Puisi Mazmur[1]
Mazmur itu berbentuk puisi. Benarkah
demikian? Dalam buku mereka yang berjudul Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 1-72,
Pembimbing dan Tafsirannya, Marie Claire Barth dan B. A. Pareira
memperlihatkan ciri corak mazmur sebagai sebuah puisi. Mereka menjawab pertanyaan di atas dengan mengedepankan
beberapa unsur pokok yang menjadi kategorisasi sebuah puisi. Menurut mereka, dalam
mazmur-mazmur Ibrani juga terkandung unsur-unsur tersebut.
Untuk mencapai pemahaman yang jelas
mengenai hal itu, mereka pertama-tama menjabarkan apa yang dimaksudkan dengan
puisi. Setelah itu, mereka menyajikan secara berturut-turut pemahaman dasar
mengenai pokok-pokok penting dari sebuah puisi, seperti irama puisi Ibrani, bahasa
gambaran, seni bunyi, bait, dan mazmur-mazmur Abjad. Pada bagian akhir, mereka
menyimpulkan beberapa point inti terkait kesadaran bahwa mazmur itu berbentuk
puisi.
Apakah Puisi itu?
Mazmur berbentuk puisi. Puisi adalah
fenomena bahasa. Puisi adalah bahasa dalam bahasa, kata dalam kata. Puisi tidak
hanya bekerja dengan kata, tetapi juga menciptakan kata. Dalam puisi, bahasa bukan
saja sarana pengungkapan, melainkan juga isi pengungkapan. Seorang penyair
berjuang dengan kata-kata untuk mengungkapkan pengalaman dan pengamatannya. Apa
yang dikatakan seorang penyair selalu mengandung bekas dari apa yang tak
dikatakan. Dia ingin mendekati kenyataan yang dialaminya secara penuh, namun
selalu terhalang oleh kata-kata. Persoalan puisi adalah “berhasil mengatakan
apa yang ia katakan dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga dalam waktu yang
sama ia menyampaikan apa yang tidak dapat dikatakan” (Jean Claude Renard).
Puisi dapat dikatakan seni bahasa dari
ungkapan hati manusia. Kita kerap menggunakan kata-kata seru dalam aneka ragam
pengalaman kita. Seorang penyair mengembangkan kata-kata itu dengan puisi.
Pengalaman itu bukan saja membuat dia berseru, melainkan juga bersuara,
berkata, dan menjawab. Dalam puisi itu, dia ingin menggerakkan pendengar atau
pembacanya untuk ikut serta dalam pengalaman dan pengamatannya.
Puisi juga mempunyai sarana.
Sarana-sarananya yang terutama ialah irama, bahasa gambaran, dan seni bunyi.
Dalam puisi, pengarang ingin berbicara kepada manusia, bukan pertama-tama
kepada pikirannya, melainkan terutama kepada segala daya kemampuan insaninya.
Dia ingin menyentuh segala dawai insani kita untuk memuja kebenaran dan
merasakan keindahannya.
Mazmur adalah sebuah buku berisi kumpulan
puisi yang ditulis oleh berbagai pengarang. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila
mutu puisi-puisinya berbeda satu dengan yang lain. Ada yang tinggi, ada yang
sedang dan ada pula yang dikatakan rendah kualitas puisinya.
Irama Puisi Ibrani
Puisi terdiri dari baris-baris. Setiap
ayat puisi Ibrani pada umumnya terdiri dari dua baris atau bikolase,
tetapi terkadang juga tiga baris atau
trikolase. Apabila dalam satu ayat ada empat baris, hal itu menunjukkan bahwa
ayat itu terdiri dari dua bikolase atau mungkin juga trikolase, serta baris
terakhir membentuk bikolase dengan baris pertama dari ayat yang berikutnya.
Dalam Alkitab, baris kedua dicetak sedikit lebih ke dalam, sedang apabila ada
trikolase, baris ketiga dicetak sejajar dengan baris kedua.
Puisi Ibrani mengenal dua macam irama,
yakni irama tekanan suku kata dan irama arti. Para ahli yang meneliti teks
aslinya mengalami banyak persoalan dalam menentukan bentuk irama tekanan kata
dalam puisi Ibrani, terutama dalam mazmur. Hal itu disebabkan tidak diketahuinya
lagi ucapan asli kata-kata Ibraninya. Tradisi ucapan yang sekarang kita miliki
berasal dari abad ke-10 Masehi, pada saat bahasa Ibrani sudah menjadi bahasa mati.
Alasan lainnya ialah teks Ibrani yang kita miliki sekarang ini banyak yang
rusak. Itulah sebabnya penyalin tidak segan-segan menyelipkan keterangan
tambahan. Meskipun ada persoalan tersebut, para ahli pada umumnya sepakat dan
mengakui adanya irama tekanan kata dalam puisi Ibrani.
Hal yang lebih penting dalam usaha
mengerti mazmur adalah mengenal irama artinya. Irama arti merupakan kesejajaran
atau perimbangan gagasan atau pikiran antarbaris. Hal ini dapat dialihkan dalam
suatu terjemahan, sehingga kita dapat menikmati keindahannya. Istilah yang
lebih dikenal, yaitu paralelisme atau parallelismus membrorum. Paralelisme ini
termasuk ciri khas tidak saja dari puisi Ibrani, tetapi juga dari puisi Semit pada umumnya. Paralelisme ini tampak dalam empat macam bentuk.
1.
Paralelisme sinonim: Gagasan dalam baris pertama (disebut
pula kolon a) diperdalam pada baris kedua (disebut pula kolon b) dengan
kata-kata lain. Contoh:
Marilah kita memutuskan
belenggu-belenggu mereka,
dan membuang tali-tali mereka dari kita
(2:3).
Gunung-gunung melompat-lompat seperti
domba jantan,
dan bukit-bukit seperti anak domba
(114:4).
2.
Paralelisme antithesis: Baris kedua menegaskan gagasan baris
pertama dari sudut yang berlawanan. Contoh:
Mereka rebah dan jatuh,
tetapi kita bangun berdiri dan tetap tegak (20:9).
Sesungguhnya, orang-orang yang
diberkati-Nya akan mewarisi negeri,
tetapi orang yang dikutuk-Nya akan
dilenyapkan (37:22).
3.
Paralelisme sintetis: Baris kedua melanjutkan atau melengkapi
gagasan dalam baris pertama. Contoh:
Akulah yang telah melantik raja-Ku di
Sion,
gunung-Ku yang kudus (2:6).
Ketika Tuhan memulihkan keadaan Sion,
keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi (126:1).
4.
Paralelisme perbandingan: Baris yang satu memperjelas gagasan
dalam baris yang lain melalui suatu perbandingan. Contoh:
Seperti rusa yang merindukan sungai berair,
demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah (42:2).
Contoh-contoh di atas hanya tampak dalam
bikolase. Paralelisme, terutama sinonim, tampak pula dalam trikolase. Contoh:
Sesungguhnya, orang ini hamil dengan kejahatan
ia mengandung kelaliman
dan melahirkan dusta (7:15).
Bersorak-soraklah bagi Tuhan, hai seluruh bumi!
Beribadahlah kepada Tuhan dengan
sukacita,
datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak
sorai (100:1b-2).
Dari kedua contoh di atas, kita dapat
melihat bahwa bukan saja terdapat paralelisme yang sinonim, melainkan juga ada
perkembangan pemikiran dari baris yang satu ke baris yang lain.
Bahasa Gambaran
Komunikasi puisi melewati dan
terus-menerus melewati suatu persimpangan jalan yang tidak ternilai dayanya
untuk pernafasan manusia, yakni bahasa gambaran. Bahasa gambaran termasuk
jantung hati puisi. Semakin dalam pengalaman manusia, semakin besar
kebutuhannya akan bahasa gambaran. Kebutuhan ini semakin terasa apabila
pengalaman yang disampaikan itu merupakan pengalaman iman, seperti halnya dalam
mazmur. Dengan memakai bahasa gambaran, perbedaan antara dunia pengalaman dan
apa yang dikatakan mengenai Tuhan tetap ada, tetapi
hal itu tidak lagi menjadi halangan. Bahasa gambaran memberikan rangsangan
untuk melihat, berpikir, merasakan, dan mengalami kembali.
Puisi adalah seni kata yang secara fundamental berakar dan
diambil dari pengalaman. Bahasa gambaran puisi mazmur dengan sendirinya diambil
dan terikat dengan keadaan geografi Palestina dan dunia sekitar yang
dikenalnya, keadaan iklim, flora dan faunanya, kebiasaan dan cara hidupnya,
serta pandangan hidup dan sejarahnya. Singkatnya, bahasa gambaran itu diambil
dan terikat pada pengalaman hidup mereka yang konkret dalam arti yang
sepenuh-penuhnya.
Seni Bunyi
Puisi mazmur juga mengenal seni bunyi atau “musik kata”. Seorang
penyair kadang-kadang memperhatikan bunyi kata-kata untuk mendukung isi dan
pesan yang mau disampaikan. Penyair juga mau menyentuh pendengaran manusia. Bentuk-bentuk
seni bunyi itu, di samping irama tekanan kata, adalah aliterasi (persamaan
bunyi dengan gema konsonan-konsonan dan kumpulan konsonan), asonansi (persamaan
bunyi vokal), dan sajak (persamaan bunyi pada akhir atau awal baris).
Bait
Seperti prosa mengenal pembagian dalam alinea (paragraf),
demikian pula puisi dalam bait. Bait merupakan bagian puisi yang merupakan
kesatuan isi dan terdiri atas sejumlah larik yang sama panjangnya dan susunan
serta iramanya. Dalam nyanyian, setiap bait mempunyai lagu lengkap. Pengertian ini
tidak berlaku sepenuhnya untuk puisi mazmur. Bait-bait suatu puisi Ibrani bisa
berbeda panjang, susunan, dan iramanya.
Pada umumnya, pembagian puisi dalam bait diberikan
berdasarkan isi. Semua ahli sepakat bahwa puisi mazmur mengenal pembaitan. Hal ini
dapat dibuktikan antara lain dari:
·
Adanya refren yang
terdapat pada kurang lebih 15 Mazmur (Mzm 8; 39; 42-43; 46; 49; 56; 57; 59; 62;
67; 80; 99; 107; 136; 144). Penggunaan dan bentuk-bentuk refren pada mazmur-mazmur
ini cukup berbeda satu dengan yang lain. Ada refren yang kembali sesudah
sejumlah baris yang sama (Mzm 46; 47; 99), tetapi ada yang tidak (Mzm 8; 49;
80; 107). Bentuk refren yang paling khas terdapat pada mazmur 136. Refrennya diulang
sesudah setiap lirik. Mazmur ini menyerupai suatu litani.
·
Adanya anafora, artinya
perulangan kata atau frasa yang sama pada pembukaan beberapa ayat yang
berturut-turut (Mzm 118:10-12) dan adanya perulangan yang bersifat antifonal
(Mzm 115:9-11; 118:2-4).
Mazmur-mazmur Abjad
Mzm 9-10, 25, 34, 37, 111, 112, 119, 145 disebut
mazmur-mazmur abjad. Mazmur abjad artinya setiap baris (Mzm 111 dan 112) atau
ayat (Mzm 25, 34, 145) atau bait (Mzm 9-10, 37, 119) dimulai dengan aksara
baru, menurut urutan abjad Ibrani. Yang paling menyolok dari mazmur-mazmur
abjad adalah Mzm 119. Seluruhnya terdiri dari 176 ayat, dibagi dalam 22 bait
karena setiap bait dimulai dengan aksara baru dan semua ayat dalam bait dimulai
dengan huruf yang sama.
Kesimpulan
Bertolak dari pemahaman dasar mengenai karakteristik sebuah
puisi yang juga menjadi bagian dari mazmur-mazmur Ibrani, Marie Claire Barth dan B. A. Pareira mengajukan dua hal
penting berikut.
1)
Kesadaran tentang mazmur
sebagai puisi sangat penting bagi pengertian dan penghayatan mazmur. Hal ini
penting, terutama karena Mazmur digunakan sebagai bahan doa, yang merupakan tanggapan
kita terhadap karya keselamatan yang ditawarkan Allah. Dengan adanya unsur-unsur
puitis dalam setiap mazmur Ibrani, diharapkan agar kita dapat menghayati secara
sungguh segala doa yang keluar dari lubuh hati kita yang terdalam.
2)
Unsur yang paling
menonjol dalam puisi Ibrani adalah irama arti. Pengetahuan dan pengertian
mengenai hal ini penting, bahkan bagi orang yang tidak membaca Mazmur dalam
bahasa aslinya karena terkadang arti naskah Ibrani, suatu ayat, atau larik
tidak jelas atau sulit diterjemahkan. Hanya kepekaan akan fenomena paralelisme-lah
yang dapat memudahkan seseorang untuk memecahkan kesulitan tersebut. Di samping
itu, kita perlu menilai paralelisme sebagai ungkapan pikiran dan perasaan
manusia. Paralelisme itu menunjukkan bahwa orang Ibrani tidak puas
mengatakannya hanya satu kali. Mereka mengulang dan memperdalam hal itu dengan
kata-kata lain atau dari sudut yang berlainan. Dengan mengulang, orang
memperdalam penglihatannya. Akan tetapi, perulangan itu sekaligus memberikan
irama. Oleh karena itu, paralelisme
dapat dibandingkan dengan pernafasan manusia yang terdiri dari menarik dan
menghembuskan nafas. Keduanya merupakan satu kesatuan dan mempunyai irama.
[1] Tulisan ini merupakan ringkasan dari salah satu bab (Mazmur
Puisi), yang secara khusus berbicara mengenai pandangan Marie Claire Barth dan B. A. Pareira terhadap mazmur, sebagaimana
yang termuat dalam: Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 1-72, Pembimbing dan Tafsirannya,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hal. 41-62.
Komentar
Posting Komentar