersebut dengan cara menceburkan diri atau masuk ke dalam perapian yang bernyala-nyala, sehingga turut terbakar bersama suaminya.
Hukum Manu di India menyatakan bahwa seorang janda Hindu tetap seorang Sati (bahasa Sansekerta) yang artinya murni dan tidak dapat menikah lagi. Melalui tindakan mengorbankan diri itu, seorang janda tetaplah suci. Janda itu pun menjadi dewi dan membawa keberuntungan bagi kelahirannya serta kehidupan keluarganya. Pengorbanan diri juga merupakan tindakan simbolik untuk menunjukkan devosi abadi sang istri kepada sang suami yang telah meninggal.
Sebagai suatu tindakan pengorbanan diri, Sati menjadi sumber yang manjur bagi stereotip masyarakat India selama perjalanan dengan perintah religius yang penuh dengan hal-hal mistis dan berbau takhayul. Selain motivasi-motivasi yang barbau metafisis, batasan-batasan sosial yang diberlakukan terhadap para janda Hindu (seperti gunting rambut, membuang semua permata, memakai sari putih sederhana, makan satu kali sehari, dikucilkan dari perayaan-perayaan antara lain perkawinan) juga merupakan “coldsati. Apa yang disebut sebagai cold sati itu lalu memotivasi beberapa janda untuk mengorbankan diri atas kemauannya sendiri.

Spivak Sang Dekonstruksioner
Oleh Collin McCabe, Spivak diggambarkan sebagai seorang “dekonstruksionis feminis Marxis.” Alasan utamanya adalah ia kerapkali menggunakan dekonstruksi untuk menguji “bagaimana kebenaran dikonstruksi”. Di samping itu, ia juga dengan tegas menyatakan posisi intelektual dan politis seseorang (contoh: Marxisme) untuk “menginterupsi” atau “membawa yang lainnya ke dalam krisis”. Ini merupakan bagian dari kritikan pedas yang dilontarkan Spivak terhadap metode yang diterapkan Barat untuk memperdalam pengetahuan akan identitas masyarakat pribumi. Keseluruhan kritik yang dilontarkannya itu berhubungan langsung dengan aspirasi etisnya untuk sebuah “politik terbuka.” Dalam hal ini, ia menggunakan dekonstruksi sebagai “penjaga keamanan” dalam melawan represi atau pengucilan “yang lain (alterities)”, yaitu masyarakat, peristiwa, atau ide-ide yang secara radikal  sebagai “other” terhadap pandangan dunia (world-view) yang dominan.
Spivak menulis perlawanan terhadap “kekerasan epistemik (epistemic violence)” yang dilakukan oleh diskursus-diskursus pengetahuan untuk mengukir dunia dan mengutuk pelupaan terhadap potongan-potongan yang tidak mudah dicocokkan. Spivak sendiri secara sadar mengeksplorasi struktur kekerasan tanpa sebuah asumsi final yang sudah terselesaikan.

Can The Subaltern Speak?
Dalam bukunya yang berjudul Can The Subaltern Speak?, Spivak berpendapat bahwa kritik poskolonial, seperti para feminis, merupakan upaya memberdayakan suara-suara mereka yang terpinggirkan. Argumen Spivak ini didasarkan pada tindakan Inggris yang melarang tradisi sati, sebuah ritual kepercayaan yang dipraktikkan di Barat-Laut India. Menurut Spivak, kehadiran kaum kolonial Inggris tidak hanya berpengaruh secara politis-ekonomis, tetapi juga berpengaruh besar dalam kehidupan sosial-kultural masyarakat India. Mereka bahkan berusaha mengintervensi lebih jauh praktik-praktik kebudayaan masyarakat setempat. Intervensi itu nampak jelas dalam upaya mereka melarang dan membendung tradisi sati. Dengan mengedepankan maksud baik, demi hak dasariah para janda untuk hidup lebih lama dan lebih layak lagi, misalnya mereka berusaha menghilangkan tradisi sati yang telah berakar tunggang dalam masyarakat pribumi.
Mengingat tradisi sati yang oleh orang-orang di luar komunitas India, termasuk orang-orang Inggris, dinilai sangat brutal (de facto memang demikian), para kolonialis sering berpikir bahwa mereka bermaksud baik. Tindakan pengorbanan diri itu dinilai tidak manusiawi sehingga harus segera dihentikan. Dalam hal ini, mereka menampilkan diri sebagai yang lebih mengenal dan mengetahui apa yang seharusnya serta sebaiknya dilakukan atau dipraktikkan oleh masyarakat setempat. Akan tetapi, bagi Spivak, mereka bukan sedang menawarkan suatu pola berpikir yang lebih baik dan manusiawi, melainkan mereka sesungguhnya sedang memaksakan pola berpikir mereka pada suatu masyarakat yang telah bertahun-tahun lamanya hidup dengan pola berpikirnya sendiri. Tindakan pemaksaan ini jelas berdampak buruk karena tradisi yang terinternalisasi dalam masyarakat India itu secara paksa dicabut. Hal itu sama halnya dengan menghilangkan identitas atau apa yang menjadi kekhasan masyarakat setempat.

Studi Poskolonial: Kritik sekaligus Solusi
Tindakan pemaksaan kaum kolonialis Inggris itu dikritik oleh Spivak. Ia pertama-tama mengkritik studi yang dilakukan oleh Subaltern Studies Group yang mengadopsi istilah tersebut dari Gramsci, lalu menempatkannya sebagai suara dari agen dalam poskolonial India. Ia mendasari kritikannya itu pada pemikiran Michel Foucault dan Gillas Deleuze yang menentang pandangan bahwa individu-individu adalah subjek yang berdaulat dengan kesadarannya yang otonom. Bagi Spivak, subjek bukanlah pengarang atas dirinya sendiri. Manusia tidak mengkonstruksikan identitasnya sendiri. Semuanya itu telah tertulis untuk kita, manusia. Dengan kata lain, subjek tidak dapat berkuasa atas dirinya sendiri. Implikasinya, subjek bukanlah representasi transparan atas dirinya, melainkan sebagai efek dari sebuah wacana. Namun, kontradiksi terjadi ketika mereka menempatkan para pekerja sebagai kelompok tertindas yang sepenuhnya berkesadaran dan dapat menyuarakan hak mereka.
Atas dasar itu, Spivak lalu melihat studi pos-kolonial sebagai sebuah contoh baru dari usaha untuk membebaskan orang lain dan memampukan mereka untuk mengalami dan mewacanakan  bagian dari diri mereka. Bagaimanapun juga, menurut Spivak, riset tentang subjek dari dunia ketiga selalu mengandung kolonial pada dirinya, terutama karena mereka mendefinisikan “the other” subjek sebagai objek studi dan sebagai sesuatu yang harus dapat disarikan melalui pengetahuan atau melalui riset ilmiah yang mereka lakukan. Bagi Spivak, hal itu menunjukkan upaya pembenaran atas penaklukan tehadap budaya lain dan perbudakan atas orang lain. Ironisnya, kaum imperialis mengklaim hasil riset mereka bersifat objektif. Padahal, dalam kacamata Spivak, Barat sesungguhnya sedang berbicara kepada dirinya dengan menggunakan bahasa mereka sendiri tentang the other semata-mata demi keuntungan mereka. Spivak meyakini bahwa Barat terobsesi untuk melindungi dirinya sendiri sebagai subjek, dan wacana apapun yang dilakukan sebenarnya mengenai diri mereka sendiri. Menurut Spivak, the subaltern tidak dapat mewacanakan diri mereka sendiri selama para akademisi Barat tidak dapat menghubungkan mereka dengan menggunakan paradigma the other itu sendiri.

Strategic Essentialism
Untuk menentang tindakan Barat yang cenderung mengobyekkan the other demi kepentingan mereka sendiri itu, Spivak lalu menawarkan kepada masyarakat pribumi yang subaltern sebuah strategic essentialism. Strategic essentialism merupakan sebuah jalan di mana para kaum marginal (untuk sementara) mengesampingkan perbedaan lokal dan menempa rasa identitas kolektif untuk bergerak dalam suatu gerakan politik. Hal itu merupakan penggalian inti elemen kelompok sekaligus menekan mereka agar menciptakan solidaritas dan memperkuat kehadiran mereka di tengah masyarakat.
Berjalannya strategic essentialism sangat ditentukan oleh faktor waktu, yakni KAPAN tepatnya hal itu bisa dijalankan dan faktor subyek, yakni SIAPA yang memiliki otoritas untuk bekerja pada ranah itu. Itulah sebabnya dibutuhkan waktu dan orang yang tepat agar strategic essentialism ini berjalan efektif. Menurut Spivak, para kaum marginal harus memformulasikan sendiri identitas mereka demi kemajuan komunitasnya. Dengan kata lain, itu semua adalah pilihan dan kesadaran mereka sendiri. Ini merupakan upaya terbaik yang dapat ditempuh agar mereka dapat menyuarakan kepentingannya kepada penguasa.

Kesimpulan
Melalui serangkaian penelitian dan karya tulis yang ia ciptakan, Spivak terus berusaha menyadarkan kaum subaltern (khususnya di India) untuk bersuara dan melawan dogma-dogma Barat. Upaya mereka untuk mengintervensi lebih jauh kehidupan sosial-kultural masyarakat India, yakni dengan mencabut secara paksa tradisi sati yang telah terinternalisasi dalam kebudayaan lokal harus dipatahkan. Demikian pula, tindakan Barat yang cenderung mengobyekkan masyarakat pribumi yang lemah melalui observasi ilmiah perlu ditentang. Dengan strategic essentialism-nya, Spivak berusaha membangkitkan solidaritas masyarakat pribumi untuk bahu-membahu menyuarakan kepentingan bersama kepada penguasa yang imperialis. Perjuangan tanpa diskriminatif dan obyektifitas ini dilakukan semata-mata karena Spivak sendiri menyadari bahwa semua orang berhak untuk bersuara dan memertahankan identitas mereka dari intervensi pihak luar yang merasa dirinya lebih mulia dan lebih baik.








[1] Tulisan sederhana ini dirangkum dan dikembangkan dari artikel berjudul “Gayatri Spivak: the Deconstructive Twist”, hal. 74-113.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Mazmur itu Puisi?

Puisi Mazmur [1] Mazmur itu berbentuk puisi. Benarkah demikian? Dalam buku mereka yang berjudul Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 1-72, Pembimbing dan Tafsirannya , Marie Claire Barth dan B. A. Pareira memperlihatkan ciri corak mazmur sebagai sebuah puisi. Mereka menjawab pertanyaan di atas dengan mengedepankan beberapa unsur pokok yang menjadi kategorisasi sebuah puisi. Menurut mereka, dalam mazmur-mazmur Ibrani juga terkandung unsur-unsur tersebut. Untuk mencapai pemahaman yang jelas mengenai hal itu, mereka pertama-tama menjabarkan apa yang dimaksudkan dengan puisi. Setelah itu, mereka menyajikan secara berturut-turut pemahaman dasar mengenai pokok-pokok penting dari sebuah puisi, seperti irama puisi Ibrani, bahasa gambaran, seni bunyi, bait, dan mazmur-mazmur Abjad. Pada bagian akhir, mereka menyimpulkan beberapa point inti terkait kesadaran bahwa mazmur itu berbentuk puisi. Apakah Puisi itu? Mazmur berbentuk puisi. Puisi adalah fenomena bahasa. Puisi adalah bahasa dalam bah...