Langsung ke konten utama

Ritual Keagamaan

RITUAL KEAGAMAAN

Karena begitu terobsesi oleh budaya dan tradisi, Peter Owen-Jones, seorang pendeta Anglikan dari Inggris, meninggalkan komunitas gerejanya, yaitu kehidupannya yang lama, untuk membenamkan diri dalam dan berhadapan dengan praktik-praktik ritual teraneh di dunia. Praktik-praktik ritual teraneh itu, ia temukan juga di Asia, terutama di beberapa negara seperti Indonesia (Sulawesi, Tana Toraja), Filipina (Manila), Vietnam, Korea Selatan, dan di Australia (Sydney). Dalam petualangan ritualnya, Jones telah mengikuti berbagai ritual yang memiliki bentuk-bentuk menakjubkan. Ia juga menjumpai budaya dan perilaku yang sangat berbeda, terkadang aneh, mengejutkan, menjijikan, dan bahkan berbahaya. Dengan mengalami dan mengambil bagian dalam setiap upacara yang diikutinya itu, Jones merasa sangat ditantang untuk sampai pada ujung batas kewajaran dan merasakan kekuatan misterius dari ritual-ritual tersebut. Dinamika perjumpaan Jones dengan berbagai budaya yang memiliki aneka macam kultur tersebut kemudian didokumentasikan dalam sebuah film dokumenter berjudul RITUALS.
Terinspirasi oleh film tersebut, penulis membuat artikel sederhana ini. Atas dasar itu, berbagai contoh aliran kepercayaan yang dikemukakan di sini semata-mata merujuk pada kepercayaan-kepercayaan tradisional yang didokumentasikan dalam film tersebut. Di samping itu, artikel ini juga disusun berdasarkan sejumlah pertanyaan penuntun yang diajukan dosen pengampuh mata kuliah Sosiologi Agama. Oleh karena itu, penulis merangkum pokok bahasan artikel ini dalam beberapa bagian. Pada bagian pertama, berpijak pada pandangan Durkheim tentang ritual, penulis membedah persamaan dan perbedaan antarpelbagai ritual dalam kepercayaan-kepercayaan tradisional. Pada bagian kedua, penulis menyajikan sejumlah faktor yang menyebabkan pelbagai ritual dari kepercayaan lokal tersebut bertahan atau tidak dalam kurun waktu sepuluh hingga duapuluh tahun ke depan. Pada bagian ketiga, penulis juga menjelaskan alasan yang menyebabkan kepercayaan-kepercayaan lokal tetap ada hingga sekarang ini. Sebagai penutup, penulis akan mengemukakan argumentasi pribadi terkait sikap dan tindakan bijak apa yang perlu dikedepankan oleh masyarakat modern, ketika berhadapan dengan berbagai kepercayaan tradisional tersebut.
Ritual Keagamaan: Persamaan dan Perbedaan
Ritual-ritual atau upacara-upacara keagamaan yang dipraktikkan berulang kali oleh setiap aliran kepercayaan tidak hanya memiliki persamaan, tetapi juga perbedaan. E. Durkheim, tokoh penting dalam sosiologi klasik, berpendapat bahwa ritual-ritual keagamaan semata-mata berfungsi untuk mempertahankan keutuhan kelompok. Dengan menjalankannya sesering mungkin, solidaritas yang memperkokoh fondasi kebersamaan dalam suatu kelompok semakin berkembang. Dampaknya ialah kekuatan moral dan spiritual eksternal kelompok tak tergoyahkan, sehingga mampu mempertahankan eksistensinya, meskipun berada dalam ancaman modernitas dan pengaruh dominan agama-agama wahyu yang monoteistik. Bagaikan makanan yang berguna untuk kehidupan fisik, demikian pula ritual-ritual tersebut dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan kelompok. Bertolak dari konsep ini, penulis menyimpulkan bahwa ritual keagamaan yang satu dan yang lain itu berkaitan erat dan memiliki kesamaan, jika ditinjau dari aspek fungsional, yakni sama-sama mempertahankan keutuhan kelompok, meningkatkan solidaritas, dan menjaga kohesi sosial. 
Walaupun secara fungsional setiap ritual dalam pelbagai kepercayaan lokal itu memiliki sifat yang sama, perlu diingat bahwa masing-masing ritual tersebut tidaklah samasekali sama saja. Artinya, dalam kesamaan fungsinya itu, terdapat juga kekhasan ritual keagamaan yang satu dengan yang lain. Kekhasan itu bukan hanya merujuk pada hal-hal luaran, seperti simbol-simbol atau perlengkapan yang digunakan dalam upacara-upacara, melainkan juga mencakup pemaknaan dari simbol-simbol tersebut. Perlengkapan yang digunakan masyarakat Tana Toraja dalam ritual keagamaan mereka, misalnya tentu berbeda dengan perlengkapan yang digunakan oleh masyarakat Manila dalam setiap festival panen tahunan mereka. Begitu pula dengan pisau yang digunakan oleh para Bissu untuk menusuk diri sebagai tanda bahwa mereka kerasukan roh tentu berbeda dengan pisau yang digunakan oleh masyarakat Tana Toraja untuk membunuh hewan kurban dalam upacara kematian.
Jones sendiri berpendapat bahwa ritual-ritual keagamaan kelompok yang satu dengan yang lain pun berbeda dalam pelaksanaannya. Dalam pengamatannya, ritual yang dijalankan suatu kelompok tertentu tampak menakjubkan, sementara yang dijalankan oleh suatu kelompok yang lain terkadang terlihat aneh dan bahkan berbahaya, sehingga jika tidak berhati-hati, dapat mengakibatkan kematian. Misalkan saja, Jones berhasil bertemu dengan para perantara bernama Bissu yang menjalani ritual mematikan agar bisa berkomunikasi dengan dunia roh. Oleh masyarakat, para Bissu (pria berpakaian wanita) itu dianggap bukan pria dan bukan wanita. Mereka adalah kelas pendeta terpisah yang dianggap setengah manusia, setengah dewa sebab hanya merekalah yang dapat dirasuki oleh roh-roh. Pada saat ritual, mereka harus membuktikan bahwa mereka telah kerasukan roh dengan cara menusuk diri mereka sendiri menggunakan pisau. Mereka menari dengan pisaunya sebelum melakukan tindakan menusuk diri tersebut. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengetahui roh jenis apa yang akan datang di masa depan. Indikatornya jelas. Jika para Bissu tersebut tidak terluka, berarti roh yang akan datang itu adalah roh yang baik. Akan tetapi, jika mereka itu terluka, roh yang jahatlah yang datang. Akibatnya, keadaan tidak akan baik di masa depan.
Selain itu, tujuan diadakannya ritual-ritual tersebut juga berbeda-beda. “Beberapa ritual adalah untuk cinta, beberapa atas nama agama, dan beberapa lagi diyakini untuk membersihkan jiwa.”[1] Jadi, pelbagai ritual keagamaan dari setiap kepercayaan-kepercayaan lokal, ditinjau dari aspek tujuan yang hendak dicapai, adalah berbeda samasekali. Durkheim telah menegaskan hal ini sejak awal. Baginya, selain untuk mengukuhkan kohesi kelompok, ritual-ritual tersebut juga diadakan demi mendapatkan sesuatu atau untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah masing-masing kepercayaan tentu saja memiliki kriteria-kriteria tertentu terkait hal-hal apa yang dapat diingini dan yang patut dihindari.
Misalkan saja, ritual-ritual yang dipraktikkan oleh kaum Mandean, orang-orang Irak yang berdomisili di kota kosmopolitan Sydney. Mereka memiliki syarat-syarat tertentu terkait apa yang harus dilakukan sebagai satu komunitas, seperti ritual pembaptisan dan larangan untuk menikah dengan anggota dari komunitas lain. Berbeda dengan ritual pembaptisan dalam agama Kristen yang hanya dilakukan sekali seumur hidup, mereka melakukan ritual pembaptisan lebih dari sekali. Ritual tersebut terkadang dilakukan setiap pekan dan bahkan beberapa dari antara mereka melakukannya kapan pun mereka memerlukannya. Dalam pandangan mereka, air melambangkan cahaya dan kemegahan. Air adalah rahim yang daripadanya segala hal muncul. Karena itu, mereka meyakini bahwa orang yang telah dibaptis menjadi sama seperti malaikat yang mendiami Kerajaan Kehidupan. Dengan melakukan pembaptisan, orang dipersiapkan untuk menjadi raja spiritual. Di samping itu, mereka juga dilarang untuk menikah dengan orang lain yang berasal dari luar komunitasnya. Jika terbukti melakukan tindakan tersebut, orang itu akan dikeluarkan dari kelompoknya. Aturan ini menjadi larangan yang harus dipatuhi setiap anggota kelompok, jika tidak ingin kehilangan identitasnya.

Ritual Keagamaan di Masa Depan: Sebuah Pertaruhan Nasib
Setelah memilah-milah apa yang menjadi kekhasan dan kesamaan dari setiap ritual yang dijalankan oleh kepercayaan-kepercayaan lokal, pertanyaan lanjutan yang perlu dijawab adalah “Apakah ritual-ritual tersebut mampu bertahan untuk periode 10 atau 20 tahun ke depan?” Bagi penulis, jawabannya adalah dapat ‘ya’ dan dapat pula ‘tidak’. Mengapa? Ada beberapa alasan yang hendak penulis ajukan.
1.      Sebagaimana yang dikemukakan Durkheim, ritual-ritual keagamaan memainkan peranan penting bagi masyarakat secara keseluruhan, yakni dengan menjaga solidaritas dan kohesi sosial, serta memelihara ketertiban dan stabilitas. Situasi kondusif dalam masyarakat yang merembes dari berbagai praktik keagamaan tersebut tentu didasarkan pada kesadaran kolektif yang pada akhirnya juga menghasilkan berbagai keuntungan kolektif.[2] Jika keadaannya demikian, tampak mustahil apabila dalam kurun waktu sepuluh hingga duapuluh tahun ke depan, ritual dari berbagai kepercayaan lokal tersebut akan hilang. Kalaupun suatu saat hal itu sungguh terjadi, penulis yakin bahwa itu hanya akan terjadi dalam kurun waktu yang relatif lama dan tentunya akan melalui proses yang sangat panjang serta berbelit-belit. Optimisme penulis tentu bertolak dari bukti nyata ketangguhan ritual-ritual tersebut dalam mempertahankan keberadaan suatu kelompok keagamaan tertentu selama berabad-abad.
Bagi penulis, film dokumenter Jones berjudul RITUALS tersebut memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa meskipun berada di tengah gempuran sekularisme dan pengaruh dominan agama-agama wahyu yang monoteistik, praktik-praktik keagamaan tradisional tersebut tetap berdiri kokoh. Hal itu terjadi karena secara fungsional, ritual-ritual tersebut berperan penting dalam menjaga stabilitas kehidupan bermasyarakat. Sejauh peran spiritual dan moral yang bersifat eksternal dari ritual-ritual tersebut tidak dilucuti, mereka akan tetap bertahan tidak hanya untuk periode sepuluh hingga duapuluh tahun ke depan, tetapi juga dan bahkan beratus-ratus tahun kemudian.
2.      Ada ikatan yang tak terputuskan antara ritual-ritual keagamaan, kepercayaan, kebudayaan, dan masyarakat. Ritual merupakan aspek yang tidak dapat tidak ada dalam suatu kepercayaan, sementara kepercayaan bertalian erat dengan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu. Baik pola berpikir maupun bertindak dari suatu masyarakat tertentu jelas ditentukan oleh kebudayaan yang dianutnya. Ritual kematian yang diadakan oleh masyarakat Tana Toraja, misalnya adalah bagian dari kepercayaan dan karena itu menjadi kebudayaan masyarakat Tana Toraja. Kita tidak dapat memisahkan begitu saja keempat komponen tersebut. Oleh sebab itu, sejauh kebudayaan tetap ada, kepercayaan suatu masyarakat dengan ritual-ritualnya pun tetap ada. Apabila suatu saat kebudayaan berhasil digerus, ritual sebagai unsur niscaya yang terkandung dalam pelbagai kepercayaan pun dengan sendirinya akan hilang. Akan tetapi, dalam analisis penulis, tergerusnya kebudayaan, juga sesuatu yang sulit dibayangkan dan sangat sukar terjadi. Bagaimana pun juga, budaya itu sendiri telah terinternalisasi dalam suatu masyarakat tertentu. Memberangus budaya, sama saja dengan memusnahkan suatu masyarakat tertentu.
3.      Meskipun optimisme mendominasi pola berpikir penulis saat ini, harus diakui juga bahwa pesimisme penulis terhadap masa depan ritual-ritual dalam pelbagai kepercayaan lokal tersebut tetap ada. Bagi penulis, ritual-ritual tersebut sungguh-sungguh lenyap apabila tekanan sekularisme semakin kuat karena tekanan itu sendiri berdampak pada evolusi pola berpikir manusia. Durkheim sendiri menyatakan bahwa masyarakat industri dicirikan oleh diferensiasi fungsional, di mana kaum profesional dan organisasi-organisasi tertentu (yang menangani kesehatan, pendidikan, kontrol sosial, politik, dan kesejahteraan) menggantikan sebagian besar tugas atau peran yang dulunya pernah dijalankan oleh kepercayaan-kepercayaan lokal. Karena dilucuti dari inti tujuan sosial mereka, Durkheim meramalkan bahwa peran spiritual dan moral dari lembaga-lembaga keagamaan perlahan akan menghilang dalam masyarakat industri, di luar ritus-ritus formal tradisional dari kelahiran, pernikahan, dan kematian, serta ibadah pada hari-hari raya tertentu.[3]
Bagi penulis, hal ini berarti ketika modernitas menjadi penguasa tunggal, dimensi fungsional ritual-ritual tidak lagi mendapat tempat dalam akal budi. Rasionalitas menjadi dewa baru yang harus disembah. Akibatnya, makna spiritual dan moral setiap kebudayaan dicabut secara paksa. Segala sesuatu yang bertentangan dengan progresifitas pun dibantai habis. Dengan demikian, kebudayaan-kebudayaan yang dibangun di atas unsur-unsur primitif tidak lagi dilihat sebagai pijakan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Pada saat itulah, kematian agama dengan segala ritualnya yang berbau metafisis dikumandangkan.
Situasi ini memang memperlihatkan bahwa sesungguhnya keberadaan ritual-ritual keagamaan di masa depan merupakan sebuah pertaruhan nasib. Semua jawaban masih ada dalam taraf kemungkinan. Di satu sisi, sekularisasi mempercepat kematian praktik-praktik keagamaan tersebut. Di sisi lain, dimensi fungsional ritual menjadi perisai dan kopong yang saat ini belum dapat dihancurkan oleh hantaman keras modernitas. Persoalan yang pelik ini hanya dapat dipecahkan oleh waktu yang tak berhenti bergulir.

Kepercayaan Tradisional tetap Eksis. Mengapa?[4]
Setelah berpolemik tentang nasib ritual-ritual kepercayaan lokal di masa depan, pada pokok bahasan ini, penulis hendak mengemukakan alasan yang menyebabkan pelbagai kepercayaan tradisional itu masih tetap ada hingga dewasa ini.
Sebelum itu, penulis terlebih dahulu membeberkan sekaligus menganalisis pengakuan salah seorang anggota komunitas penyihir di Sydney yang terlibat perbincangan singkat dengan Jones terkait alasannya menjadi anggota dari komunitas tersebut. Ini sekadar pengantar agar dapat masuk lebih jauh ke dalam pokok bahasan ini. Seorang anggota komunitas penyihir yang dimaksud adalah seorang wanita yang dulunya adalah seorang Kristen yang taat. “Ya, dulunya aku beragama Kristen, aku tumbuh di gereja dan itu tidak menjawab semua pertanyaanku. Dan mereka memaksakan keyakinan yang membuatku merasa aku tidak cukup baik untuk Tuhan mereka.”[5] Lebih lanjut, ia membuat distingsi yang tegas terkait keyakinan dalam komunitas Kristen dengan komunitas penyihir. “...Struktur keyakinannya (komunitas penyihir) begitu luas dan tidak ada peraturan yang perlu kau patuhi. Ini sangat pribadi. Ini praktik abadi.”[6]
Pengakuan wanita tersebut membangkitkan sebuah pertanyaan reflektif dalam diri penulis: “Mengapa wanita itu meninggalkan iman kristianinya dan memilih bergabung dengan komunitas penyihir yang oleh agama Kristen justru dianggap sebagai bida’ah?” Dalam analisis penulis, wanita tersebut telah mengalami apa yang disebut sebagai ‘krisis makna’. Makna adalah suatu interpretasi atas situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar berdasarkan beberapa kerangka referensi yang lebih luas. Makna itu sendiri diberikan oleh agama.[7] Itulah sebabnya, komunitas agama memiliki kemampuan interpretasi tertinggi dan menjadi rujukan bagi interpretasi pribadi para anggotanya. Krisis makna berarti ketidakmampuan untuk menginterpretasi situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa yang dialami dan yang terjadi di sekitarnya.
Jika konsep ini dikaitkan dengan kisah wanita di atas, indikatornya tampak sangat jelas. Ketika ia tidak lagi mampu menginterpretasi berbagai kejadian atau peristiwa buruk yang dialaminya, ia lalu menggantungkan diri pada interpretasi kelompok. Atas dasar itu, ia lalu menyampaikan sejumlah pertanyaan kepada kelompoknya. Apabila kelompok yang kepadanya ia menggantungkan diri tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, ia lalu mencari kelompok-kelompok lain yang tidak hanya dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukannya, tetapi juga memberikan kepadanya rasa nyaman dan kebahagiaan. Situasi inilah yang kiranya dialami oleh wanita tadi. Makna yang diberikan oleh komunitas penyihir lebih menyentuh hatinya dibandingkan dengan makna yang diberikan oleh komunitas Kristen. Itulah sebabnya, ia meninggalkan imannya dan masuk dalam komunitas penyihir.
Kebanyakan agama memiliki sistem-sistem makna yang komprehensif untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman individu dan kelompok ke dalam salah satu kerangka penjelasan yang bersifat umum. Makna-makna itu tidak terdapat dalam dirinya sendiri, tetapi diberikan oleh masyarakat pemeluk atau ajaran iman. Geertz (1966) melihat agama sebagai wadah untuk menetapkan makna.  Baginya, agama bukan hanya memberikan interpretasi atas kenyataan, melainkan pada waktu yang sama memengaruhi kenyataan itu. Wadah itu berusaha memasukkan pengalaman kehidupan sehari-hari ke dalam makna-makna yang tersedia. Selanjutnya, makna-makna tersebut memengaruhi dan mengarahkan kehidupan seseorang. Dengan demikian, pemberian makna seorang pribadi terhadap peristiwa hidup yang dialaminya didasarkan pada sistem makna yang sudah ada sebelumnya, yaitu makna-makna yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya.
Selain menjadi ‘kompas’ kehidupan bagi individu-individu, sistem-sistem makna juga mengarahkan kehidupan bersama suatu kelompok dengan menginterpretasi seluruh keberadaannya. Cara-cara kelompok melakukan sesuatu dan bahkan eksistensi kelompok itu sendiri diberi makna. Sistem makna tersebut dapat menjelaskan mengapa sesuatu itu dapat berjalan seperti ini sekaligus juga mengemukakan hal-hal yang diperhatikan supaya sesuatu itu terjadi sebagaimana yang diinginkan. Sistem makna kelompok memberi arti kepada keteraturan sosial yang ada di dalam masyarakat pemeluk, seperti pengaturan kekuasaan dan wewenang, sistem stratifikasi, status dan peran, dsb. Kualitas-kualitas seperti ini membuat sistem makna menjadi suatu legitimasi yang kuat untuk keteraturan sosial di dalam kelompok.
Bertolak dari konsep ini, penulis menyimpulkan bahwa kepercayaan-kepercayaan lokal tetap bertahan hingga sekarang ini karena mereka mampu memberikan makna terhadap setiap peristiwa hidup baik yang dialami secara individual, maupun secara kolektif oleh para pengikutnya. Memang begitu banyak orang yang meramalkan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut tidak mempunyai tempat di dalam masyarakat modern yang dilanda oleh arus sekularisme yang sangat kuat. Bagi penulis, ramalan yang amat pesimistik itu tidak sepenuhnya benar. Jika kita menonton kembali cuplikan film dokumenter berjudul RITUALS, kita dapat melihat bahwa di beberapa negara modern dengan semangat sekularisme yang luar biasa, kehidupan keagamaannya justru dipertahankan dengan baik. Bagi penulis, hal ini membuktikan bahwa agama masih mempunyai tempat dalam masyarakat modern karena dia sanggup memberikan makna kepada kehidupan manusia baik secara individual maupun kelompok.

Sikap yang Bijak: Merangkul atau Meniadakan?                      
Kita telah melihat hal-hal positif apa yang telah disumbangkan agama kepada masyarakat luas. Oleh sebab itu, ketika berhadapan dengan pelbagai kepercayaan tradisional tersebut, sikap bijak yang sebaiknya perlu kita kedepankan tidak lain adalah merangkul. Merangkul berarti mengakui keberadaan mereka, terutama secara konstitutif dan menjadikan mereka bagian tak terpisahkan dari komponen masyarakat luas. Dengan diperlakukan demikian, mereka merasa diterima dan menjadi anggota penuh dari suatu masyarakat tertentu. Mereka tidak lagi menyembunyikan diri dan harus terpaksa menginduk ke dalam agama-agama dunia yang mendapat legitimasi konstitutif dari negara. Bagaimanapun juga, mereka adalah komunitas-komunitas independen yang terbukti menyumbangkan nilai-nilai spritual dan moral yang menjadi kekhasannya demi tercipta tatanan sosial yang lebih harmonis.
Atas dasar ini, penulis juga berkeberatan dengan bunyi sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Bagi penulis, sila ini justru mereduksi seluruh kepercayaan masyarakat Indonesia yang sangat beragam itu ke dalam konsep ketuhanan yang monoteistik. Akibat yang ditimbulkannya jelas. Agama-agama tradisional yang umumnya bersifat politeistik tidak diakui keberadaannya. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa kebebasan beragama di Indonesia belum sungguh-sungguh diterapkan. Kebebasan beragama itu hanya berlaku untuk agama-agama dunia. Ini tentu tindakan yang sangat diskriminatif dan tidak adil, yang kemudian berdampak pada tidak meratanya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar konsep ‘Yang Esa’ dalam sila pertama itu diganti dengan konsep yang jauh lebih netral atau liberal dan dapat merangkum semua komunitas keagamaan di Indonesia. Baik juga apabila sila pertama itu hanya terdiri dari satu kata: “Berketuhanan”. Yah, satu kata yang dapat merangkum semua komponen beragama masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali.

Daftar Pustaka
Raho, Bernard. Agama dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: OBOR, 2013.
Norris, Pippa dan Ronald Inglehart. Sekularisasi Ditinjau kembali Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini. Edit. Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean. Tangerang: Yayasan Wakaf Paramadina, 2009.

Data Audio-visual: RITUALS VOL. 1 A & B



[1] Lihat film dokumenter Rituals, Vol. 1 B, detik 40-47.
[2] Bandingkan, Pippa Norris dan  Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau kembali Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini, edit. Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean (Tangerang: Yayasan Wakaf Paramadina, 2009), hal. 11.
[3] Pippa Norris dan  Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau kembali Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini, edit. Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean, hal. 11.
[4] Pokok bahasan ini dirangkum dan dikembangkan dari Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta: OBOR, 2013), hal. 77-98, yang secara khusus berbicara tentang agama dan sistem makna.
[5] RITUALS, Vol. 1 A, menit ke-42, detik ke-38 sampai ke-55.
[6] RITUALS, Vol. 1 A, menit ke-42, detik ke-58 sampai menit ke-43, detik ke-9.
[7] Terminologi ‘agama’ secara luas merujuk pada agama-agama wahyu-monoteistik dan agama-agama maw’i-politeistik. Dalam tulisan ini, jika penulis menggunakan terminologi agama, itu terutama merujuk pada kepercayaan-kepercayaan lokal, meskipun konsep yang sama dapat pula diterapkan pada agama-agama dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...