Langsung ke konten utama

Gereja: Sakramen Kerahiman dan Belas Kasih Allah

Gereja:
Sakramen Kerahiman dan Belas Kasih Allah[1]

Dunia memang tak pernah lepas dari cengkraman kejahatan. Kemelaratan, ketidakadilan, dan kekerasan terjadi di mana-mana sehingga menampilkan dunia yang berwajah garang bak monster. Dalam kancah internasional, kita dapat menyaksikan tindakan-tindakan brutal (seperti pembunuhan dan terorisme) yang dilakukan, misalnya oleh kelompok militan ekstremis Wahhabi, Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Dalam level nasional, hal yang serupa pun terjadi. Ledakan bom di jln. MH Thamrin, tepat di depan gedung Sarinah, pada awal tahun 2016 yang lalu menjadi bukti tak terbantahkan. Terorisme tentu hanyalah bagian terkecil dari kejahatan dunia. Namun, fakta ini telah memperlihatkan dengan sangat jelas matinya iman dan tumpulnya nurani kebanyakan masyarakat dunia.
Pada 13 November 1980, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan sebuah ensiklik berjudul “Dives In Misericordia” (Kaya dalam Kerahiman). Dalam ensiklik tersebut, Santo Yohanes Paulus II dengan tegas menyatakan betapa mendesaknya pewartaan dan kesaksian akan kerahiman Allah di jaman sekarang. Sementara itu, pada 11 April 2015, Paus Fransiskus mengeluarkan Bulla Misericordiae Vultus (Wajah Kerahiman Allah), Bulla Pemberitahuan Yubileum Luar Biasa Kerahiman. Melalui bulla tersebut, Paus Fransiskus mengajak kita (Gereja) untuk menunjukkan belas kasihan satu terhadap yang lain. Diterbitkannya ensiklik dan bulla tersebut oleh kedua pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma ini tentu memperlihatkan keprihatinan mereka yang besar terhadap masalah yang sedang melanda dunia dewasa ini. Mereka telah menyadari ketidakteraturan dunia tersebut sedari awal. Itulah sebabnya mereka berjuang mengedepankan aspek kerahiman dan belas kasih itu dalam setiap dinamika perjumpaan baik antarsesama manusia, maupun antarmanusia dengan alam ciptaan.
Dalam situasi dunia yang tidak kondusif seperti sekarang ini, Gereja lantas menjadi tumpuan. Meskipun tidak berasal dari dunia, Gereja tetaplah bagian dari dunia. Karena itu, Gereja baik secara iman maupun moral juga turut bertanggung jawab dalam upaya mengharmonisasikan kembali ketidakteraturan dunia. Nah, agar dapat mengharmonisasikan kembali ketidakteraturan tersebut, Gereja haruslah menempuh jalan kerahiman dan belas kasih. Mengapa demikian? Karena kerahiman dan belas kasih, sebagaimana yang dikatakan St. Yohanes Paulus II, adalah sifat paling agung dari Sang Pencipta (Allah Bapa) dan Sang Penebus (Allah Putera) yang diimani Gereja. Lagipula, sebagaimana yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, Allah telah terlebih dahulu menunjukkan kepada Gereja kerahiman dan belas kasih-Nya melalui Yesus Kristus yang sudah menderita sengsara, wafat, dan kemudian dibangkitkan dari antara orang mati. Atas dasar itu, kerahiman dan belas kasih pun menjadi fondasi hidup Gereja. Itu berarti Gereja hanya dapat menghayati hidup yang sejati apabila ia mengakui dan mewartakan kerahiman dan belas kasih itu kepada dunia. Dalam hal ini, Gereja mesti memperlihatkan jatidirinya sebagai sakramen kerahiman dan belas kasih Allah.
Meskipun demikian, yang perlu disadari sejak awal adalah sebelum Gereja menjalankan perannya sebagai duta kerahiman dan belas kasih Allah di tengah dunia, ia terlebih dahulu mempraktikkan atau menerapkan kerahiman dan belas kasih itu dalam lingkungannya sendiri. Relasi yang terjalin antarsesama anggota Gereja, misalnya harus dilandasi rasa cinta dan penuh belas kasih. Demikian pula dengan segala kegiatan pastoral yang memang sepatutnya terungkap dalam kelemahlembutan dan bela rasa. Semangat untuk menunjukkan kemurahan hati hendaknya juga tidak pudar. Dalam hal ini, Gereja sendiri perlu mengukuhkan perannya sebagai duta kerahiman dan belas kasih Allah itu dengan meneladani Allah Bapa yang Maharahim dan Yesus Kristus yang murah hati dan penuh belas kasih.
Pengukuhan terhadap peran yang amat mulia dari Gereja itu hanya dapat dilakukan apabila Gereja terus-menerus membekali diri dengan penerimaan sakramen-sakramen. Sakramen-sakramen adalah bentuk pernyataan kasih Allah dan pengungkapan iman Gereja. Melalui sakramen-sakramen tersebut, Allah menyalurkan rahmat atau kerahiman-Nya kepada Gereja. Rahmat atau kerahiman itu sendiri adalah misteri kasih pribadi Allah yang mengatasi segala pikiran dan angan-angan manusia. Dengan menerima rahmat berarti manusia diterima sebagai anak dan dibuat “serupa dengan gambaran anak-Nya” (Rm 8:29), yakni Yesus Kristus, dan selanjutnya bersatu-padu dengan Kristus, oleh Roh Kudus, dalam penyerahan-Nya kepada Bapa. Karena merupakan kasih Allah, rahmat tidak pernah berarti paksaan, tetapi selalu mengandaikan jawaban bebas dari manusia terhadap kasih-kerahiman Allah. Jawaban manusia itulah yang disebut iman.[2]
Bertolak dari pemahaman dasariah tersebut, KV II lalu melihat sakramen-sakramen sebagai tanda iman (sakramen iman). Artinya, sakramen-sakramen tidak hanya dirayakan dengan iman ataupun mengandaikan iman si penerima[3], tetapi juga dapat menumbuhkan, menguatkan, serta mengungkapkan iman melalui kata-kata dan hal-hal lain, seperti benda, isyarat, atau perbuatan (bdk. SC 59).[4] Dengan merayakan sakramen, Gereja mengakui iman yang diterimanya dari para rasul. Dalam arti ini, makna simbolik dari sakramen-sakramen tersebut tampak sangat jelas.
Walaupun sakramen-sakramen tersebut adalah sakramen-sakramen iman, dapat juga dikatakan bahwa iman itu sendiri memiliki sebuah struktur sakramental. Bangkitnya iman dihubungkan dengan munculnya pengertian sakramental yang baru dalam kehidupan kita sebagai manusia dan sebagai umat Kristiani, yang di dalamnya realitas-realitas yang kelihatan dan yang bersifat materi dilihat untuk menandai yang melampaui diri mereka sendiri, kepada misteri kekekalan. Iman yang dihidupkan kembali tersebut tentu mengarahkan manusia beriman kristiani untuk menampilkan wajah Allah yang penuh kerahiman dan belas kasih kepada dunia. Dengan bertindak sebagai sakramen kerahiman dan belas kasih Allah, Gereja telah membantu mengharmonisasikan kembali ketidateraturan dunia saat ini. Itu merupakan sebuah jalan keniscayaan yang jika ditempuh akan memperbarui seluruh wajah dunia yang penuh dengan pelbagai masalah sebagai manifestasi nyata dari kejahatan.

Daftar Pustaka
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Kompendium Sepuluh Cabang Berakar Biblika dan Berbatang Patristika. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Konferensi Wali Gereja Indonesia. Dives In Misericordia (Kaya dalam Kerahiman) dan Misericordiae Vultus (Wajah Kerahiman). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2016.
 Martasudjita, E. Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Tarigan, Jacobus. Kerahiman: Jatidiri Kristiani. Jakarta: OBOR. 2015



[1] Tulisan sederhana ini lebih merupakan refleksi penulis terhadap makna sakramen sebagai kerahiman dan belas kasih Allah, sebagaimana yang termuat dalam dokumen-dokumen gereja (Ensiklik Dives In Misericordia dan Bulla Misericordiae Vultus), dan juga yang diulas secara sangat menarik dalam: Jacobus Tarigan. 2015. Kerahiman: Jatidiri Kristiani. Jakarta: OBOR.
[2] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 397.
[3] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 172.
[4] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Kompendium Sepuluh Cabang Berakar Biblika dan Berbatang Patristika (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 367.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...