PERAYAAN KESELAMATAN DALAM BENTUK SIMBOL[1]
Perayaan liturgi sebagai perayaan
keselamatan selalu dijalankan dalam bentuk simbol. Dalam perspektif kristiani, simbol-simbol yang digunakan dalam setiap
perayaan liturgi itu merepresentasi kehadiran Kristus dan karya keselamatan-Nya. Artikel sederhana ini menyajikan relasi antara
simbol-simbol liturgis tersebut dengan perayaan-perayaan keselamatan yang secara
implisit menghadirkan Kristus sebagai Sang Salvatore.
Oleh karena itu, dalam artikel ini, kami memaparkan dan menjelaskan pokok-pokok
penting, seperti perbedaan antara simbol dan tanda, peranan simbol dalam
agama-agama lokal, simbol utama dalam liturgi, makna bahasa dalam liturgi, dan
pandangan Sacrosantum Consilium
terhadap kesenian religius, yang menggambarkan keterkaitan erat antarkeduanya.
Perbedaan Simbol dan Tanda[2]
Secara etimologis, kata ‘simbol’ berasal
dari kata bahasa Yunani, Sumbolon yang
diartikan sebagai tanda inderawi, barang atau tindakan, yang menyatakan realita
lain di luar dirinya.[3]
Simbol menjelaskan arti dari sesuatu yang tersembunyi dan tak terselami. Simbol
selalu memiliki hubungan intrinsik (misalnya, analogi dan metafora) dengan apa
yang disimbolkan, bahkan berpartisipasi dalam sifat dan daya kekuatannya. Hal ini
berarti, realitas yang disimbolkan jauh melampaui simbol itu sendiri dan
sekaligus memberi kekuatan kepadanya sehingga simbol itu menghadirkan apa yang
disimbolkan.
Cukup sulit untuk membedakan tanda dari simbol.
Itu tidak berarti simbol dan tanda tidak dapat dibedakan samasekali. Meskipun keduanya merujuk pada sesuatu
yang lain di luar dirinya, makna tanda tetap dapat dilepaspisahkan dari makna simbol.
Pada umumnya, tanda hanya berperan untuk memberitahukan dan menyampaikan
informasi yang sudah jelas maksudnya, misalnya rambu-rambu lalu-lintas. Tanda semata-mata
merupakan petunjuk untuk memberi perintah dan dianggap berguna jika memiliki
satu arti yang dipahami oleh semua orang yang menggunakannya.
Berbeda dengan tanda, simbol bersifat
multidimensional dan terbuka untuk interpretasi, terutama oleh mereka yang menggunakannya.
Simbol juga memiliki daya evokatif yang dapat mendorong orang untuk menanggapi
dan mengambil sikap terhadap simbol-simbol tersebut. Karena daya evokatif itulah,
simbol melampaui tanda yang sekadar menginformasikan sesuatu, tetapi tidak dapat
membangkitkan suatu tanggapan khusus (tidak bersifat evokatif) terhadap sesuatu
yang tetap misteri. Misalkan saja, peristiwa sejarah pembebasan bangsa Isreal
dari perbudakan Mesir yang tidak hanya dipandang sebagai peristiwa historis
belaka, tetapi juga menyimbolkan tindakan Allah yang membebaskan.
Bertolak dari konsep dasariah ini, sebuah
pertanyaan informatif pun diajukan: “Bagaimanakah peranan simbol dalam perspektif
agama-agama lokal?”
Simbol dalam Agama-Agama Lokal
Selain
agama-agama wahyu yang dikategorisasi sebagai agama import, ada juga
agama-agama lokal, aliran kepercayaan asli yang lahir dari bumi Pertiwi. Dalam
konteks Indonesia, keberadaan agama-agama lokal masih tetap eksis hingga
sekarang. Sebelum agama-agama wahyu hadir dan melebarkan sayap di seluruh
penjuru Nusantara, agama-agama lokal bahkan sudah “berakar tunggang” dalam
masyarakat pribumi.
Dalam
tradisi berbagai aliran kepercayaan asli, untuk membangun relasi dengan yang
transenden, mereka membutuhkan simbol-simbol, sebagaimana yang terjadi dalam
kekatolikan. Simbol dimaknai sebagai perwujudan dari Sang Ilahi atau yang Transenden. Terkait hal
ini, Jacobus Tarigan menyodorkan contoh yang sangat tepat dan menarik untuk
dikaji lebih lanjut. Ia menulis demikian:
“Dalam agama Bahari (agama suku), simbol
keagamaan dimaknai sebagai manifestasi dari sesuatu Yang Kudus, Yang Ilahi,
Yang Suci (Hierophani). Orang tidak
menyembah batu, pohon, langit atau bumi, tetapi langit atau bumi itu
melambangkan Yang Kudus, yang dalam setiap agama suku memiliki namanya sendiri
sebagai Wujud Tertinggi.”[4]
Contoh lain yang dapat kami ajukan
adalah konsep mengenai Yang Transenden dalam aliran kepercayaan masyarakat
Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Hubungan erat antara masyarakat
Manggarai dengan Yang Ilahi itu tertuang dalam ungkapan-ungkapan simbolik (bahasa
sebagai simbol), seperti; Ame eta-ine wa (Langit
di atas-bumi di bawah) dan Wulang agu
leso (Bulan dan Matahari). Menurut kepercayaan Masyarakat Manggarai, langit
dan bumi merupakan simbol dari Yang Kudus, yang mereka sebut sebagai Mori Kraeng. Begitu pula dengan bulan dan
matahari yang juga dipandang sebagai simbol dari Yang Tertinggi. Ungkapan-ungkapan
ini kerapkali terdengar dalam setiap lantunan doa orang Manggarai. “O, denge le hau Awing eta Tana wa, Wulang agu
Leso. Ho’o ela kudut naring Ata jari agu dedek. Mai keta hang ela penti ho’o
sangged taung (Dengarlah, hai engkau Langit di atas dan Bumi di bawah, Bulan
dan Matahari. Inilah babi untuk memuji Sang Pencipta dan Pembentuk. Datanglah
untuk menyantap bersama babi dalam pesta penti ini.”[5]
Melalui simbol-simbol itu, mereka dapat
bertemu dan mengalami yang kudus. Mereka dihantar sampai pada Dia yang
menciptakan alam semesta. Simbol-simbol itu dianalogikan sebagai jembatan yang
menghubungkan mereka dengan Yang Kudus. Konsep simbol menurut para pemeluk
aliran kepercayaan asli ini seolah-olah mendapat legitimasi konstitutif-gerejawi
dalam SC 2: “Apa yang insani diarahkan dan diabadikan kepada yang Ilahi, apa
yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada
kontemplasi dan apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang
kita cari.” Gagasan para Bapa Konsili yang tertuang dalam Sacrosantum Consilium
artikel 2 ini sebenarnya menggambarkan hubungan yang tidak samasekali sama saja
antara makna simbol dalam perspektif agama-agama lokal dengan makna simbol
dalam perayaan-perayaan liturgi gerejawi-kristiani.
Makna Simbol dan Simbol Utama dalam Perayaan Liturgi
Perayaan-perayaan liturgi selalu
dilaksanakan dalam bentuk simbol. Melalui simbol-simbol liturgis tersebut, apa
yang dilambangkan, yaitu realitas kehadiran Kristus yang menyelamatkan
dilaksanakan dan dihadirkan. Dengan kata lain, kehadiran Kristus dan karya
keselamatan-Nya dalam liturgi merupakan kehadiran dalam bentuk simbol. Jacobus Tarigan
mengungkapkan dengan menarik makna simbol dalam perayaan liturgi. Ia menulis:
“Dalam liturgi, pelbagai simbol
merupakan sebuah dialog antara Allah dan manusia. Allah menguduskan manusia dan
manusia memuliakan Allah. Simbol liturgi menyatakan misteri Paskah sebagai
peristiwa keselamatan yang telah terlaksana dalam Kristus. Simbol liturgi
menghadirkan rahmat sebagai peristiwa keselamatan yang dialami manusia sekarang
dan di sini. “Melalui perayaan liturgi akan menjadi jelas bagi kita bahwa Allah
yang tidak nampak bagi pancaindera kita, dibahasakan dalam lambang-lambang yang
dapat dilihat dengan mata, didengar dengan telinga, dipegang dengan tangan, dan
dialami degan seluruh kepribadian.”[6]
Menurut Jacobus Tarigan, simbol utama
dalam liturgi adalah pertemuan umat
beriman yang memperlihatkan umat Allah yang dipanggil, dikumpulkan, dan
dipilih bagi karya penebusan Kristus dan pemuliaan Allah.[7] Dalam hal ini, konsep mengenai ‘umat beriman’
tidak hanya merujuk pada kaum awam sebagai domba gembalaan, tetapi juga mencakup
kaum selibat (para rohaniwan dan biarawan/i) sebagai penggembala. Sebagai umat
beriman, mereka dipanggil dan dikumpulkan Allah untuk secara bersama-sama merayakan
karya keselamatan Allah dalam perayaan-perayaan liturgi. Dalam kebersamaan itu,
mereka kemudian dipilih dan diutus untuk melanjutkan karya penebusan Kristus
serta mewartakan Kerajaan Allah (Kabar Gembira) kepada segala makhluk.
Dinamika perjumpaan dalam setiap perayaan
liturgi itu tentu tidak terlepas dari interaksi komunikatif antarkaum beriman. Dalam
interaksi ini, bahasa sebagai bagian tak terpisahkan dari simbol-simbol
liturgis pun memegang peranan penting.
Makna Bahasa dalam Liturgi
Makna bahasa dalam liturgi sesungguhnya mengungkapkan
diri manusia secara sangat jelas. Melalui bahasa, umat beriman memuji, mengucap
syukur, menyembah, dan berdoa kepada Allah Bapa, dengan perantaraan Yesus
Kristus, dalam Roh Kudus. Itulah sebabnya bahasa yang digunakan dalam
perayaan-perayaan liturgi harus baik, sederhana, jelas, dan mudah dipahami. Dalam
hal sakramen-sakramen, bahasa memiliki peranan yang menentukan arti pada bahan
yang dipakai dalam liturgi. Bahasa juga mengungkapkan jawaban Gereja terhadap
tawaran keselamatan dari Allah. Bahasa berfungsi sebagai jembatan untuk
mempertemukan Allah dan manusia.
Selain merujuk pada bahasa lisan, sikap
dan gerak-gerik tubuh dalam liturgi juga dikategorisasi sebagai bahasa simbolik
yang mengungkapkan pertemuan umat beriman dengan Allah. Untuk itu, hendaknya
diperhatikan agar bahasa tubuh sungguh-sungguh berarti, sesuai dengan keagungan
misteri yang dirayakan dan selaras dengan watak setiap suku bangsa. Pelbagai
sikap tata tubuh seperti duduk, berdiri, berlutut, diam, merenung, dan
lain-lain hendaknya dapat membantu umat untuk mengambil bagian secara aktif
dalam perayaan liturgi. Tidak bisa disangkal
bahwa dalam tanda-tanda itu, umat
beriman mengungkapkan syukur, pujian, hormat, sembah, tobat, dan kegembiraan
kepada Allah yang adalah sumber hidup dan segala harapan.
Kesenian Religius Menurut SC 122-130
Pada umumnya, Sacrosantum Consilium artikel 122-130 (bab VII) berbicara tentang
kesenian religius dan perlengkapan ibadat. Selain menyentil martabat (hakekat)
kesenian religius (SC 122), SC juga menyinggung pokok-pokok penting yang
termuat dalam kesenian religius itu sendiri, seperti corak-corak artistik (SC
123-124), gambar-gambar dan patung-patung (SC 125-126), pembinaan terhadap para
seniman (SC 127), peninjauan kembali peraturan tentang kesenian ibadat (SC
128), pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan (SC 129), dan penggunaan
lambang-lambang jabatan uskup (SC 130).
Kesenian religius yang berpuncak pada
kesenian liturgi digolongkan sebagai seni yang indah untuk membudidayakan kehidupan
rohani manusia yang paling luhur. Penggolongan ini bertolak dari hakekat
kesenian liturgi yang dimaksudkan dan dikhususkan bagi Allah untuk memajukan
puji-syukur serta kemuliaan-Nya. Tambahan pula, kesenian liturgi harus juga
sedapat mungkin membantu manusia untuk mengangkat hatinya kepada Allah. Itulah
sebabnya, Bunda Gereja yang mulia senantiasa bersikap terbuka terhadap dan berusaha
menemukan pelayanannya yang luhur dalam kesenian liturgi yang indah itu. Dengan
demikian, perlengkapan ibadat suci sungguh menjadi layak, indah, dan permai,
serta menjadi tanda dan lambang kenyataan surgawi.
Dalam rangka itu, Gereja selalu membina
para seniman, dan bahkan memandang diri berhak menilai seni indah, serta
menetapkan manakah di antara karya para seniman itu yang selaras dengan iman,
ketaqwaan dan hukum-hukum keagamaan tradisional, serta yang cocok untuk
digunakan dalam ibadat. Secara istimewa, Gereja juga mengusahakan, supaya
perlengkapan ibadat secara layak dan indah menyemarakkan ibadat, dengan
mengizinkan perubahan-perubahan dalam bahan, bentuk, atau motif hiasan, yang
berkat kemajuan tehnik muncul di sepanjang sejarah.
Bertolak dari perspektif ini, para Bapa
Konsili berkenan menetapkan pokok-pokok berikut.
1.
Corak-corak artistik
Gereja tidak menganggap satu corak
kesenian pun sebagai khas pada dirinya. Dengan memperhatikan sifat-perangai dan
situasi para bangsa serta kebutuhan-kebutuhan pelbagai Ritus, Gereja menyambut
baik bentuk-bentuk kesenian setiap zaman, serta mengusahakan agar di sepanjang
zaman, khazanah kesenian dikelola dengan cermat. Baik kesenian zaman kita
sekarang, maupun kesenian semua bangsa dan daerah, diberi keleluasaan dalam
Gereja, asal dengan khidmat dan hormat sebagaimana seharusnya mengabdi kepada
kesucian gereja-gereja dan ritus-ritus. Dengan demikian, kesenian diharapkan
dapat menggabungkan suaranya pada kidung pujian yang mengagumkan, yang di masa
lampau dianjungkan kepada imam katolik oleh para seniman.
Dalam memajukan dan mendukung kesenian
ibadat, para pemimpin Gereja hendaknya berusaha memperhatikan pertama-tama
keindahan yang luhur dan bukan kemewahan. Itu hendaknya berlaku juga bagi
busana dan hiasan-hiasan untuk ibadat. Para Uskup hendaknya juga berusaha mencegah,
jangan sampai rumah-rumah Allah dan tempat-tempat ibadat lainnya kemasukan
karya-karya para seniman, yang bertentangan dengan iman serta kesusilaan dan
dengan kesalehan kristiani, ataupun menyinggung cita-rasa keagamaan yang sejati
entah karena bentuknya serba jelek, entah karena kurangnya mutu seni, entah
karena hanya setengah-setengah ataupun tiruan belaka. Dalam mendirikan
gereja-gereja, hendaknya diusahakan dengan saksama, supaya gedung-gedung itu
memadai untuk menyelenggarakan upacara-upacara Liturgi dan memungkinkan Umat
beriman ikut-serta secara aktif.
2.
Gambar-gambar dan patung-patung
Kebiasaan menempatkan gambar-gambar atau
patung-patung kudus dalam gereja untuk dihormati oleh kaum beriman hendaknya
dilestarikan. Akan tetapi, jumlahnya harus dibatasi dan tidak berlebih-lebihan.
Gambar-gambar dan patung-patung kudus tersebut hendaknya juga disusun dengan
laras, supaya jangan terasa janggal oleh Umat kristiani, dan jangan
memungkinkan timbulnya devosi yang kurang kuat.
Untuk menilai karya-karya seni,
hendaknya para Uskup mendengarkan Panitia keuskupan untuk Kesenian Liturgi dan juga
pakar-pakar lain (tidak hanya ahli di bidang ilmu, musik, dan kesenian liturgi,
tetapi juga di bidang pastoral, termasuk kaum awam yang berpotensi [bdk. SC 44,
45, 46]), serta Panitia-panitia yang tergabung dalam komisi liturgi dan
kesenian liturgi nasional dan keuskupan. Hendaknya para Pimpinan Gereja juga menjaga
dengan saksama, jangan sampai perlengkapan ibadat atau karya-karya seni, yang
merupakan hiasan rumah Allah, dipindah-tangankan atau rusak.
3.
Pembinaan para seniman
Hendaknya para Uskup, baik mereka
sendiri, maupun melalui imam yang cocok untuk tugas itu, mahir dan mempunyai
minat besar terhadap kesenian, dan memberi perhatian kepada para seniman,
supaya mereka diresapi semangat kesenian ibadat dan Liturgi suci. Selain itu, sangat
dianjurkan apabila didirikan sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian ibadat
untuk membina para seniman di daerah-daerah yang kiranya memerlukannya. Oleh
karena itu, semua seniman, yang terdorong oleh bakat mereka bermaksud
mengabdikan diri kepada kemuliaan Allah dalam Gereja suci, hendaknya selalu
ingat bahwa mereka dipanggil untuk, dengan cara tertentu, meneladan Allah
Pencipta dan menghadapi karya-karya yang dikhususkan bukan hanya bagi ibadat
katolik, bagi pembinaan serta ketaqwaan Umat beriman, melainkan juga bagi
pendidikan keagamaan mereka.
4.
Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan
Selama menekuni studi filsafat dan
teologi, para rohaniwan hendaknya mendapat pelajaran tentang sejarah kesenian
gerejawi serta perkembangannya, pun juga tentang azaz-azaz yang sehat, yang
harus mendasari karya-karya kesenian itu. Dengan demikian, mereka akan
menghargai dan menjaga kelestarian peninggalan-peninggalan Gereja yang
terhormat dan akan mampu memberi nasehat-nasehat yang cocok kepada para seniman
untuk mengerjakan karya mereka.
Daftar Pustaka
Dokumen Gereja, Sacrosantum Consilium, edisi Indonesia.
Maryanto, Ernest.
Kamus Liturgi. Yogyakarta: Kanisius,
2004.
Riyanto, Armada cs (ed.). Kearifan Lokal_ Pancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Tarigan, Jacobus.
Memahami Liturgi. Jakarta: Cahaya
Pineleng, 2011.
[1] Sumber utama yang melandasi penulisan artikel ini adalah Jacobus
Tarigan Pr., Memahami Liturgi, (Jakarta:
Cahaya Pineleng, 2011).
[2] Jacobus Tarigan Pr., Memahami
Liturgi, hal. 93, 105-106. Dengan nada yang kurang lebih sama, dalam
artikelnya yang berjudul Simbol dan Ritus
dalam Alkitab, dengan sangat komprehensif, Martin Harun menjelaskan
perbedaan dasariah antara simbol dan tanda.
[3] Bdk. Ernest Maryanto, Kamus Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius,
2004), hal. 205. Perhatikan juga catatan kaki pada Jacobus Tarigan Pr.,
Memahami Liturgi, hal. 105.
[4] Jacobus Tarigan Pr., Memahami
Liturgi, hal. 94.
[5] Bdk. Pius Pandor, ”Imanensi
dan Transendensi Mori Kraeng sebagai Wujud
Tertinggi Orang Manggarai”, dalam Armada Riyanto cs (ed.), Kearifan Lokal_ Pancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2015), hal. 100-101.
[6] Jacobus Tarigan Pr., Memahami Liturgi, hal. 95.
[7]
Jacobus Tarigan Pr., Memahami Liturgi,
hal. 96.
ahaaa...ngefans banget ama tulisan kk fr...
BalasHapusahaaa...ngefans banget ama tulisan kk fr...
BalasHapus