Langsung ke konten utama

ISLAMOLOGI

ISLAMOLOGI
PERTUMBUHAN ILMU TRADISIONAL ISLAM: FIQH

1.     Apa itu Ilmu Fiqh? Apakah bidang kajiannya?
Dibanding tiga disiplin ilmu keislaman tradisional lainnya, ilmu fiqh (‘ilm al-fiqh) adalah yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang Muslim akan agama mereka, sehingga paling banyak membentuk bagian terpenting cara berpikir mereka. Terminologi “fiqh” itu sendiri merujuk pada pengertian “hukum”. Dalam hal ini, terminologi “hukum” terkait erat dengan salah satu peranan Nabi dalam mengemban tugas suci kerasulan (risalah), yakni sebagai pemimpin masyarakat politik dan hakim pemutus perkara. Peran Nabi sebagai hakim itu sendiri harus dipandang sebagai yang tak terpisahkan dari fungsi beliau sebagai Utusan Allah.
Ilmu fiqh dalam makna asalnya adalah ilmu yang berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan terinci (al-mufashshalat) dan ketentuan-ketentuan garis besar (al-mujmalat). Kajian terhadap ketentuan-ketentuan terinci memang tidak banyak kesulitan, tetapi analisis terhadap ketentuan-ketentuan garis besar cenderung diwarnai perbedaan penafsiran dan penjabaran yang menimbulkan kesulitan dalam perkembangan historis mereka yang paling formatif.
Melalui masa-masa perkembangan formatifnya, ilmu fiqh memperoleh batasannya yang jelas. Fiqh lalu diartikan sebagai ilmu yang mengkaji masalah-masalah syara’iyah secara teoritis. Masalah-masalah fiqh itu berkenaan dengan perkara akhirat, seperti hal-hal peribadatan (ibadat), berkenaan dengan perkara ‘amalat (tentang berbagai transaksi dalam masyarakat), dan ‘uqubat (tentang hukuman). Dari definisi ini nampaklah bahwa titik berat orientasi fiqh adalah masalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya. Kerangka pengaturan itu adalah masalah-masalah hukum. Meskipun masalah-masalah ibadat juga termasuk ilmu fiqh, cara pandang ilmu fiqh terhadap ibadat bahkan tetap bertitikberatkan orientasi hukum.  Dalam hal ini memang dikenal lima pembagian hukum: wajib, mandub, mubah, makruh, dan haram. Di samping itu, terdapat cara penilaian terhadap sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau tidak.
2.     Bagaimanakah kedudukan Ilmu Fiqh dalam Islam dan kaitannya dengan Hadist dan Sunnah?
Kedudukan ilmu fiqh dalam Islam sangatlah sentral. Fiqh merupakan salah satu disiplin keilmuan tradisional Islam yang paling banyak mempengaruhi cara pandang  orang-orang Muslim terhadap agama mereka. Kuatnya orientasi fiqh juga  menyebabkan masyarakat Islam, di mana saja, memiliki orientasi hukum yang sangat kuat. Kesadaran akan hak dan kewajiban menjadi tulang punggung pendidikan Islam tradisional dan itu pada urutannya tercermin dalam kuatnya kepastian hukum serta aturan di kalangan orang-orang Muslim sendiri. Hal ini adalah juga kekhasan yang dapat mengundang daya tarik untuk memeluk agama Islam.
Selain itu, beberapa unsur pokok Islam berkenaan dengan kemasyarakatan juga lebih nampak dalam ilmu fiqh. Demikian pula dengan prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) dan prinsip keadilan yang tampak sangat kuat dalam ilmu fiqh berupa bentuk penegasan atas persamaan setiap orang di  hadapan hukum. Sementara itu, dalam kaitannya dengan Hadits dan Sunnah, ilmu fiqh yang telah dikembangkan menjadi sebuah teori yang sistematik dan universal oleh al-Syafi’i, adalah dasar-dasar teoritis dari Sunnah, khususnya dalam bentuk Hadist, sebagai sumber memahami hukum Islam setelah al-Qur’an.
3.     Mengapa lahir perbedaan pendapat dalam Fiqh?
Dalam upaya penyusunan sistematik ilmu fiqh dan kodifikasinya, berbagai aliran yang muncul berusaha menerapkan metodenya masing-masing. Mazhab Hanafi dan al-Awza’i, misalnya banyak menggunakan analogi (qiyas) dan pertimbangan kebaikan umum (istishlah). Keduanya juga tumbuh dalam lingkungan pemerintah pusat. Berbeda dengan keduanya, mazhab Maliki terbentuk oleh suasana lingkungan Hijaz, khususnya Madinah, yang sangat memperhatikan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabat. Namun, Muhammad ibn Idris al-Sayfi’i, salah seorang murid Malik, meneruskan dan mengembangkan aliran pemikiran gurunya dengan membangun teori yang ketat untuk menguji kebenaran hadist yang diriwayatkan langsung dari Nabi. Ia juga menerima tema aliran pemikiran Hanafi, yaitu penggunaan analogi dan mengembangkannya menjadi sebuah teori yang sistematik dan universal tentang metode memahami hukum.
4.     Apakah Mazhab itu?
·        Aliran pikiran Anas ibn Malik (madzhab Malik).
·        Aliran pikiran Abu Hanifah (madzhab Hanafi).
·        Aliran pikiran al-Awza’I di Syria (Damaskus).

PERTUMBUHAN ILMU TRADISIONAL ISLAM: ILMU KALAM

1.      Apakah ilmu Kalam itu dan aspek-aspek apa saja yang dipelajari dalam ilmu Kalam?
Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang Islam. Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Itulah sebabnya ilmu Kalam disebut juga sebagai Teologi, sekalipun tidak seluruhnya sama dengan pengertian teologia dalam agama Kristen.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman, ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan Islam. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yakni ilmu ‘Aqa’id (ilmu Aqidah, yakni simpul-simpul [kepercayaan]), ilmu Tawhid (ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni ilmu pokok-pokok agama). Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama.
Secara harafiah, kata Arab kalam berarti ‘pembicaraan’, yang bernalar dengan menggunakan logika. Karena itu, ciri utama ilmu Kalam adalah rasionalitas atau logika.
2.      Apa perbedaan paham Qadariyah dengan paham Jabariyah?
Qadariyah adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya. Manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk. Jabariyah adalah pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun di hadapan kehendak dan ketentuan Tuhan. Paham Jabariyah kaum Jahmi ini menekankan pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah sebagai pribadi. Itu disebut al-Nufat (“pengingkar” [sifat-sifat Tuhan]) atau Mu’aththilah (“pembebas” [Tuhan dari sifat-sifat]).
3.      Apa perbedaan aliran Mu’tazillah dengan Asy’ariyah, Syi’ah, dan Khawrij?
Kaum Khawrij adalah para pembunuh Utsman yang pada awalnya mendukung Kekhalifan ‘Ali ibn Abi Thalib, Khalifah IV, tetapi kemudian membelot dan memusuhi Ali karena menerima usul perdamaian dari musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan dalam peristiwa “Shiffin”, ketika Ali mengalami kekalahan diplomatis dan kehilangan kekuasaan de jure-nya. Sikap mereka sangat ekstrem dan eksklusifistik, sehingga pada akhirnya mereka binasa. Akan tetapi, pengaruh mereka tetap terasa hingga sekarang, terutama karena berbagai pemikiran mereka tetap menjadi pokok problematika pemikiran Islam.
Kaum Mu’tazillah adalah yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij. Merekalah yang paling banyak mengembangkan ilmu Kalam seperti yang kita kenal saat ini. Salah satu pemikiran Mu’tazillah adalah rasionalitas. Kaum Mu’tazillah menolak paham Jabariyah-nya kamu Jahmi. Mereka menjadi pembela paham Qadariyah, seperti halnya kam Khawarij. Karena itu, mereka disebut juga sebagai “titisan” doktrinal (tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Akan tetapi, mereka banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu dan bahkan meminjam metodologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda dan, tak jarang, bertentangan. Hal ini ikut membawa mereka kepada penggunaan bahan-bahan Yunani.
Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazillah. Seorang sarjana dari kota Bashrah di Irak, Abu al-Hasan al-Asy’ari yang terdidik dalam alam pikiran Mu’tazillah, justru memelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazillah. Ilmu Kalam Asy’ari itu yang juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan” hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy’ari.
4.      Di manakah letak kekuasaan Tuhan dan manusia dalam aliran Qadariyah dan Jabariyah?
Dalam Qadariyah, kekuasaan Tuhan berada di bawah kekuasaan manusia yang senantiasa mampu menentukan amal perbuatannya dan bertanggung jawab penuh atasnya, yang baik atau yang buruk. Sementara itu, dalam Jabariyah, kekuasaan Tuhan berada di atas kekuasaan manusia. Meskipun sifat-sifat Allah sebagai pribadi yang sempurna sama sekali disangkal, manusia tetap dilihat sebagai yang tidak berdaya sedikit pun ketika berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan.

MASA-MASA PERTUMBUHAN ILMU
1.      Bagaimana keberadaan Tuhan dalam falsafah?
Dalam falsafah, keberadaan Tuhan memang tidak secara eksplisit dikatakan. Akan tetapi, konsep beberapa filosof Yunani terkemuka mengenai “Yang Esa” versi Plotinos, “Yang Baik” versi Plato, “Akal sebagai Dewa Tertinggi” versi Aristoteles, juga mengenai konsep kemahaberadaan Tuhan dalam alam raya versi kaum Stoic, dipandang sebagai gambaran keberadaan Tuhan dalam fasafah oleh para agamawan. Konsep-konsep pemikiran para filosof itu sebenarnya mendeskripsikan sifat-sifat Allah sebagai Yang Esa, Yang Baik, Tak Berubah, dan Kekal.
2.      Berlakukah interpretasi bebas dalam memahami ayat-ayat al-Quran?
Menginterpretasi ayat-ayat al-Quran sebebas-bebasnya, dalam arti ‘semau gue’ tentu tidak berlaku. Al-Quran terbuka untuk berbagai interpretasi bebas yang bertanggung jawab sekaligus kritis dan tentunya juga dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti aspek folosofis, teologis, serta moral, terutama karena terkait juga dengan kehidupan bersama.
3.      Bagaimanakah kedudukan akal dan wahyu?
Akal membantu kita untuk berpikir rasional dan kritis. Wahyu membantu kita untuk tetap bertahan dalam iman di tengah gempuran rasionalitas dan kekritisan filsafat sebagai sebuah konsep pemikiran.

PERTUMBUHAN ILMU TRADISIONAL ISLAM

1.      Bagaimana hubungan antara aspek lahir dan batin dalam tashawwuf?
Pada awalnya, tashawwuf merupakan sebentuk gerakan oposisi keagamaan yang dilatarbelakangi oleh dorongan politik, seperti oposisi orang-orang Arab Irak terhadap para penguasa Damaskus karena lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria, dan pandangan negatif terhadap kaum Umawi yang dinilai kurang “religius”. Tokoh Hasan dari Basrah mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Dalam perkembangan selanjutnya, tashawwuf tidak lagi berperan sebagai gerakan oposisi politik. Karena perkembangan gagasan kaum sufi, tashawwuf berkembang sepenuhnya menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan itu dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi, yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikan kesadaran yang bersifat dan menjurus ke dalam diri sendiri, yang memuat masalah historis dan politis. 
2.      Adakah pengaruh-pengaruh dari agama lain terhadap tashawwuf?
Tashawwuf mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi pada tingkahlaku manusia secara lahiriah, seperti pada agama Yahudi. Selain itu, tashawwuf juga mengandung ajaran-ajaran kerohanian yang mendalam, seperti agama Kristen. Meskipun dapat dibedakan, aspek lahiriah dan batiniah tashawwuf ini terkait erat satu dengan yang lain, sehingga tidak mudah dipisahkan. Ketika seorang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum tingkahlaku lahiriah, ia harus menerimanya dengan ketulusan hati. Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab fiqh yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thaharah) sebagai awal pensucian batin.
3.      Bagaimanakah al-Quran melegitimasi tashawwuf?
Sesungguhnya, membicarakan keabsahan tashawwuf dapat mengisyaratkan pengambilan sikap penghakiman dengan implikasi yang serius karena menyangkut penilaian kita terhadap pengalaman kerohanian seseorang. Lagi pula, pengalaman kerohanian (mistisisme) yang bersifat pribadi ini hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Pengalaman ini hanya dapat diketahui ketika seseorang yang mengalaminya bertingkahlaku eksentrik dan “di luar garis”.
Meskipun demikian, pengalaman mistis ini dipandang sebagai pengalaman keagamaan yang sejati. Pengalaman mistis tertinggi bahkan menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase, yakni keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Karena itu, pengalaman mistis mungkin akan dialami sekali seumur hidup oleh seseorang. Dalam al-Quran, ini diumpamakan dengan turunnya “malam kepastian” yang disebutkan sebagai lebih baik dari seribu bulan. Artinya, seseorang yang mengalami satu momen menentukan itu akan terpengaruh oleh pesan yang dibawa seumur hidupnya, yakni sekitar seribu bulan atau delapan puluh tahun.
Meskipun suatu pengalaman mistis sebagai suatu kejadian hanya bersifat sesaat, relevansinya bagi pembentukan budi pekerti akan bersifat abadi. Dalam pengalaman intens yang sesaat itu, orang berhasil menangkap suatu kebenaran utuh. Kesadaran akan kebenaran yang utuh itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan tentram yang mendalam, suatu euphoria yang tak terlukiskan. Euphoria itu sekaligus disertai dengan kesadaran akan posisi, arti, dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu tahu diri yang tidak lebih daripada Mahapencipta.
Sebagai dorongan hidup bermoral, pengalaman mistis sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan. Itulah sebabnya ajaran tashawwuf juga disebut sebagai ajaran akhlak yang merupakan tiruan akhlak Tuhan sesuai dengan sabda Nabi: “Berakhlak kamu semua dengan akhlak Allah”.

EKSPRESI ESTETIKA DALAM KEBUDAYAAN ISLAM

1.      Dalam Islam, lukisan sebuah makhluk hidup dilarang. Apa sebab dan latarbelakangnya?
Ada tiga unsur ekspresi dalam kebudayaan islam, yakni ikonoklasme, seni kaligrafi, dan Arabesk. Pada dasarnya, ketiga unsur ini menunjukkan tingginya minat kaum muslim terhadap karya seni. Akan tetapi, dalam kasus tertentu, ekspresi dari kesenian itu (ikonoklasme) dilarang, terutama jika terkait dengan fungsi produk-produk seni rupa yang menjadi personifikasi ke-ilahi-an, seperti lukisan sebuah makhluk hidup ataupun dalam rangka upaya pendekatan diri kepada Al-Khalik (ibadah). Larangan itu didasarkan pada tiga hal, yakni 1) ditaatinya larangan yang bersumber dari hadits, 2) pelukisan makhluk hidup dalam bangunan peribadatan dianggap mengganggu konsentrasi pendekatan lahir-batin terhadap dzat Allah, dan 3) pelukisan dzat Allah terutama pada Rasulullah itu dikhawatirkan akan menyebabkan pendekatan diri pada syirik yang amat terlarang. Larangan ini juga merupakan konsekuensi dari konsep mengenai peradaban islam yang diyakini berkembang dan didirikan di atas fondasi-fondasi pengabdian pada illahi. Bertolak dari konsep ini, seni islam lalu dipandang sebagai seni ilahiah.
2.      Pada agama-agama non-Islam, perkembangan estetika lahir jauh sesudah agama itu berada, sehingga diyakini perkembangannya tidak memiliki sangkut-paut dengan keyakinan agama. Dalam Islam sangat terkait dengan konsep Tauhid dan menjadi salah satu bagian dari keprihatinan ajaran. 
   Adakah perkembangan estetika dalam Islam berproses menuju kesempurnaan?
Dibanding agama-agama lain, estetika dalam Islam adalah sublimasi bukti ke-Ilahi-an yang bersumber dari al-Quran sebagai kebenaran sekaligus keindahan tertinggi. Estetika dalam Islam juga bertumbuh dan berkembang sejak Islam itu diturunkan. Baik di dunia, maupun di Nusantara, estetika islam merupakan seni ilahiah yang mengacu pada keesaan Tuhan yang transenden, absolut, dan tak dapat dipersonafikasi secara figuratif. Perkembangannya pun berawal dari tahapan syari’at menuju tahapan yang lebih tinggi (tarekat, hakekat, dan ma’rifat). Hal ini mengindikasikan perkembangan estetika dalam Islam berproses menuju kesempurnaan.

KONSEP-KONSEP ISLAM TENTANG POLITIK
(FIQH AL-SIYASAH)

Apa itu politik Islam? Adakah konsep negara Islam?
Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah saw melakukan hijrah dari Makkah ke Yatsrib hingga saat sekarang ini, Islam menampilkan dirinya secara terkait sangat erat dengan masalah kenegaraan. Dalam hal ini, Rasulullah sendirilah yang menjadi teladan dalam melihat hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Diubahnya nama Yatsrib oleh Nabi menjadi Madinah hendak menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik, negara. Hingga saat ini, rencana mulia Nabi itu terwujud sekurang-kurangnya pada Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran.
Pengalaman Islam zaman modern, yang begitu ironik tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan dengan sikap saling menuduh dan menilai lainnya sebagai ‘kafir’ atau ‘musyrik’ antara kedua pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Saudi Arabia, sebagai pelanjut paham Sunni mazhab Hanbali aliran Wahabi, banyak menggunakan retorika yang keras menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi’i yang sepanjang sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka. Iran sendiri melihat Saudi Arabia sebagai musyrik karena tunduk kepada kekuatan-kekuatan Barat yang non-muslim.
Semua ini menggambarkan betapa polematisnya  perkara sumber legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut dirinya “negara Islam”. Sikap saling membatalkan legitimasi masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi ialah salah satu dari keduanya benar atau kedua-keduanya salah, atau bahkan juga masing-masing dari keduanya itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan. 
Dalam hal wawasan tentang masalah sosial-politik, Islam jelas akan memberikan ilham kepada para pemeluknya. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa agama Islam memberi kelonggaran besar dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah legitimasi politik para penguasanya. Yang penting adalah isi negara itu dipandang dari sudut beberapa pertimbangan prinsipil Islam tentang etika sosial. Apa yang dikehendaki Islam tentang tatanan sosial-politik atau negara dan pemerintah adalah apa yang dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara dan pemerintah itu, yang pokok pangkalnya ialah egalitarianisme, demokrasi, patisipasi, dan keadilan sosial.

KONSEP KEADILAN, KETERBUKAAN, DAN DEMOKRASI

1)      Menurut Bellah, masyarakat Islam masa Nabi dan Para Sahabat sesudahnya sangat modern. Di manakah letak kemodernan masyarakat Islam tersebut?
Kemodernan masyarakat Islam tersebut terletak pada tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang tinggi, suatu hal yang sangat diharapkan dari semua lapisan anggota masyarakat. Di samping itu, ia juga modern dalam hal keterbukaan posisi kepemimpinannya terhadap kemampuan yang dinilai menurut ukuran-ukuran universal. Hal itu dilambangkan dalam usaha untuk melembagakan kepemimpinan puncak yang tidak bersifat warisan.
Komunitas Islam yang pertama ini merupakan contoh sesungguhnya bagi nasionalisme partisipan yang egaliter. Sebagai masyarakat egaliter partisipatif, klasik Islam itu menyerupai benar gambaran sebuah masyarakat yang adil, terbuka, dan demokrasi. Sifatnya yang egaliter dan partisipatif itu juga telah nampak dalam berbagai keteladanan Nabi sendiri, demikian pula dalam keteladanan para khalifah yang bijaksana, bahkan masih terasa denyut nadinya sampai kepada masa-masa selanjutnya yang cukup jauh, seperti masa khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz dari dinasti Umawi dan malahan dalam masa khalifah al-Qadir Billah dari dinasti Abbasi pada saat-saatnya terakhir sebelum mengalami kehancuran.
2)      Salah satu sabda Nabi adalah bahwa para Sahabat (Abu Bakr, Umar, Utsman, dan 'Ali) dijamin masuk surga. Apa makna tersirat dan implikasi dari sabda Nabi tersebut?
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, para Sahabat Nabi ini telah memberikan teladan yang baik, terutama dalam berlaku adil, bersikap terbuka, dan menjunjung tinggi demokrasi. Teladan yang baik ini perlu juga menjadi bagian dari sikap kita dalam menjalani dan memaknai hidup.  Masuk surga merupakan pahala bagi semua orang hidup sesuai denga etika sosial. Dalam hal ini, kita memang perlu tidak hanya baik, tetapi juga bijak dalam bertingkah laku agar tercipta masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera.


KONSEP KEMAJEMUKAN ISLAM: INTRA DAN ANTAR UMAT BERAGAMA

·         Bagaimana cara dan metode al-Quran menghadapi perbedaan ajaran-ajaran dari agama-agama yang ada di dunia ini?
Cara dan metode al-Quran dalam menghadapi berbagai perbedaan ajaran dari agama-agama lain sangatlah positif. Misalkan saja, pandangan mengenai kemajemukan dalam al-Quran. Kemajemukan dilihat sebagai kepastian Allah (taqdir). Karena itu, yang diharapkan adalah menerima kemajemukan itu sebagaimana adanya, lalu menumbuhkan sikap bersama yang sehat, menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing untuk secara maksimal saling mendorong dalam usaha mewujudkan berbagai kebaikan (al-khayrat) dalam masyarakat. Sementara itu, berbagai persoalan yang terkait dengan kemajemukan itu diserahkan kepada Tuhan semata (q. AL-Ma’idah/5:48). Sebagai ketentuan ilahi, kemajemukan termasuk dalam kategori Sunnat-u’I-lah yang tak terhindarkan karena kepastiannya (q. al-Fathir/35:43). Perbedaan yang dapat ditenggang adalah yang tidak membawa kepada kerusakan kehidupan bersama. Cara dan metode al-Quran yang positif ini juga ditegaskan dalam Surat al-Hujurat/49, ayat 10 sampai 14 yang pada dasarnya berisikan pedoman dalam bertingkahlaku, terutama terkait dengan sikap terhadap sesama yang berbeda aliran kepercayaan. Hal ini mendorong kaum Muslim, dalam relasinya dengan agam lain, untuk bersikap toleran, bebas, terbuka, adil, dan jujur. Prinsip-prinsip itu tampak jelas pada sikap dasar sebagian besar umat Islam sampai sekarang, lebih-lebih lagi sangat fenomental pada generasi kaum Muslim klasik (salaf).
·         Apakah keuniversalan Islam bisa berarti membenarkan semua agama yang ada?
Salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang Muslim adalah bahwa agama Islam adalah sebuah agama universal untuk sekalian umat manusia. Keuniversalan itu terletak pada nuktah ajaran Kitab Suci mengenai Kebenaran Universal yang adalah tunggal, meskipun ada kemungkinan manifestasi lahiriahnya yang beraneka ragam. Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal itu adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau tawhid. Karena itu, tugas para rasul atau utusan Allah, sebagaimana yang ditegaskan dalam Kitab Suci, adalah menyampaikan ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa atau tawhid serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya saja.
Al-Quran mengajarkan paham kemajemukan keagamaan. Ajaran itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan hidup dengan resiko yang akan ditanggung para pengikutnya, baik secara pribadi, maupun secara kelompok. Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada bahwa mereka pada mulanya menganut prinsip yang sama: keharusan manusia untuk berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Q. al-Baqarah/2:62) ditegaskan bahwa siapa pun dapat memperoleh keselamatan asalkan dia beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, dan berbuat baik tanpa memandang apakah ia itu keturunan nabi Ibrahim atau bukan. Keselamatan tidak didapat karena faktor keturunan.
Gambaran singkat mengenai sikap yang diajarkan dalam al-Quran ini mengindikasikan secara implisit bahwa keuniversalan Islam, dalam arti tertentu, dapat membenarkan semua agama. Karena bagaimana pun juga, agama dilandaskan pada satu pokok yang sama, yakni beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

DI SEKITAR MASALAH ISLAM DAN DUNIA MODERN

·         Kesan yang sering diterima oleh sebagian orang adalah Islam itu agama yang kurang mampu menerima kemodernan. Betulkah pendapat tersebut?
Gambaran yang cenderung dramatis tentang kemunduran ummat yang diberikan oleh para pemikir modernis adalah hasil langsung perbandingan keadaan dunia Islam dan Barat. Penilaian yang mereka berikan sepenuhnya beralasan dan sah, tetapi hanya dalam kaitan nisbinya dengan Dunia Modern di Barat saja. Sementara di luar perkembangan itu, ummaat dan Dunia Islam sesungguhnya berkembang dengan mengikuti jalur sejarahnya yang wajar. Dalam beberapa hal, dunia Islam bahkan masih menunjukkan kecemerlangannya, baik dalam menghasilkan pemikir-pemikir besar (seperti Mulla Shadra, Ahmad Sirhindi, Shah Waliyyullah, dsb), maupun dalam bidang politik dan kemiliteran.
Ketika dihadapkan dengan Eropa Barat yang modern pada abad ke-19, Dunia Islam memang sangat ketinggalan. Akan tetapi, perlu diperjelas lagi bahwa apa yang terjadi itu pada hakikatnya adalah penghadapan antara dua zaman: Zaman Agraria dan Zaman Abad Teknis. Keunggulan Dunia Islam selama berabad-abad kejayaannya adalah suatu keunggulan relatif antara sesama masyarakat Zaman Agraria. Sementara itu, keunggulan Eropa Barat terhadap Dunia Islam terjadi dalam makna dan dimensi historis yang jauh lebih fundamental, yaitu keunggulan Zaman Teknik atas Zaman Agraria.
Menurut Marshal Hodgson, Zaman Teknik terjadi oleh adanya “Transmutasi” yang amat dipercepat  dan karena berbagai hal tertentu “kebetulan” dimulai di Eropa Barat Laut. Terkesan amat kuat bahwa Eropa yang teknis itu rasional, sedangkan masyarakat lain termasuk Dunia Islam adalah tradisional. Sayangnya, kesan tersebut hanya ada dalam taraf psikologis sebab sekalipun terdapat unsur rasionalisme dan modernisme yang kuat, bukti menunjukkan bahwa masyarakat modern yang ada sekarang juga berkembang dengan mengikuti jalur kultural tradisional tertentu. Begitu pula dengan masyarakat-masyarakat pra-teknis, seperti Dunia Islam yang meskipun mengandung unsur otoritas kultural yang lebih kokoh, dalam berbagai hal tertentu tidak kurang rasionalnya dengan masyarakat teknik. Keunggulan menyeluruh masyarakat teknik terhadap masyarakat agraria adalah sistem kerja yang teroganisasi dan efisien. Pada tingkat perorangan tidak jarang terjadi bahwa individu-individu dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin lebih unggul dan rasional daripada mereka dari Eropa Barat atau Amerika Utara.  Jadi, pendapat bahwa Dunia Islam mengalami kemunduran dalam kemodernan tidak selamanya benar.
·         Al-Quran berulang-ulang memerintahkan manusia untuk selalu berpikir, bertafakkur, bertadabbur, dan merenung. Karenanya umat Islam secara doktrinal tidak akan mengalami gangguan untuk mencapai teknologi canggih. Akan tetapi, mengapa realitas umat Islam saat ini justru bertolak belakang dengan sistem doktrinal yang dimilikinya?

Ernest Gellner, seorang ahli sosiologi agama menunjukkan bahwa Tradisi Agung Islam tetap bisa dimodernkan tanpa memberi banyak konsesi kepada pihak luar dan bisa merupakan semata-mata kelanjutan berbagai dialog dalam ummat sepanjang sejarahnya. Dari antara berbagai agama yang ada, Islam adalah satu-satunya yang mampu mempertahankan sistem keimanannya itu di Abad Modern ini tanpa mendapat gangguan doktrinal. Dalam Islam dan hanya dalam Islam, pemurnian dan modernisasi di satu pihak dan peneguhan kembali identitas lama ummat di lain pihak, dapat dilakukan dalam satu bahasa dan perangkat simbol-simbol yang sama. Dunia Islam memang gagal menerobos zaman dan memelopori ummat manusia memasuk Zaman Modern, tetapi karena watak dasar Islam itu, kaum Muslimin menjadi kelompok ummat manusia yang paling besar memperoleh manfaat dari kemodernan dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...