Langsung ke konten utama

Dialog Antaragama

MEMBANGUN DIALOG:
MEMUTUSKAN RANTAI KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA
Indonesia adalah bangsa yang plural. Pluralitas bangsa ini tidak hanya terungkap dalam kekayaan alam yang berlimpah ruah, tetapi juga bertolak dari fakta bahwa dari Sabang sampai Merauke terhampar ribuan pulau yang dihuni berbagai suku dengan kekhasan budaya masing-masing.  Masyarakat warga yang menganut aneka aliran kepercayaan, baik yang asli seperti agama-agama lokal, maupun yang tidak asli (agama impor) tetapi diakui secara resmi oleh Negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu), juga mendiami dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Di satu sisi, realitas keberagaman bangsa ini dipandang positif oleh pihak yang, karena dirasuki Pancasila sebagai falsafah bangsa, menjunjung tinggi toleransi. Di pihak lain, harus diakui juga bahwa pluralitas bangsa, oleh kaum fundamentalis, dijadikan landasan untuk menciptakan konflik terbuka ataupun tersamar dalam kemasan agama atau suku. Konflik antara Kristen dan Islam, seperti yang terjadi di Tolikara, Papua beberapa bulan lalu merupakan salah satu fenomena yang kerap terjadi.
Bertolak dari fakta ini, sebuah pertanyaan reflektif pun diajukan: Apakah rantai kekerasan antaragama, terutama Islam dan Kristen, di negeri ini dapat diputuskan? Terlepas dari berbagai motif yang melatarbelakangi timbulnya konflik, rantai kekerasan yang mengatasnamakan agama pada dasarnya dapat diputuskan, jika kedua belah pihak (Islam dan Kristen) memiliki keterbukaan hati untuk membangun dialog yang berlandaskan cinta kasih. Berbagai seminar yang membahas kekerasan atas nama agama, matapelajaran islamologi yang dipelajari di sekolah-sekolah kristen, pun sebaliknya, didirikannya Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) yang anggotanya berlatarbelakang agama berbeda hanyalah sebagian kecil contoh konkrit yang dapat dilakukan demi membangun sebuah dialog. Akan tetapi, perlu diakui juga bahwa hal ini saja belumlah cukup. Semua pihak mesti berpartisipasi aktif dalam membangun dialog. Oleh karena itu, membangun dialog tidak hanya dilakukan oleh kalangan-kalangan tertentu, seperti para elitisi atau politisi, tokoh-tokoh masyarakat, kaum intelektual (pelajar), dan para pemuka agama, tetapi juga dan terutama oleh masyarakat “akar rumput”  yang berkutat langsung dalam praksis hidup harian.

Untuk dapat membangun dialog yang baik antarmasyarakat warga yang berbeda agama, toleransi perlu dikedepankan. Toleransi yang bertanggung jawab mesti terwujud, misalnya dalam sikap saling menghormati. Dalam tataran praksis, sikap saling menghormati ini dapat ditunjukkan melalui penghargaan terhadap salah satu agama yang sedang merayakan hari raya keagamaannya, misalnya atau bahkan turut membantu menjaga keamanan sehingga terorisme dapat ditanggulangi bersama. Bersilahturahmi dan memberikan ucapan selamat pada hari raya keagamaan tertentu juga mempererat tali persaudaraan antarpemeluk agama. Di samping itu, perlu ada kerja sama nyata antarpemeluk agama berupa bahu-membahu dalam menanggulangi masalah-masalah sosial, seperti benca alam atau secara bersama-sama memperjuangkan hak asasi sebagai masyarakat warga ketika ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan politik menggoncang stabilitas negara. Dengan memiliki satu kepala yang berisi berbagai visi-misi bersama sebagai masyarakat warga, kesan adanya kristenisasi atau islamisasi, misalnya dengan melontarkan istilah “beras kristen”, “beras islam” tidak sungguh-sungguh terjadi. Ketika dialog antaragama sampai pada taraf praksis seperti ini, tidak mungkin tidak rantai kekerasan atas nama agama yang mengikat erat penduduk pribumi sekian lama akan terputus. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...