RITUAL KEAGAMAAN
Karena begitu terobsesi oleh
budaya dan tradisi, Peter Owen-Jones, seorang pendeta Anglikan dari Inggris,
meninggalkan komunitas gerejanya, yaitu
kehidupannya yang lama,
untuk membenamkan diri dalam dan berhadapan dengan praktik-praktik ritual teraneh di dunia. Praktik-praktik ritual teraneh itu, ia temukan juga di Asia, terutama di beberapa negara seperti Indonesia
(Sulawesi, Tana Toraja), Filipina (Manila), Vietnam, Korea Selatan, dan di Australia
(Sydney). Dalam petualangan ritualnya, Jones telah mengikuti
berbagai ritual yang memiliki bentuk-bentuk menakjubkan. Ia juga menjumpai budaya dan perilaku yang sangat berbeda,
terkadang aneh, mengejutkan, menjijikan, dan bahkan berbahaya. Dengan mengalami
dan mengambil bagian dalam setiap upacara yang diikutinya itu,
Jones
merasa sangat ditantang
untuk sampai pada ujung batas kewajaran
dan merasakan kekuatan misterius dari ritual-ritual tersebut. Dinamika perjumpaan Jones dengan berbagai budaya yang memiliki aneka macam kultur tersebut kemudian didokumentasikan dalam sebuah film
dokumenter berjudul RITUALS.
Terinspirasi oleh film
tersebut, penulis membuat artikel sederhana ini. Atas dasar itu, berbagai
contoh aliran kepercayaan yang dikemukakan di sini
semata-mata merujuk pada kepercayaan-kepercayaan tradisional yang
didokumentasikan dalam film tersebut. Di samping itu, artikel ini juga disusun berdasarkan sejumlah pertanyaan penuntun yang diajukan dosen
pengampuh mata kuliah Sosiologi Agama.
Oleh karena itu, penulis merangkum
pokok bahasan artikel ini dalam beberapa bagian. Pada bagian pertama, berpijak
pada pandangan Durkheim tentang ritual, penulis membedah persamaan dan
perbedaan antarpelbagai ritual dalam kepercayaan-kepercayaan tradisional. Pada
bagian kedua, penulis menyajikan sejumlah faktor yang menyebabkan pelbagai
ritual dari
kepercayaan lokal tersebut bertahan atau tidak dalam kurun waktu sepuluh hingga
duapuluh tahun ke depan. Pada bagian ketiga,
penulis juga
menjelaskan alasan yang menyebabkan kepercayaan-kepercayaan lokal tetap ada hingga sekarang ini. Sebagai penutup,
penulis akan mengemukakan argumentasi pribadi terkait sikap dan tindakan bijak apa
yang perlu dikedepankan oleh masyarakat modern, ketika berhadapan
dengan berbagai kepercayaan tradisional tersebut.
Ritual
Keagamaan: Persamaan dan Perbedaan
Ritual-ritual atau upacara-upacara keagamaan
yang dipraktikkan berulang kali oleh setiap aliran kepercayaan tidak hanya
memiliki persamaan, tetapi juga perbedaan. E. Durkheim, tokoh penting dalam
sosiologi klasik, berpendapat bahwa ritual-ritual keagamaan semata-mata berfungsi untuk mempertahankan keutuhan kelompok. Dengan menjalankannya sesering mungkin, solidaritas yang memperkokoh fondasi kebersamaan dalam
suatu kelompok semakin berkembang. Dampaknya ialah
kekuatan moral dan spiritual eksternal kelompok tak tergoyahkan, sehingga mampu
mempertahankan eksistensinya, meskipun berada dalam
ancaman modernitas dan pengaruh dominan agama-agama wahyu yang monoteistik. Bagaikan makanan yang berguna
untuk kehidupan fisik, demikian pula ritual-ritual tersebut dibutuhkan untuk
mempertahankan kehidupan kelompok. Bertolak dari konsep ini, penulis
menyimpulkan bahwa ritual keagamaan yang satu dan yang lain itu berkaitan erat
dan memiliki kesamaan, jika ditinjau dari aspek fungsional, yakni sama-sama
mempertahankan keutuhan kelompok, meningkatkan solidaritas, dan menjaga kohesi
sosial.
Walaupun secara fungsional setiap
ritual dalam pelbagai kepercayaan lokal itu memiliki sifat yang sama, perlu
diingat bahwa masing-masing ritual tersebut tidaklah samasekali sama saja. Artinya,
dalam kesamaan fungsinya itu, terdapat juga kekhasan ritual keagamaan yang satu
dengan yang lain. Kekhasan itu bukan hanya merujuk pada hal-hal luaran, seperti
simbol-simbol atau perlengkapan yang digunakan dalam upacara-upacara, melainkan
juga mencakup pemaknaan dari simbol-simbol tersebut. Perlengkapan yang
digunakan masyarakat Tana Toraja dalam ritual keagamaan mereka, misalnya tentu
berbeda dengan perlengkapan yang digunakan oleh masyarakat Manila dalam setiap
festival panen tahunan mereka. Begitu pula dengan pisau yang digunakan oleh para Bissu untuk menusuk diri
sebagai tanda bahwa mereka kerasukan roh tentu berbeda dengan pisau yang
digunakan oleh masyarakat Tana Toraja untuk membunuh hewan kurban dalam upacara
kematian.
Jones sendiri
berpendapat bahwa ritual-ritual keagamaan kelompok yang satu dengan yang lain pun berbeda dalam pelaksanaannya. Dalam pengamatannya, ritual
yang dijalankan suatu kelompok tertentu tampak menakjubkan, sementara yang
dijalankan oleh suatu kelompok yang lain terkadang terlihat aneh dan bahkan
berbahaya, sehingga jika tidak berhati-hati, dapat mengakibatkan kematian. Misalkan saja, Jones berhasil bertemu dengan para perantara bernama Bissu yang menjalani
ritual mematikan agar bisa berkomunikasi dengan dunia roh. Oleh masyarakat, para Bissu (pria berpakaian wanita) itu dianggap bukan pria dan bukan wanita. Mereka adalah kelas pendeta
terpisah yang dianggap setengah manusia, setengah dewa sebab hanya merekalah
yang dapat dirasuki oleh roh-roh. Pada saat ritual,
mereka harus membuktikan bahwa mereka telah kerasukan roh dengan cara menusuk
diri mereka sendiri menggunakan pisau. Mereka menari dengan pisaunya sebelum melakukan tindakan menusuk diri tersebut. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengetahui roh
jenis apa yang akan datang di masa depan. Indikatornya jelas. Jika para
Bissu tersebut tidak terluka, berarti roh yang akan datang itu adalah roh yang baik. Akan
tetapi, jika mereka itu terluka, roh yang jahatlah yang datang. Akibatnya, keadaan tidak
akan baik di masa depan.
Selain itu, tujuan diadakannya
ritual-ritual tersebut juga berbeda-beda. “Beberapa ritual adalah untuk cinta,
beberapa atas nama agama, dan beberapa lagi diyakini untuk membersihkan jiwa.”[1] Jadi, pelbagai ritual keagamaan dari setiap
kepercayaan-kepercayaan lokal, ditinjau dari aspek tujuan yang hendak dicapai,
adalah berbeda samasekali. Durkheim telah menegaskan hal ini sejak awal. Baginya,
selain untuk mengukuhkan kohesi kelompok, ritual-ritual tersebut juga diadakan
demi mendapatkan sesuatu atau untuk menghindari hal-hal
yang tidak dikehendaki. Akan tetapi, yang
perlu digarisbawahi adalah masing-masing kepercayaan tentu saja memiliki
kriteria-kriteria tertentu terkait hal-hal apa yang dapat diingini dan yang
patut dihindari.
Misalkan saja, ritual-ritual yang dipraktikkan oleh
kaum Mandean, orang-orang Irak yang berdomisili di kota kosmopolitan Sydney. Mereka
memiliki syarat-syarat tertentu terkait apa yang harus dilakukan sebagai satu
komunitas, seperti ritual pembaptisan dan larangan untuk menikah dengan anggota
dari komunitas lain. Berbeda dengan ritual pembaptisan dalam agama Kristen yang
hanya dilakukan sekali seumur hidup, mereka melakukan ritual pembaptisan lebih dari sekali. Ritual tersebut terkadang dilakukan setiap pekan dan bahkan beberapa dari antara mereka melakukannya
kapan pun mereka memerlukannya. Dalam pandangan mereka, air melambangkan cahaya
dan kemegahan. Air adalah rahim yang daripadanya segala hal muncul. Karena itu,
mereka meyakini bahwa orang yang telah dibaptis menjadi sama seperti malaikat yang
mendiami Kerajaan Kehidupan. Dengan
melakukan pembaptisan, orang
dipersiapkan untuk menjadi raja spiritual. Di samping itu, mereka juga dilarang untuk menikah dengan orang lain yang berasal dari luar
komunitasnya. Jika terbukti melakukan tindakan tersebut, orang itu akan
dikeluarkan dari kelompoknya. Aturan ini menjadi larangan yang harus dipatuhi
setiap anggota kelompok, jika tidak ingin kehilangan identitasnya.
Ritual
Keagamaan di Masa Depan: Sebuah Pertaruhan Nasib
Setelah memilah-milah apa yang
menjadi kekhasan dan kesamaan dari setiap ritual yang dijalankan oleh
kepercayaan-kepercayaan lokal, pertanyaan lanjutan yang perlu dijawab adalah “Apakah
ritual-ritual tersebut mampu bertahan untuk periode 10 atau 20 tahun ke depan?” Bagi penulis, jawabannya adalah dapat ‘ya’
dan dapat pula ‘tidak’. Mengapa?
Ada beberapa alasan yang hendak penulis ajukan.
1.
Sebagaimana
yang dikemukakan Durkheim, ritual-ritual keagamaan memainkan peranan penting
bagi masyarakat secara keseluruhan, yakni dengan menjaga solidaritas dan kohesi
sosial, serta memelihara ketertiban dan stabilitas. Situasi kondusif dalam masyarakat yang merembes
dari berbagai praktik keagamaan tersebut tentu didasarkan pada kesadaran
kolektif yang
pada akhirnya juga menghasilkan
berbagai keuntungan kolektif.[2]
Jika keadaannya demikian, tampak mustahil apabila dalam kurun waktu sepuluh
hingga duapuluh tahun ke depan, ritual dari berbagai
kepercayaan lokal tersebut akan hilang. Kalaupun suatu saat hal itu sungguh
terjadi, penulis yakin bahwa itu hanya akan terjadi
dalam kurun waktu yang relatif lama dan
tentunya akan melalui proses yang sangat panjang serta berbelit-belit. Optimisme penulis tentu bertolak dari bukti
nyata ketangguhan ritual-ritual tersebut dalam
mempertahankan keberadaan suatu kelompok keagamaan tertentu selama berabad-abad.
Bagi penulis, film dokumenter
Jones berjudul RITUALS tersebut memperlihatkan
dengan sangat jelas bahwa meskipun berada di tengah gempuran sekularisme dan pengaruh dominan agama-agama wahyu yang monoteistik, praktik-praktik keagamaan tradisional tersebut tetap berdiri kokoh. Hal itu terjadi karena secara fungsional, ritual-ritual
tersebut berperan penting dalam menjaga stabilitas kehidupan bermasyarakat. Sejauh peran spiritual dan moral yang bersifat eksternal dari
ritual-ritual tersebut tidak dilucuti, mereka akan tetap bertahan tidak hanya untuk periode
sepuluh hingga duapuluh tahun ke depan, tetapi juga dan bahkan beratus-ratus
tahun kemudian.
2.
Ada
ikatan yang tak terputuskan antara ritual-ritual
keagamaan, kepercayaan, kebudayaan, dan masyarakat. Ritual merupakan aspek yang tidak dapat tidak ada dalam suatu kepercayaan, sementara kepercayaan bertalian erat
dengan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu. Baik pola berpikir maupun bertindak dari
suatu masyarakat tertentu jelas ditentukan oleh kebudayaan yang dianutnya. Ritual kematian yang diadakan oleh masyarakat Tana Toraja,
misalnya adalah bagian dari kepercayaan dan karena itu menjadi kebudayaan masyarakat
Tana Toraja. Kita tidak dapat memisahkan begitu saja keempat komponen tersebut.
Oleh sebab itu, sejauh kebudayaan tetap ada, kepercayaan suatu masyarakat dengan ritual-ritualnya pun tetap ada. Apabila suatu saat
kebudayaan berhasil digerus, ritual sebagai unsur niscaya yang terkandung dalam
pelbagai kepercayaan pun dengan sendirinya akan hilang. Akan tetapi, dalam
analisis penulis, tergerusnya kebudayaan,
juga sesuatu yang sulit dibayangkan dan sangat sukar terjadi. Bagaimana pun juga, budaya itu sendiri telah
terinternalisasi dalam suatu masyarakat tertentu. Memberangus budaya, sama saja
dengan memusnahkan suatu masyarakat tertentu.
3.
Meskipun
optimisme mendominasi pola berpikir penulis saat ini, harus diakui juga bahwa
pesimisme penulis terhadap masa depan ritual-ritual dalam pelbagai kepercayaan
lokal tersebut tetap ada. Bagi penulis, ritual-ritual tersebut sungguh-sungguh
lenyap apabila tekanan sekularisme semakin kuat karena tekanan itu sendiri
berdampak pada evolusi pola berpikir manusia. Durkheim sendiri menyatakan bahwa
masyarakat industri dicirikan oleh diferensiasi fungsional, di mana kaum
profesional dan organisasi-organisasi tertentu (yang menangani kesehatan,
pendidikan, kontrol sosial, politik, dan kesejahteraan) menggantikan sebagian
besar tugas atau peran yang dulunya pernah dijalankan oleh kepercayaan-kepercayaan lokal. Karena dilucuti dari inti tujuan sosial mereka, Durkheim
meramalkan bahwa peran spiritual dan moral dari lembaga-lembaga keagamaan
perlahan akan menghilang dalam masyarakat industri, di luar ritus-ritus formal
tradisional dari kelahiran, pernikahan, dan kematian, serta ibadah pada hari-hari raya tertentu.[3]
Bagi penulis, hal ini berarti ketika modernitas menjadi
penguasa tunggal, dimensi fungsional ritual-ritual tidak lagi mendapat tempat
dalam akal budi. Rasionalitas menjadi dewa baru yang harus disembah. Akibatnya,
makna spiritual dan moral setiap kebudayaan dicabut secara paksa. Segala
sesuatu yang bertentangan dengan progresifitas pun dibantai habis. Dengan
demikian, kebudayaan-kebudayaan yang dibangun di atas unsur-unsur primitif
tidak lagi dilihat sebagai pijakan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah
laku. Pada
saat itulah, kematian agama dengan segala ritualnya yang berbau metafisis
dikumandangkan.
Situasi ini memang memperlihatkan bahwa sesungguhnya keberadaan ritual-ritual keagamaan di masa depan merupakan sebuah pertaruhan nasib. Semua jawaban masih ada dalam taraf kemungkinan. Di satu
sisi, sekularisasi mempercepat kematian praktik-praktik keagamaan tersebut. Di
sisi lain, dimensi fungsional ritual menjadi perisai dan kopong yang saat ini
belum dapat dihancurkan oleh hantaman keras modernitas. Persoalan yang pelik
ini hanya dapat dipecahkan oleh waktu yang tak berhenti bergulir.
Kepercayaan
Tradisional tetap Eksis. Mengapa?[4]
Setelah berpolemik tentang nasib ritual-ritual
kepercayaan lokal di masa depan, pada
pokok bahasan ini, penulis hendak mengemukakan alasan yang menyebabkan pelbagai
kepercayaan tradisional itu
masih tetap ada hingga dewasa ini.
Sebelum itu, penulis terlebih dahulu
membeberkan sekaligus menganalisis pengakuan salah seorang anggota komunitas penyihir di Sydney yang terlibat perbincangan singkat
dengan Jones terkait alasannya menjadi anggota dari komunitas tersebut. Ini
sekadar pengantar agar dapat masuk lebih jauh ke dalam pokok bahasan ini.
Seorang anggota komunitas penyihir yang dimaksud adalah seorang wanita yang dulunya adalah seorang Kristen yang taat. “Ya, dulunya aku beragama Kristen, aku tumbuh di gereja dan
itu tidak menjawab semua pertanyaanku. Dan mereka memaksakan keyakinan yang
membuatku merasa aku tidak cukup baik untuk Tuhan mereka.”[5] Lebih lanjut, ia membuat distingsi yang tegas terkait keyakinan
dalam komunitas Kristen dengan komunitas penyihir. “...Struktur keyakinannya
(komunitas penyihir) begitu luas dan tidak ada peraturan yang perlu kau patuhi.
Ini sangat pribadi. Ini praktik abadi.”[6]
Pengakuan wanita tersebut membangkitkan
sebuah pertanyaan reflektif dalam diri penulis: “Mengapa wanita itu
meninggalkan iman kristianinya dan memilih bergabung dengan komunitas penyihir
yang oleh agama Kristen justru dianggap sebagai bida’ah?” Dalam
analisis penulis, wanita tersebut telah mengalami apa yang disebut sebagai ‘krisis
makna’. Makna adalah suatu interpretasi atas situasi-situasi atau
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar berdasarkan beberapa kerangka
referensi yang lebih luas. Makna itu sendiri diberikan oleh agama.[7]
Itulah sebabnya, komunitas agama memiliki kemampuan interpretasi tertinggi dan
menjadi rujukan bagi interpretasi pribadi para anggotanya. Krisis makna berarti
ketidakmampuan untuk menginterpretasi situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa
yang dialami dan yang terjadi di sekitarnya.
Jika konsep ini dikaitkan dengan kisah
wanita di atas, indikatornya tampak sangat jelas. Ketika ia tidak lagi mampu
menginterpretasi berbagai kejadian atau peristiwa buruk yang dialaminya, ia lalu
menggantungkan diri pada interpretasi kelompok. Atas dasar itu, ia lalu
menyampaikan sejumlah pertanyaan kepada kelompoknya. Apabila kelompok yang
kepadanya ia menggantungkan diri tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan, ia lalu mencari kelompok-kelompok lain yang tidak hanya dapat
menjawab semua pertanyaan yang diajukannya, tetapi juga memberikan kepadanya
rasa nyaman dan kebahagiaan. Situasi inilah yang kiranya dialami oleh wanita
tadi. Makna yang diberikan oleh komunitas penyihir lebih menyentuh hatinya
dibandingkan dengan makna yang diberikan oleh komunitas Kristen. Itulah
sebabnya, ia meninggalkan imannya dan masuk dalam komunitas penyihir.
Kebanyakan agama memiliki
sistem-sistem makna yang komprehensif untuk
menjelaskan pengalaman-pengalaman individu dan kelompok ke dalam salah satu
kerangka penjelasan yang bersifat umum. Makna-makna itu tidak terdapat dalam dirinya sendiri, tetapi
diberikan oleh masyarakat pemeluk atau ajaran iman. Geertz (1966) melihat agama
sebagai wadah untuk menetapkan makna.
Baginya, agama bukan hanya memberikan interpretasi atas kenyataan,
melainkan pada waktu yang sama memengaruhi kenyataan itu. Wadah itu berusaha
memasukkan pengalaman kehidupan sehari-hari ke dalam makna-makna yang tersedia.
Selanjutnya, makna-makna tersebut memengaruhi dan mengarahkan kehidupan
seseorang. Dengan demikian, pemberian makna seorang pribadi terhadap peristiwa
hidup yang dialaminya didasarkan pada sistem makna yang sudah ada sebelumnya,
yaitu makna-makna yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya.
Selain menjadi ‘kompas’ kehidupan bagi
individu-individu, sistem-sistem makna juga mengarahkan kehidupan bersama suatu
kelompok dengan menginterpretasi seluruh keberadaannya. Cara-cara kelompok
melakukan sesuatu dan bahkan eksistensi kelompok itu sendiri diberi makna. Sistem
makna tersebut dapat menjelaskan mengapa sesuatu itu dapat berjalan seperti ini
sekaligus juga mengemukakan hal-hal yang diperhatikan supaya sesuatu itu
terjadi sebagaimana yang diinginkan. Sistem makna kelompok memberi arti kepada
keteraturan sosial yang ada di dalam masyarakat pemeluk, seperti pengaturan
kekuasaan dan wewenang, sistem stratifikasi, status dan peran, dsb.
Kualitas-kualitas seperti ini membuat sistem makna menjadi suatu legitimasi
yang kuat untuk keteraturan sosial di dalam kelompok.
Bertolak dari konsep ini, penulis
menyimpulkan bahwa kepercayaan-kepercayaan lokal tetap bertahan hingga sekarang
ini karena mereka mampu memberikan makna terhadap setiap peristiwa hidup baik
yang dialami secara individual, maupun secara kolektif oleh para pengikutnya. Memang
begitu banyak orang yang meramalkan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut tidak mempunyai tempat di dalam masyarakat modern yang
dilanda oleh arus sekularisme yang sangat kuat. Bagi penulis, ramalan yang amat pesimistik itu tidak
sepenuhnya benar. Jika kita menonton kembali cuplikan film
dokumenter berjudul RITUALS, kita
dapat melihat bahwa di beberapa
negara modern dengan semangat sekularisme yang luar biasa, kehidupan
keagamaannya justru
dipertahankan dengan baik. Bagi penulis, hal ini membuktikan bahwa agama masih mempunyai tempat dalam masyarakat modern karena
dia sanggup memberikan makna kepada kehidupan manusia baik secara individual maupun
kelompok.
Sikap yang Bijak: Merangkul atau Meniadakan?
Kita telah melihat hal-hal positif apa
yang telah disumbangkan agama kepada masyarakat luas. Oleh sebab itu, ketika
berhadapan dengan pelbagai kepercayaan tradisional tersebut, sikap bijak yang sebaiknya
perlu kita kedepankan tidak lain adalah merangkul. Merangkul berarti mengakui
keberadaan mereka, terutama secara konstitutif dan menjadikan mereka bagian tak
terpisahkan dari komponen masyarakat luas. Dengan diperlakukan demikian, mereka
merasa diterima dan menjadi anggota penuh dari suatu masyarakat tertentu.
Mereka tidak lagi menyembunyikan diri dan harus terpaksa menginduk ke dalam
agama-agama dunia yang mendapat legitimasi konstitutif dari negara. Bagaimanapun juga, mereka adalah komunitas-komunitas
independen yang terbukti menyumbangkan nilai-nilai spritual dan moral yang
menjadi kekhasannya demi tercipta tatanan sosial yang lebih harmonis.
Atas dasar ini, penulis juga berkeberatan
dengan bunyi sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Bagi penulis, sila ini justru
mereduksi seluruh kepercayaan masyarakat Indonesia yang sangat beragam itu ke
dalam konsep ketuhanan yang monoteistik. Akibat yang ditimbulkannya jelas.
Agama-agama tradisional yang umumnya bersifat politeistik tidak diakui
keberadaannya. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa kebebasan beragama di
Indonesia belum sungguh-sungguh diterapkan. Kebebasan beragama itu hanya
berlaku untuk agama-agama dunia. Ini tentu tindakan yang sangat diskriminatif
dan tidak adil, yang kemudian berdampak pada tidak meratanya kesejahteraan
sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, saya mengusulkan
agar konsep ‘Yang Esa’ dalam sila pertama itu diganti dengan konsep yang jauh
lebih netral atau liberal dan dapat merangkum semua komunitas keagamaan di
Indonesia. Baik juga apabila sila pertama itu hanya terdiri dari satu kata:
“Berketuhanan”. Yah, satu kata yang dapat merangkum semua komponen beragama masyarakat
Indonesia, tanpa terkecuali.
Daftar Pustaka
Raho,
Bernard. Agama dalam Perspektif Sosiologi.
Jakarta: OBOR, 2013.
Norris, Pippa dan Ronald Inglehart. Sekularisasi
Ditinjau kembali Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini. Edit. Ihsan Ali-Fauzi
dan Rizal Panggabean. Tangerang: Yayasan Wakaf Paramadina, 2009.
Data Audio-visual: RITUALS VOL. 1 A & B
[2] Bandingkan, Pippa Norris dan Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau kembali Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini, edit.
Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean (Tangerang: Yayasan Wakaf Paramadina,
2009), hal. 11.
[3] Pippa Norris dan
Ronald Inglehart, Sekularisasi
Ditinjau kembali Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini, edit. Ihsan
Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean, hal. 11.
[4] Pokok bahasan ini dirangkum dan dikembangkan dari Bernard
Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta:
OBOR, 2013), hal. 77-98, yang secara khusus berbicara tentang agama dan sistem
makna.
[7] Terminologi ‘agama’ secara luas merujuk pada agama-agama
wahyu-monoteistik dan agama-agama maw’i-politeistik. Dalam tulisan ini, jika
penulis menggunakan terminologi agama, itu terutama merujuk pada
kepercayaan-kepercayaan lokal, meskipun konsep yang sama dapat pula diterapkan
pada agama-agama dunia.
Komentar
Posting Komentar