Filsafat Teknologi Heidegger[1]
Tinjauan
Kritis Heiddegger terhadap Teknologi Modern
dalam
Konteks Kerusakan Alam
Teknologi
merupakan topik yang sangat penting dalam pemikiran Heidegger. Selain
mempertimbangkan teknologi sebagai permasalahan ontologis, ia bahkan menjadikan
teknologi sebagai pokok sentral dalam filsafat. Bertolak dari paradigma Albert Borgmann, penulis mencoba menjelaskan
filsafat teknologi Heidegger yang memang teramat sulit untuk dipahami. Oleh
karena itu, untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan, penulis berusaha
memusatkan perhatian pada tinjauan kritis Heidegger terhadap teknologi modern
yang cenderung berorientasi negatif terhadap alam (Ge-stell). Meskipun demikian, penulis tetap membahas secara
tidak begitu mendetail esensi teknologi menurut Heidegger yang menjadi titik
tolak kritikannya terhadap teknologi modern.
Esensi Teknologi Menurut Heiddegger
Dalam The Questions Concerning Technology, Heidegger
membahas dan menyingkapkan esensi teknologi yang tidak bersifat teknologis. Penyingkapan
itu dilakukan untuk membantu kita menjalin suatu hubungan yang bertanggung
jawab dengan teknologi. Dengan mengetahui dan memahami esensi teknologi, kita
diharapkan mampu mengalami teknologi dalam batas-batasnya sendiri dan bahkan
berupaya melampaui batas-batas tersebut. Di samping itu, dengan menyelidiki
landasan ontologis teknologi, Heidegger berusaha membebaskan teknologi itu
sendiri dari pandangan-pandangan keliru yang semata-mata bersifat subyektivistik
dan instrumentalistis serta menjadikannya persoalan pokok filsafat.[2]
Menurut Heidegger, esensi
teknologi terkait erat dengan eksistensi manusia. Konsep ini bertolak dari
pandangannya sendiri mengenai teknologi. Ia mengartikan teknologi lebih sebagai
suatu cara pandang dan pengalaman yang membentuk cara kita bertindak, cara kita
menggunakan alat, dan cara kita berhubungan dengan dunia kehidupan. Oleh karena
itu, yang ia soroti bukanlah teknologi an
sich ataupun bentuk-bentuk teknologi, melainkan orientasi kita pada
teknologi. Dalam hal inilah, dimensi praktis dari teknologi tampak sangat
jelas.
Heidegger berpendapat
bahwa untuk dapat menyingkap fenomena teknologi, teknologi harus terlepas dari
pandangan yang semata-mata instrumental dan antropologis. Pandangan yang
instrumental berarti melihat teknologi sekadar sebagai sarana untuk mencapai
tujuan, sedangkan pandangan yang antropologis berarti melihat teknologi hanya sebagai
aktivitas manusia belaka. Bagi Heidegger, pandangan-pandangan ini sangatlah
dangkal dan menjadikan teknologi melulu sebagai instrumen dari sains.
Lebih lanjut, Heiddegger
menyatakan bahwa pandangan terhadap teknologi baik secara instrumental, maupun
antropologis tersebut “is correct,
but not true”.[3] Apa
yang betul hanyalah benar dalam arti tertentu saja, yakni benar dalam bagian
tertentu saja atau benar dalam arti yang terbatas (kebenaran yang parsial). Sementara
itu, kebenaran bagi Heidegger adalah ketidaktersembunyian (aletheia) yang dimunculkan lewat penerangan (Lichtung)[4] atau
penyingkapan (revealing). Itulah
sebabnya, “he proposes to get to the true sense via the correct sense”.[5]
Artinya, agar mencapai kebenaran, penglihatan kita haruslah melampaui apa yang betul
karena apa yang betul selalu didasarkan pada suatu struktur ketersingkapan yang
menentukan apa yang betul itu.
Heidegger lalu berpendapat
bahwa teknologi bukanlah persoalan ontis, melainkan persoalan ontologis. Secara
ontologis, teknologi merupakan upaya kebenaran menyingkapkan dirinya atau merujuk
pada latarbelakang benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang memunculkan diri
dengan cara tertentu. Dengan demikian, secara ontologis, teknologi bukan hanya
sekumpulan instrumen atau aktivitas teknologis, melainkan juga suatu cara
pengungkapan kebenaran atau suatu wilayah di mana entitas dan aktivitas muncul
seperti adanya. Teknologi muncul dalam wilayah di mana penyingkapan (revealing) dan ketidaktersembunyian (unconcealment) berlangsung, di mana aletheia dan kebenaran terjadi.[6]
Cara penyingkapan ini
menuntut reaksi manusia untuk menanggapi sejarah Ada. Teknologi merupakan sejarah
Ada yang berlaku sekarang. Untuk itu, pemahaman terhadap esensi teknologi pun
menjadi penting agar kita dapat menanggapinya dengan cara yang sesuai. Akan
tetapi, bersamaan dengan ketersingkapan Ada, terjadi juga ketersembunyian Ada.
Ketika kita tenggelam dalam pandangan yang melihat dunia sebagai terbingkai,
muncul kemungkinan bahwa kita juga gagal untuk melihat atau memahami Ada.[7] Ini
menunjukkan sisi pemikiran Heidegger mengenai sejarah Ada yang kerap dianggap
mistis.
Esensi
Teknologi dan Penyingkapan Kebenaran[8]
Heidegger mempertanyakan
kaitan antara esensi teknologi dengan penyingkapan kebenaran. Ia sendiri
berpandangan bahwa kaitan antarkeduanya adalah segala-galanya, karena setiap
mengemukakan-ke-hadapan (Her-vor-bringen,
bringing-forth) didasarkan atas
penyingkapan. Pandangan ini bertolak dari pemahamannya tentang pengertian
etimologis teknologi. Menurutnya, teknologi berasal dari kata Yunani techne yang artinya tidak hanya merujuk
pada aktivitas dan keahlian menukang dengan tangan, tetapi juga merujuk pada
seni pikiran (the arts of the mind)
dan seni halus (fine arts). Dalam
Yunani kuno, istilah techne dihubungkan
dengan episteme. Keduanya sama-sama
melibatkan pengetahuan. Jika techne melibatkan
pengetahuan praktis, episteme melibatkan
pengetahuan teoretis.
Pengetahuan membawa suatu
penyingkapan atau penerangan (Lichtung).
Techne menyingkapkan apa yang tidak
dapat mengemukakan-dirinya-ke-hadapan (bringing-forth)
dan apa yang belum berada di depan kita. Apa yang menentukan techne bukanlah proses pembuatan,
melainkan penyingkapan. Di dalam penyingkapan, techne merupakan sebentuk mengemukakan-ke-hadapan (bringing-forth). Seorang tukang membuat
piala dengan keahlian tangannya merupakan penyingkapan yang melaluinya piala
itu dimunculkan ke hadapan. Jadi, techne merupakan
satu cara di mana benda-benda dibantu untuk muncul dan dikemukakan ke hadapan
sehingga tersingkap. Dalam hal ini, dimensi praksis dari fenomenologi Heidegger
terlihat jelas.
Penyingkapan Teknologi Modern
Teknologi
modern bukanlah seni tangan (work of
craftmanship), namun suatu penyingkapan. Terkait hal ini, Borgmann menulis:
“He (Heidegger) describes the particular
mode of disclosure that is technology and, very importantly, the revealing that
modern technology constitutes”.[9] Pendeskripsian
tersebut menekankan lima istilah kunci dari filsafat teknologinya, yakni challenges (herausforden), positions
(stellen), orders (bestellen), resource (der Bestan) dan the framework (das Gestell). Kelimanya
merupakan bentuk penyingkapan dominan dalam teknologi modern.
Penyingkapan
yang dominan dari teknologi ini menuntut alam secara berlebihan. Alam dan bumi
dilihat sebagai persediaan (Bestand,
standing reserve) yang dapat diambil, disimpan, dan digunakan. Oleh
Heidegger, cara pandang seperti ini disebut sebagai Ge-stell (enframing), yakni membingkai. Sebagai penyingkapan, teknologi
muncul dalam proses membingkai, yakni suatu cara yang sistematik dalam
memandang dunia secara terbatas. Dengan membingkai, seluruh bumi dilihat
sebagai persediaan dan alam dilihat sebagai sumber energi untuk kegunaan
instrumental manusia. Dalam pembingkaian, ketidaktersembunyian disingkapkan di
mana teknologi modern menyingkapkan yang real sebagai persediaan.
Heidegger
menyatakan bahwa esensi teknologi tidak bersifat teknologis, tetapi
eksistensial. Esensi teknologi terletak dalam cara pandang kita terhadap alam.
Bagaimana kita berorientasi pada alam ini lantas menjadi sebuah pembingkaian. Oleh
Heidegger, pembingkaian itu dilihat sebagai cara penyingkapan yang mendominasi
esensi teknologi modern dan pada dirinya sendiri tidak bersifat teknologis. Itulah
sebabnya Heidegger mengatakan bahwa untuk dapat memahami esensi teknologi, pandangan
teknologi yang instrumental dan antropologis perlu disingkirkan.
Kerusakan Alam sebagai Implikasi
Pembebasan
teknologi dari pandangan yang subyektivistik dan instrumental merupakan sebuah antisipasi.
Bagaimanapun juga, pandangan yang keliru itu berimplikasi buruk tidak hanya
bagi kehidupan manusia itu sendiri, tetapi juga alam ciptaan. Heidegger
menyadari hal ini sejak awal. Itulah sebabnya ia mengingatkan kita untuk tidak
melihat teknologi semata-mata sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Pandangan yang
keliru jelas memengaruhi cara berpikir kita sehingga berdampak pada perubahan
orientasi kita, terutama terhadap alam. Kita kemudian melihat alam melulu
sebagai persediaan. Jika itu sungguh terjadi, kita lalu mulai menciptakan
berbagai alat teknologi yang berfungsi untuk
mengambil, menyimpan, dan menggunakan potensi-potensi yang alam miliki.
Persoalan
menjadi buruk apabila terjadi eksploitasi besar-besar terhadap alam.
Pemanfaatan alam secara berlebihan jelas berdampak pada kerusakan alam itu
sendiri. Itulah yang telah terjadi, misalnya dalam dunia pertambangan.
Pertambangan menantang bumi untuk menghasilkan biji logam. Untuk mendapat lebih
banyak biji logam, manusia (dengan alat-alat teknologi yang telah diciptakan)
mengeruk perut bumi dalam skala yang sangat besar. Bumi diobrak-abrik secara
tidak bertanggung jawab, padahal persediaan bumi itu sendiri begitu terbatas.
Sama pula halnya dengan ilegal logging.
Demi kepentingan ekonomis, pembakaran dan penggundulan hutan terjadi di
mana-mana. Akibatnya, baik manusia maupun binatang mendapat imbas dari
kerusakan alam tersebut. Binatang kehilangan tempat tinggalnya, sementara
ribuan manusia, terutama kaum miskin menderita berbagai
penyakit aneh karena bahan-bahan kimia yang telah menjadi polusi. Bencana longsor
dan banjir pun menjadi bencana tahunan yang telah menelan begitu banyak korban.
Kerugian-kerugian yang timbul dari perusakan terhadap alam ini sangatlah
dahsyat, dan bahkan dapat menyebabkan kematian. De facto, peristiwa-peristiwa tersebut telah terjadi,
terutama sejak teknologi menguasai alam pikiran manusia hingga abad ini.
Teknologi
modern yang diciptakan manusia memang
berwajah ganda. Akan tetapi, terlepas
dari berbagai keuntungan yang diperoleh, penerapan ilmu dan teknologi modern
justru meningkatkan hasrat untuk menguasai, mula-mula alam, kemudian manusia
sendiri. Alam menjadi sasaran garapan dan rebutan, padahal sumber daya alam dan
yang terperbaharui relatif terbatas.[10]
Keadaan seperti inilah yang mempercepat kemusnahan manusia. Tindakan merusak
alam yang dilakukan secara masif dan terstruktur membawa manusia pada jurang
kebinasaan. Dalam lingkup nasional, kita dapat melihat dan mengalami sendiri
bagaimana bencana asap telah menimpa Indonesia beberapa dekade terakhir. Dalam lingkup
internasional, Global warming menjadi
ancaman besar manusia. Ironisnya lagi, penggunaan teknologi modern ini dapat
mengancam keharmonisan masyarakat dunia. Betapa tidak, negara-negara maju
berlomba-lomba membekali diri dengan senjata-senjata canggih, terutama
senjata-senjata nuklir. Bukankah tindakan
ini dapat memicu lahirnya Perang Dunia III? Tindakan uji
coba nuklir dan peluncuran roket yang dilakukan oleh Korea Utara baru-baru ini
adalah contoh konkret penyalahgunaan teknologi modern.
Atas
dasar inilah, Heidegger mengkritik teknologi modern. Baginya, jika kita ingin
memiliki hubungan yang bebas dan bertanggung jawab dengan teknologi, kita harus
mampu memahami esensi teknologi. Akan tetapi, esensi teknologi hanya dapat dipahami apabila kita
terlebih dahulu membebaskan teknologi dari pandangan-pandangan
keliru yang bersifat instrumental dan antropologis. Menurut Heidegger pandangan
yang keliru tentang teknologi inilah yang membawa manusia pada jurang
kebinasaan. Itulah sebabnya, bagi Heidegger, esensi teknologi tidaklah bersifat teknologis, tetapi bersifat
eksistensial karena sebenarnya teknologi itu sendiri mengerucut pada suatu cara
pandang dan pengalaman yang membentuk cara kita bertindak, cara kita
menggunakan alat, dan cara kita berhubungan dengan dunia kehidupan. Pandangan
yang benar terhadap teknologi secara ontologis membantu kita untuk bersikap
bijak dalam menerapkan teknologi tersebut secara ontis.
Daftar Pustaka
Borgmann, Albert. Technology dalam “A Companion to
Heidegger: Blackwell Companions to Philosophy” edited by Hubert L. Dreyfus dan
Mark A. Wrathall, (USA: Blackwell Publishing Ltd, 2005).
Jacob, T. Manusia, Ilmu dan Teknologi: Pergumulan
Abadi dalam Perang dan Damai (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988).
Lim, Francis. Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia,
Manusia, dan Alat (Yogyakarta: Kanisius, 2008).
Pattison, George. Routledge Philosophy Guidebook to The Later
Heidegger (London and New York: Routledge, 2000).
[1] Tulisan ini diringkas,
dirangkum, dan dikembangkan dari Albert Borgmann, Technology, dalam “A Companion to Heidegger: Blackwell Companions
to Philosophy” edited by Hubert L. Dreyfus dan Mark A. Wrathall, (USA:
Blackwell Publishing Ltd, 2005), hal. 420-432.
[2] Bandingkan,
Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde
tentang Dunia, Manusia, dan Alat (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 43.
[3] Albert
Borgmann, Technology, dalam “A
Companion to Heidegger: Blackwell Companions to Philosophy” edited by Hubert L.
Dreyfus dan Mark A. Wrathall, hal. 428.
[4] Sebenarnya,
kata Lichtung berarti “pembukaan atau
pembersihan hutan”. Akan tetapi, di sini Heidegger lebih mengaitkannya dengan Licht, yaitu cahaya, sehingga Lichtung juga dapat diartikan sebagai
“penerangan”. Lihat F. Budi Hadirman, Heidegger
dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), hal. 58.
[5] Albert
Borgmann, Technology, dalam “A
Companion to Heidegger: Blackwell Companions to Philosophy” edited by Hubert L.
Dreyfus dan Mark A. Wrathall, hal. 428.
[7] George
Pattison, Routledge Philosophy Guidebook
to The Later Heidegger (London and New York: Routledge, 2000), hal. 3.
[8] Pokok
bahasan ini dirangkum dan diolah dari Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, hal.50.
[9] Albert
Borgmann, Technology, dalam “A
Companion to Heidegger: Blackwell Companions to Philosophy” edited by Hubert L.
Dreyfus dan Mark A. Wrathall, hal. 428.
[10] T.
Jacob, Manusia, Ilmu dan Teknologi:
Pergumulan Abadi dalam Perang dan Damai (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1988), hal. Xii.
Komentar
Posting Komentar