Agama
Lokal di Indonesia:
Tantangan seputar Kebebasan Beragama
Pengantar
Indonesia merupakan Negara pluralistik. Tingkat
kemajemukan masyarakatnya sangat tinggi. Pluralitas agama hanyalah sebagian
kecil dari keseluruhan realitas keberagaman itu. Dalam hal ini, pluralitas agama
mengindikasikan adanya kebebasan beragama di Indonesia. Kebebasan beragama itu
bahkan telah diatur dalam sistem perundang-undangan Negara, sehingga mendapat
sokongan dan jaminan penuh dari pemerintah. Akan tetapi, fakta bahwa pemerintah
hanya mengakui enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Konghucu) sebagai agama resmi yang harus dianut masyarakat warga, membangkitkan
tanda tanya besar terhadap kebijakan kebebasan beragama yang berlaku di
Indonesia. Terkait persoalan ini, beberapa pertanyaan problematis pun muncul. Bukankah
dengan penggunaan istilah “resmi” pada agama, secara tidak langsung hendak
diungkapkan bahwa kebebasan beragama sesungguhnya belum diakui di Indonesia? Lagipula
keenam agama yang diakui secara resmi itu sebenarnya tergolong agama impor,
bukan produk asli dalam negeri.[1] Jika hanya
agama impor yang diakui, bagaimanakah nasib berbagai aliran kepercayaan lokal,
yang sebenarnya merupakan agama asli Indonesia karena terlahir dari rahim bumi Pertiwi?
Pokok persoalan dalam tulisan ini adalah
tantangan seputar kebebasan beragama dalam kaitannya dengan pengakuan dan
penerimaan berbagai aliran kepercayaan lokal sebagai bagian dari agama resmi di
Indonesia. Untuk itu, pertama-tama penulis hendak mengedepankan konsep tentang
agama dengan mengacu pada beberapa pertanyaan, seperti apa itu agama dan unsur
terpenting apa yang terkandung di dalamnya? Berdasarkan konsep tersebut,
penulis berusaha menjawab pertanyaan ini: Dapatkah berbagai aliran kepercayaan
lokal dikategorikan sebagai agama? Setelahnya penulis akan menjelaskan berbagai
tantangan seputar kebebasan beragama, terutama terkait dengan pengakuan dan
penerimaan berbagai aliran kepercayaan lokal sebagai agama resmi. Pada bagian
akhir tulisan, penulis mengemukakan bagaimana kita, sebagai warga gereja dan
negara seharusnya bersikap terhadap berbagai aliran kepercayaan itu: merangkul
atau meniadakannya?
Konsep tentang Agama
Pada dasarnya, agama berkaitan dengan
kesadaran manusia bahwa di luar dirinya ada kuasa yang mampu berelasi
dengannya. Kesadaran itu mewarnai seluruh keberadaan dan kemudian mempengaruhi konsep
atau pendefinisiannya tentang agama. Dengan demikian, agama pun didefinisikan
sebagai suatu sistematisasi nilai-nilai dalam keterikatan pada suatu kuasa
transendental yang menyatakan dirinya kepada manusia, baik melalui gejala alam
dan daya pikir manusia, maupun melalui wahyu. Jadi, berdasarkan definisi
tersebut dapat dikatakan bahwa komponen dasar setiap agama adalah penyembah dan yang disembah. Yang disembah itu merupakan primat karena ia
menyatakan dirinya sebagai yang berkuasa atau paling tidak berpengaruh dalam
relasi itu. Oleh sebab itu, agama pada dasarnya adalah relasional, baik secara
vertikal, maupun horisontal.[2]
Perhatian pokok dari agama-agama di
dunia dapat dibagi menurut dua corak, yakni kosmologis dan soteriologis (corak
keselamatan).[3]
Agama yang secara
mendalam bercorak kosmologis mempunyai
perhatian besar pada hubungan dunia ini dengan hal-hal lain dari kosmos.
Memberi penekanan pada aspek keyakinan religius menjadi perhatian kosmologis
agama. Di samping itu, agama bercorak kosmologis, yang diresapi berbagai mitos
dan ritus, juga mencoba memahami karakter fundamental alam semesta. Untuk
membentuk lukisan kosmologis mengenai “bagaimana segala sesuatu itu berada”, agama bercorak kosmologis ini
menggunakan berbagai
gambaran dan simbol. Agama-agama primitif dikategorikan dalam kelompok ini.
Sementara itu, agama-agama yang termasuk model
keselamatan mengandung adanya suatu soteriologi (ajaran tentang keselamatan).
Dalam agama yang bercorak soteriologis ini, manusia digambarkan sebagai yang berada dalam
situasi berbahaya secara rohani atau terkutuk dalam kehancuran secara spiritual.
Dengan kata lain, manusia digambarkan sebagai yang membutuhkan keselamatan. Dalam
hal ini, agama yang bercorak soteriologis tampil sebagai penawar keselamatan,
baik dalam arti pembebasan dari kejahatan dan akibat-akibat kejahatan, maupun
dalam arti mencapai keadaan kebahagiaan sempurna yang mengatasi waktu,
perubahan, dan kematian. Kebanyakan dari apa yang disebut agama yang tinggi ini
menganut corak keselamatan dalam tujuannya.[4] Bertolak dari
konsep keselamatan ini, tidaklah berlebihan jika keenam agama resmi yang diakui
pemerintah Indonesia dikategorikan sebagai kelompok agama-agama soteriologis.
Aliran Kepercayaan Lokal sebagai Agama Kosmologis
Pada dasarnya, inti dari semua agama
adalah apa yang secara eksistensial menandai hubungan antara manusia dengan
yang kudus.[5]
Sebenarnya, perbedaan-perbedaan yang timbul terkait konsep tentang agama bertolak
dari perbedaan cara pandang mengenai rumusan tujuan masing-masing agama, yakni
jenis keselamatan yang ditawarkan untuk mewujudkan hubungan harmonis antara
manusia dengan yang kudus itu. Berbagai analogi dari manifestasi agama yang
berbeda, seperti doa, sesajian, kurban, inisiasi, dsb pada akhirnya didasarkan pada
perbedaan makna dan perwujudan dari konsepsi keselamatan. Agama bercorak
kosmologis tentu saja memiliki konsep keselamatan yang samasekali berbeda
dengan konsep keselamatan yang ditawarkan oleh agama-agama soteriologis. Konsep
keselamatan agama kosmologis tekait erat dengan keselamatan kosmos, sementara
konsep keselamatan agama soteriologis terkait erat dengan keselamatan individu (manusia).
Bertolak dari pemahaman ini, sebuah
pertanyaan reflektif-informatif terkait aliran kepercayaan lokal pun diajukan: Apakah
aliran-aliran kepercayaan lokal (di Indonesia) dalam dirinya sendiri mengandung
unsur keselamatan sehingga dapat dikategorikan sebagai agama baik yang bercorak
kosmologis, maupun soteriologis? Bertolak dari komponen-komponen dasar yang
dimiliki suatu agama (penyembah dan yang disembah, imanensi dan transendensi,
serta tata peribadatan dengan berbagai gambaran atau simbol sebagai analogi
manifestasi agama), berbagai aliran kepercayaan lokal tersebut tentu dapat
dikategorikan sebagai agama, karena unsur-unsur di atas juga terdapat dalam
berbagai aliran tersebut. Aliran kepercayaan Kaharingan, agama suku dan
kepercayaan suku Dayak, misalnya secara fenomenologis digolongkan ke dalam
kategori agama primitif justru karena tidak terlepas dari berbagai unsur
tersebut, terutama terkait dengan dasar pemikirannya.[6]
Demikian pula dengan konsep mengenai
keselamatan. Dalam berbagai aliran lokal yang dinilai primitif tersebut, kosmos
dipandang sebagai yang rapuh dan semakin rusak dalam kelangsungan waktu. Dengan
kata lain, secara periodik, alam semesta ada dalam bahaya serius sehingga perlu
diselamatkan. Untuk mencegah disorientasi dan kehancuran alam semesta tersebut,
kosmos perlu diciptakan kembali secara periodik dan kehidupan sendiri dalam
kosmos juga perlu diperbaharui. Dalam hal ini, konsep keselamatan mereka jauh
lebih luas, karena tidak hanya mencakup keselamatan manusia (mikrokosmos),
tetapi juga seluruh alam ciptaan (makrokosmos). Itulah sebabnya berbagai aliran
kepercayaan lokal cenderung berkontak langsung dengan alam terutama dalam
praktik-praktik peribadatannya, seperti berdoa di depan batu-batu dan
pohon-pohon yang besar, memberikan sesajian, berdoa kepada nenek moyang, dsb. Mitos-mitos
pun dianggap suci dan dapat dijadikan landasan untuk beriman. Dengan adanya
unsur-unsur tersebut, jelaslah bahwa sebenarnya aliran-aliran kepercayaan lokal
merupakan bagian dari agama dengan corak kosmologis. Akan tetapi, oleh
agama-agama resmi, unsur-unsur ini kemudian dipandang sebagai sebuah bentuk
penyimpangan dalam beriman sehingga mereka serta-merta dikategorikan sebagai
bidaah yang harus disingkirkan.
Tantangan seputar Kebebasan Beragama
Tantangan seputar kebebasan beragama
dan berkeyakinan bukanlah suatu hal yang baru muncul di Indonesia. Tantangan
itu terjadi ketika perbedaan-perbedaan keyakinan yang fundamental menciptakan
atau digunakan untuk menciptakan ketegangan-ketegangan dalam keluarga atau
komunitas yang secara kasat mata tampak terelakkan.[7] Pengakuan pemerintah terhadap enam
agama impor sebagai agama resmi di Indonesia merupakan penjelmaan ekstrem dari tantangan
seputar kebebasan beragama tersebut. Pengakuan yang diskriminatif ini secara
tidak langsung menggambarkan penolakan terhadap berbagai aliran kepercayaan
lokal yang bertumbuh subur di bumi Nusantara. Penolakan tersebut tentu saja
mempersulit kehidupan para penganutnya
sebagai warga negara dan juga berdampak pada pemaksaan untuk memilih
atau menganut salah satu dari keenam agama yang diakui secara resmi itu. Hal
ini tentu saja dikategorisasi sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi
manusia (kebebasan beragama) yang dilakukan secara terang-terangan di ranah
publik.
Indonesia dikenal sebagai negara yang
menjunjung tinggi kebebasan beragama. Hal ini tampak jelas pada pluralitas
agama yang dianut masyarakatnya. Pemerintah semakin mempertegas realitas
keberagaman itu dengan mengakui enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
dan Konghucu) sebagai yang resmi dianut oleh masyarakat warga. Pemerintah
bahkan juga memasukkannya dalam sistem perundang-undangan negara (UU No.
1/PNPS/1965) dan mendirikan beberapa lembaga agama resmi yang jangkauan
kerjanya mencakup penafsiran ajaran serta penyelesaian sengketa antaragama.[8] Dalam tataran
praksis, masyarakat warga yang menganut berbagai agama resmi tersebut hidup
berdampingan satu dengan yang lain, meskipun perjumpaan antarpenganutnya itu selalu
diwarnai dinamika yang tidak selalu menguntungkan. Di satu sisi, saling bekerja
sama, terutama sebagai warga negara, tetapi tidak jarang juga terjadi benturan
fisik yang destruktif karena perbedaan doktrin dan cara pandang.
Pertanyaannya sekarang adalah
sungguhkah negara Indonesia menjunjung tinggi kebebasan beragama? Bertolak dari
peristiwa di atas, kebijakan kebebasan beragama di Indonesia belum
sungguh-sungguh diterapkan dalam kehidupan nyata. Kebijakan itu hanya sebatas
wacana dan bersifat relatif-hipotetis. Jika sungguh-sungguh konsisten,
kebijakan itu bersifat universal dan karena itu mencakup semua agama, baik yang
bercorak soteriologis (mencakup enam agama resmi), maupun kosmologis (mencakup
berbagai agama primitif/aliran kepercayaan lokal). Fakta bahwa pemerintah hanya
mengakui enam agama telah mencoreng dan bertentangan dengan kewajiban ortodoksi
Indonesia untuk menafsirkan istilah “agama” dan “keyakinan” secara luas. Undang-Undang
tentang kebebasan beragama bahkan menjadi tanda bahwa persepsi tentang agama di
Indonesia masih didominasi oleh pemahaman arus utama yang menyatakan bahwa
agama (dalam artian sempit) harus memiliki Tuhan, nabi, dan Kitab Suci.
Sikap terhadap Agama Lokal
Pada awalnya, Gereja bersikap keras
terhadap pengaruh-pengaruh agama primitif, seperti Kaharingan di Kalimantan. Setiap
orang yang bertobat berarti harus meninggalkan segala kebiasaan dan kepercayaan
lama serta diperbaharui oleh iman.[9] Akan tetapi, sejak Konsili Vatikan
II, Gereja dengan penuh keyakinan menegaskan bahwa iman dan wahyu orang bukan
Kristen dapat bersifat menyelamatkan dan bahwa Gereja harus menolak ‘semua
sarana yang memaksa’ dalam pewartaan imannya. Sarana-sarana yang dimaksud tersebut adalah semacam sifat fanatisme
berlebihan dan sifat menakut-nakuti kebudayaan lain.[10]
Gereja Katolik tidak menolak apa pun,
yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang
tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta
ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan
diajarkannya sendiri, meski tidak jarang memantulkan sinar kebenaran, yang
menerangi semua orang (NA art. 2). Itu berarti sebagai warga gereja, sikap
bijak kita terhadap berbagai aliran kepercayaan lokal adalah sikap hormat
dengan menjunjung tinggi toleransi karena di dalam aliran tersebut juga
terkandung nilai-nilai kebenaran universal atau “pesan-pesan kristiani” walau
dengan wajah yang berbeda sebagaimana yang diajarkan Kristus sendiri kepada
kita.
Sikap yang sama juga perlu kita
kedepankan sebagai warga negara. Terkait hal ini, satu hal yang pertama-tama harus
diingat yakni bahwa walaupun mereka menganut aliran kepercayaan yang samasekali
berbeda dari kita, mereka tetaplah warga negara Indonesia. Selama mereka tidak
menjadi scandalum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, mereka tetaplah sesama saudara. Bersama mereka, kita lahir,
bertumbuh dan berkembang, serta bermain di atas tanah sama: Ibu Pertiwi yang
tercinta. Lagi pula, sebagai minoritas, termasuk juga agama minoritas lain di
Indonesia, mereka mendapat jaminan penuh dari negara seperti yang tertera dalam
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, jelaslah bahwa kita perlu merangkul, bukannya meniadakan
berbagai aliran kepercayaan lokal yang terlahir dari bumi Pertiwi.
Penutup
Sebagai
negara yang pluralistik, masalah seputar kebebasan beragama di Indonesia rawan
terjadi. Indonesia yang dikenal sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi
kebebasan beragama menjadi sorotan ketika dihadapkan pada kebijakan pemerintah
yang diskriminatif. Berbagai aliran kepercayaan lokal tidak mendapat tempat dan
samasekali tidak diakui. Sementara itu, kecintaan pemerintah terhadap
agama-agama impor seolah-olah tidak terbendungkan lagi sehingga mereka dan
hanya mereka saja yang mendapat pengakuan secara resmi sebagai agama negara.
Pengakuan itu telah melahirkan tanda tanya besar bagi kebijakan kebebasan
beragama yang berlaku di Indonesia. Mengingat pengakuan tersebut berdampak
buruk bagi keberlangsungan hidup para penganutnya, dorongan untuk menjadikan
agama-agama primitif sebagai agama resmi yang diakui pun semakin kuat. Agama-agama lokal perlu mendapat
tempat di tanah kelahirannya sendiri.
Bagi
penulis, kesadaran akan hal ini dapat menggugah nurani kita baik sebagai warga
gereja, maupun warga negara. Berhadapan dengan
realitas keberagaman itu, kita dituntut untuk bersikap bijak. Sikap saling
menghormati dengan menjunjung tinggi toleransi terhadap kekhasan masing-masing
agama perlu dikedepankan. Lagi pula, perbedaan yang mempertentangkan kita
dengan mereka hanya terjadi pada ranah konseptual, yakni cara berpikir tentang
bagaimana seharusnya beriman. Mengingat corak kosmologis agama mereka juga jauh
lebih luas dan karena itu mencakup corak soteriologis agama kita, harus kita akui bahwa kita perlu belajar
banyak dari mereka.
Daftar Pustaka
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi
Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Eddy Kristiyanto, A. Seandainya
Indonesia tanpa Katolik: Jalan Merawat Ingatan. Jakarta: Obor, 2015.
Hardiyanto, Soegeng, dkk (editor). Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian,
dan Masa Depan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Kirchberger, Georg
dan John Mansford Prior. Iman dan Transformasi Budaya. Flores:
Nusa Indah, 1996.
Lindholm,
Tore, dkk (editor). Kebebasan Beragama
atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Ukur, Fridolin. Tuaian sungguh Banyak: Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis sejak Tahun
1835. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
[1] Dalam tulisan
ini, konsep penulis tentang agama-agama asli dan tidak asli didasarkan pada kategorisasi
yang ditetapkan oleh Prof. Dr. A. Eddy Kristiyanto, OFM. Beliau mengkategorikan enam agama besar (Islam, Protestan, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Konghucu) yang diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah
Indonesia ke dalam kelompok agama-agama impor (tidak asli) karena berasal dari
manca negara dan tidak terlahir dari rahim bumi Indonesia. Sementara itu,
aliran-aliran kepercayaan lokal, seperti Kaharingan, Parmalim, Kejawen,
Madraisme, Marapu, dan sebagainya dikategorikan sebagai agama-agama asli
Nusantara. Bandingkan, A. Eddy Kristiyanto, Seandainya
Indonesia tanpa Katolik: Jalan Merawat Ingatan (Jakarta: Obor, 2015), hlm.
208.
[2] Th. Kobong, Pluralitas dan Pluralisme
dalam “Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan” edited by
Soegeng Hardiyanto, dkk., (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 125.
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi
Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 293.
[4] Mariasusai Dhavamony,
Fenomenologi Agama, hlm. 294.
[5] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi
Agama, hlm. 294-5.
[6] Fridolin Ukur, Tuaian sungguh
Banyak: Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis sejak Tahun 1835 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002), hlm. 138-142.
[7] Fridolin Ukur, Tuaian
sungguh Banyak: Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis sejak Tahun 1835, hlm. 1.
[8] “Pengakuan enam agama ini disertai dengan didirikannya lembaga-lembaga
agama resmi, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Waligereja
Indonesia), PGI (Persekutuan Gereja Indonesia), Walubi (Perwakilan Umat Buddha
Indonesia), Parisiada Hindu Dharma Indonesia, dan Matakin (Majelis Tinggi Agama
Konghucu Indonesia). Lembaga-lembaga ini dipercaya sebagai pemegang otoritas
agama di Indonesia. Struktur Departemen Agama juga mencerminkan penafsiran UU
No. 1/PNPS/1965 yang hanya mengakui enam agama resmi dengan satu direktorat
untuk setiap enam agama ini.” (lih. Tore Lindholm, dkk (editor), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan:
Seberapa Jauh? (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 690.
[9]Fridolin Ukur, Tuaian sungguh Banyak: Sejarah Gereja
Kalimantan Evangelis sejak Tahun 1835,
hlm. 142.
[10]
Georg Kirchberger dan John Mansford Prior, Iman
dan Transformasi Budaya (Flores: Nusa Indah, 1996), hlm. 164.
Komentar
Posting Komentar