JURNAL 1
Kamis, 28
Januari 2016
Pokok bahasan yang menarik bagi saya dari mata kuliah
Tafsir Taurat hari ini adalah perdebatan seputar siapakah penulis hukum Taurat
itu. Di satu sisi, terdapat sebuah pandangan bahwa sejak zaman Yunani Kuno,
telah diterima tanpa ragu-ragu dalam tradisi Yahudi dan Kristiani, Musa sebagai
penulis hukum Taurat. Pandangan ini didasarkan pada ungkapan seperti “Kitab
Hukum Musa” yang cukup banyak terdapat dalam Perjanjian Lama, sebagaimana misalnya
kitab Mazmur yang dikaitkan dengan Daud dan Kebijaksanaan dengan Salomo. Di
samping itu, Musa adalah juga tokoh protagonis yang paling utama dalam kisah
pembebasan bangsa Israel, sehingga ia dapat menulis tentang dirinya sendiri.
Lagi pula, ia pernah belajar di Mesir, sehingga kemampuan menulisnya pun cukup
baik. Musa sebagai penulis Taurat ditemukan juga dalam Talmud yang kemudian didukung oleh ajaran Bapa Gereja, seperti
Flavianus Josephus. Di sisi lain, adanya masalah seputar Duplet dan Triplet,
serta kata ganti orang ketiga yang kerap kali digunakan dalam kisah-kisah yang
termuat dalam hukum Taurat mempertanyakan kembali pandangan yang telah dikemukakan
itu. Selain itu, sebuah pertanyaan yang menggelitik pun dilontarkan: “Jika Musa
adalah penulis hukum Taurat, mengapa ia dapat menulis kisah kematiannya
sendiri?” Pertanyaan ini semakin meragukan kebenaran pandangan bahwa Musa
adalah penulis hukum Taurat.
Terlepas dari argumen mana yang benar dan mana yang
salah, satu hal pasti yang tidak dapat dikesampingkan, termasuk dalam polemik
yang belum pasti ujung pangkalnya ini adalah keyakinan bahwa Allah adalah
pengarang utama Kitab Suci (Hukum Taurat). Kitab Suci itu “theopneustos” (dari
kata theos yang artinya Allah dan pneustos yang artinya dinapaskan). Sebagai
pengarang utama, Kitab Suci itu dinapaskan dan dibuahi serta merupakan gagasan
dan inspirasi Allah sendiri. Manusia (Musa) hanyalah instrumental Allah. Meskipun
Ia menggunakan jasa manusia untuk menyatakan Firman-Nya dalam rupa
tulisan-tulisan suci, Ia tetap memegang otoritas tertinggi dalam upaya penulisan
hukum Taurat. Itulah sebabnya, siapakah yang menulis hukum Taurat bukanlah
masalah fundamental, walaupun hal itu
tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagi saya, yang terpenting adalah bagaimana
kita menghayati Firman Tuhan tersebut dalam tindakan nyata. Masalah ini jauh
lebih krusial daripada memusatkan perhatian kita pada perdebatan seputar
problem luaran seperti ini.
Komentar
Posting Komentar