Langsung ke konten utama

Manusia Menjadi Sama Seperti Allah?

Jurnal V
Kamis, 3 Maret 2016

Setelah menciptakan langit dan bumi serta segala isinya, termasuk manusia pertama (Adam dan Hawa), Allah lalu menempatkan manusia-manusia itu dalam taman Eden untuk memelihara taman tersebut. Kepada mereka, Allah memberikan perintah: “Semua pohon dalam taman ini boleh kamu makan buahnya, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kamu makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kejadian 2:16 -17). Bagi saya, perintah Allah ini menarik untuk direfleksikan lebih lanjut. Pertanyaannya adalah “Mengapa Allah melarang Adam dan Hawa memakan buah dari pohon kehidupan dan pengetahuan?” Lagipula, Allah tidak menjelaskan mengapa Ia melarang mereka bertindak demikian, dan bahkan hanya memberitahukan konsekuensi terburuk dari tindakan memakan buat terlarang tersebut: “Sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” Apa sesungguhnya yang disembunyikan Allah dari manusia? Atau mungkinkah ini sekadar menguji ketaatan manusia terhadap Allah?
Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa setelah memakan buah terlarang yang tampak sangat lezat itu, sesuatu yang aneh terjadi pada diri Adam dan Hawa. “Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat” (Kejadian. 3:6-7). Mereka yang semula tidak mengetahui yang baik dan yang buruk, setelah memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan, menjadi sadar bahwa mereka telah menjadi sama seperti Allah, tahu mana yang baik dan yang buruk. Nah, pertanyaan lanjutan yang diajukan adalah “Inikah rahasia yang disembunyikan Allah dari manusia, bahwasannya Allah takut jikalau manusia yang diciptakan-Nya itu justru menjadi sama seperti Diri-Nya?

Menanggapi pertanyaan problematif yang menggelitik iman ini, saya hanya bisa berkata bahwa saya tidak berhak menjastifikasi benar atau tidaknya hal tersebut. Sebagai seorang kristiani, yang dapat saya lakukan hanyalah merefleksikan problema itu dalam keseluruhan perikopnya, yakni kisah kejatuhan manusia pertama dalam dosa. Bagi saya, kisah ini hendak mengajarkan bahwa manusia diciptakan dan dipanggil untuk patuh dan taat pada kehendak Allah. Manusia seharusnya mendasari segala tingkah lakunya pada keinginan Allah. Mengikuti perintah Allah adalah harga mati yang harus dibayar demi mencapai keselamatan. Akan tetapi, karena kehendak bebas yang dimilikinya, manusia berpeluang bertarung melawan Allah. Manusia dapat tidak taat dan patuh pada Allah, padahal kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang semata-mata terarah pada Allah.  Ketika manusia tidak lagi memanfaatkan kehendak bebasnya secara bertanggung jawab, pada saat itulah hukuman Allah yang mengerikan sedang menanti. Ketidaktaatan memasukkan manusia ke dalam situasi berdosa yang harus dibayar dengan mahal, diusir dari taman Eden.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...