ISLAMOLOGI
PERTUMBUHAN ILMU TRADISIONAL ISLAM: FIQH
1.
Apa itu Ilmu Fiqh?
Apakah bidang kajiannya?
Dibanding tiga
disiplin ilmu keislaman tradisional lainnya, ilmu fiqh (‘ilm al-fiqh) adalah
yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang Muslim akan agama mereka,
sehingga paling banyak membentuk bagian terpenting cara berpikir mereka.
Terminologi “fiqh” itu sendiri merujuk pada pengertian “hukum”. Dalam hal ini,
terminologi “hukum” terkait erat dengan salah satu peranan Nabi dalam mengemban
tugas suci kerasulan (risalah), yakni
sebagai pemimpin masyarakat politik dan hakim pemutus perkara. Peran Nabi
sebagai hakim itu sendiri harus dipandang sebagai yang tak terpisahkan dari
fungsi beliau sebagai Utusan Allah.
Ilmu fiqh dalam makna
asalnya adalah ilmu yang berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan
terinci (al-mufashshalat) dan ketentuan-ketentuan garis besar (al-mujmalat). Kajian terhadap
ketentuan-ketentuan terinci memang tidak banyak kesulitan, tetapi analisis
terhadap ketentuan-ketentuan garis besar cenderung diwarnai perbedaan
penafsiran dan penjabaran yang menimbulkan kesulitan dalam perkembangan
historis mereka yang paling formatif.
Melalui masa-masa
perkembangan formatifnya, ilmu fiqh memperoleh batasannya yang jelas. Fiqh lalu
diartikan sebagai ilmu yang mengkaji masalah-masalah syara’iyah secara
teoritis. Masalah-masalah fiqh itu berkenaan dengan perkara akhirat, seperti
hal-hal peribadatan (ibadat), berkenaan dengan perkara ‘amalat (tentang
berbagai transaksi dalam masyarakat), dan ‘uqubat (tentang hukuman). Dari
definisi ini nampaklah bahwa titik berat orientasi fiqh adalah masalah
pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya. Kerangka pengaturan itu
adalah masalah-masalah hukum. Meskipun masalah-masalah ibadat juga termasuk
ilmu fiqh, cara pandang ilmu fiqh terhadap ibadat bahkan tetap bertitikberatkan
orientasi hukum. Dalam hal ini memang
dikenal lima pembagian hukum: wajib, mandub, mubah, makruh, dan haram. Di
samping itu, terdapat cara penilaian terhadap sesuatu sebagai sah atau batal,
yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau
tidak.
2.
Bagaimanakah kedudukan
Ilmu Fiqh dalam Islam dan kaitannya dengan Hadist dan Sunnah?
Kedudukan ilmu fiqh dalam Islam sangatlah
sentral. Fiqh merupakan salah satu disiplin keilmuan tradisional Islam yang
paling banyak mempengaruhi cara pandang
orang-orang Muslim terhadap agama mereka. Kuatnya orientasi fiqh
juga menyebabkan masyarakat Islam, di
mana saja, memiliki orientasi hukum yang sangat kuat. Kesadaran akan hak dan
kewajiban menjadi tulang punggung pendidikan Islam tradisional dan itu pada
urutannya tercermin dalam kuatnya kepastian hukum serta aturan di kalangan
orang-orang Muslim sendiri. Hal ini adalah juga kekhasan yang dapat mengundang
daya tarik untuk memeluk agama Islam.
Selain itu, beberapa unsur pokok Islam
berkenaan dengan kemasyarakatan juga lebih nampak dalam ilmu fiqh. Demikian
pula dengan prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) dan prinsip keadilan
yang tampak sangat kuat dalam ilmu fiqh berupa bentuk penegasan atas persamaan
setiap orang di hadapan hukum. Sementara
itu, dalam kaitannya dengan Hadits dan Sunnah, ilmu fiqh yang telah
dikembangkan menjadi sebuah teori yang sistematik dan universal oleh
al-Syafi’i, adalah dasar-dasar teoritis dari Sunnah, khususnya dalam bentuk
Hadist, sebagai sumber memahami hukum Islam setelah al-Qur’an.
3.
Mengapa lahir
perbedaan pendapat dalam Fiqh?
Dalam upaya penyusunan
sistematik ilmu fiqh dan kodifikasinya, berbagai aliran yang muncul berusaha
menerapkan metodenya masing-masing. Mazhab Hanafi dan al-Awza’i, misalnya
banyak menggunakan analogi (qiyas)
dan pertimbangan kebaikan umum (istishlah).
Keduanya juga tumbuh dalam lingkungan pemerintah pusat. Berbeda dengan
keduanya, mazhab Maliki terbentuk oleh suasana lingkungan Hijaz, khususnya
Madinah, yang sangat memperhatikan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabat.
Namun, Muhammad ibn Idris al-Sayfi’i, salah seorang murid Malik, meneruskan dan
mengembangkan aliran pemikiran gurunya dengan membangun teori yang ketat untuk
menguji kebenaran hadist yang diriwayatkan langsung dari Nabi. Ia juga menerima
tema aliran pemikiran Hanafi, yaitu penggunaan analogi dan mengembangkannya menjadi
sebuah teori yang sistematik dan universal tentang metode memahami hukum.
4.
Apakah Mazhab itu?
·
Aliran pikiran Anas ibn Malik (madzhab Malik).
·
Aliran pikiran Abu Hanifah (madzhab Hanafi).
·
Aliran pikiran al-Awza’I di Syria (Damaskus).
PERTUMBUHAN ILMU TRADISIONAL ISLAM: ILMU KALAM
1.
Apakah ilmu Kalam itu dan aspek-aspek apa saja yang
dipelajari dalam ilmu Kalam?
Ilmu Kalam adalah salah satu
dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi
kajian tentang Islam. Ilmu
Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai
derivasinya. Itulah sebabnya ilmu Kalam disebut juga sebagai Teologi, sekalipun
tidak seluruhnya sama dengan pengertian teologia dalam agama Kristen.
Sebagai unsur
dalam studi klasik pemikiran keislaman, ilmu Kalam menempati posisi yang cukup
terhormat dalam tradisi keilmuan Islam. Ini terbukti dari jenis-jenis
penyebutan lain ilmu itu, yakni ilmu ‘Aqa’id (ilmu Aqidah, yakni simpul-simpul
[kepercayaan]), ilmu Tawhid (ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan ilmu Ushul
al-Din (Ushuluddin, yakni ilmu pokok-pokok agama). Ilmu Kalam menjadi tumpuan
pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu
simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran
agama.
Secara harafiah,
kata Arab kalam berarti ‘pembicaraan’,
yang bernalar dengan menggunakan logika. Karena itu, ciri utama ilmu Kalam
adalah rasionalitas atau logika.
2.
Apa perbedaan paham Qadariyah dengan paham Jabariyah?
Qadariyah adalah
suatu aliran yang mengajarkan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya.
Manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan
yang buruk. Jabariyah adalah pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun
di hadapan kehendak dan ketentuan Tuhan. Paham Jabariyah kaum Jahmi ini
menekankan pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah sebagai pribadi. Itu disebut al-Nufat
(“pengingkar” [sifat-sifat Tuhan]) atau Mu’aththilah
(“pembebas” [Tuhan dari sifat-sifat]).
3.
Apa perbedaan aliran Mu’tazillah dengan Asy’ariyah,
Syi’ah, dan Khawrij?
Kaum Khawrij adalah para
pembunuh Utsman yang pada awalnya mendukung Kekhalifan ‘Ali ibn Abi Thalib,
Khalifah IV, tetapi kemudian membelot dan memusuhi Ali karena menerima usul
perdamaian dari musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan dalam peristiwa “Shiffin”,
ketika Ali mengalami kekalahan diplomatis dan kehilangan kekuasaan de jure-nya. Sikap mereka sangat ekstrem
dan eksklusifistik, sehingga pada akhirnya mereka binasa. Akan tetapi, pengaruh
mereka tetap terasa hingga sekarang, terutama karena berbagai pemikiran mereka
tetap menjadi pokok problematika pemikiran Islam.
Kaum Mu’tazillah adalah yang
paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij. Merekalah yang paling banyak
mengembangkan ilmu Kalam seperti yang kita kenal saat ini. Salah satu pemikiran
Mu’tazillah adalah rasionalitas. Kaum Mu’tazillah menolak paham Jabariyah-nya
kamu Jahmi. Mereka menjadi pembela paham Qadariyah, seperti halnya kam
Khawarij. Karena itu, mereka disebut juga sebagai “titisan” doktrinal (tanpa
gerakan politik) kaum Khawarij. Akan tetapi, mereka banyak mengambil alih sikap
kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu dan bahkan meminjam
metodologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai
premis yang berbeda dan, tak jarang, bertentangan. Hal ini ikut membawa mereka
kepada penggunaan bahan-bahan Yunani.
Dalam perkembangan
selanjutnya, ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazillah. Seorang
sarjana dari kota Bashrah di Irak, Abu al-Hasan al-Asy’ari yang terdidik dalam
alam pikiran Mu’tazillah, justru memelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti
Mu’tazillah. Ilmu Kalam Asy’ari itu yang juga sering disebut sebagai paham
Asy’ariyyah, kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi ilmu Kalam yang paling
berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut
pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan
bahwa “jalan keselamatan” hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam
menganut al-Asy’ari.
4.
Di manakah letak kekuasaan Tuhan dan manusia dalam aliran
Qadariyah dan Jabariyah?
Dalam Qadariyah, kekuasaan Tuhan berada di bawah
kekuasaan manusia yang senantiasa mampu menentukan amal perbuatannya dan
bertanggung jawab penuh atasnya, yang baik atau yang buruk. Sementara itu, dalam Jabariyah, kekuasaan Tuhan berada
di atas kekuasaan manusia. Meskipun sifat-sifat Allah sebagai pribadi yang
sempurna sama sekali disangkal, manusia tetap dilihat sebagai yang tidak
berdaya sedikit pun ketika berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan.
MASA-MASA PERTUMBUHAN ILMU
1.
Bagaimana keberadaan Tuhan dalam falsafah?
Dalam falsafah, keberadaan
Tuhan memang tidak secara eksplisit dikatakan. Akan tetapi, konsep beberapa
filosof Yunani terkemuka mengenai “Yang Esa” versi Plotinos, “Yang Baik” versi
Plato, “Akal sebagai Dewa Tertinggi” versi Aristoteles, juga mengenai konsep
kemahaberadaan Tuhan dalam alam raya versi kaum Stoic, dipandang sebagai
gambaran keberadaan Tuhan dalam fasafah oleh para agamawan. Konsep-konsep
pemikiran para filosof itu sebenarnya mendeskripsikan sifat-sifat Allah sebagai
Yang Esa, Yang Baik, Tak Berubah, dan Kekal.
2.
Berlakukah interpretasi bebas dalam memahami ayat-ayat
al-Quran?
Menginterpretasi
ayat-ayat al-Quran sebebas-bebasnya, dalam arti ‘semau gue’ tentu tidak
berlaku. Al-Quran terbuka untuk berbagai interpretasi bebas yang bertanggung
jawab sekaligus kritis dan tentunya juga dengan mempertimbangkan berbagai
aspek, seperti aspek folosofis, teologis, serta moral, terutama karena terkait
juga dengan kehidupan bersama.
3.
Bagaimanakah kedudukan akal dan wahyu?
Akal membantu kita untuk
berpikir rasional dan kritis. Wahyu membantu kita untuk tetap bertahan dalam
iman di tengah gempuran rasionalitas dan kekritisan filsafat sebagai sebuah
konsep pemikiran.
PERTUMBUHAN ILMU TRADISIONAL ISLAM
1.
Bagaimana hubungan antara aspek lahir dan batin dalam
tashawwuf?
Pada awalnya, tashawwuf
merupakan sebentuk gerakan oposisi keagamaan yang dilatarbelakangi oleh
dorongan politik, seperti oposisi orang-orang Arab Irak terhadap para penguasa
Damaskus karena lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria, dan pandangan
negatif terhadap kaum Umawi yang dinilai kurang “religius”. Tokoh Hasan dari
Basrah mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Dalam perkembangan
selanjutnya, tashawwuf tidak lagi berperan sebagai gerakan oposisi politik.
Karena perkembangan gagasan kaum sufi, tashawwuf berkembang sepenuhnya menjadi
mistisisme. Tingkat perkembangan itu dicapai sebagai hasil pematangan dan
pemuncakan rasa kesalehan pribadi, yaitu perkembangan ketika perhatian paling
utama diberikan kesadaran yang bersifat dan menjurus ke dalam diri sendiri,
yang memuat masalah historis dan politis.
2.
Adakah pengaruh-pengaruh dari agama lain terhadap
tashawwuf?
Tashawwuf
mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi pada tingkahlaku manusia secara
lahiriah, seperti pada agama Yahudi. Selain itu, tashawwuf juga mengandung
ajaran-ajaran kerohanian yang mendalam, seperti agama Kristen. Meskipun dapat
dibedakan, aspek lahiriah dan batiniah tashawwuf ini terkait erat satu dengan
yang lain, sehingga tidak mudah dipisahkan. Ketika seorang Muslim dituntut
untuk tunduk kepada suatu hukum tingkahlaku lahiriah, ia harus menerimanya
dengan ketulusan hati. Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu
yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan
kitab fiqh yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thaharah) sebagai awal pensucian batin.
3.
Bagaimanakah al-Quran melegitimasi tashawwuf?
Sesungguhnya, membicarakan keabsahan
tashawwuf dapat mengisyaratkan pengambilan sikap penghakiman dengan implikasi
yang serius karena menyangkut penilaian kita terhadap pengalaman kerohanian
seseorang. Lagi pula, pengalaman kerohanian (mistisisme) yang bersifat pribadi ini
hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain dan selamanya akan lebih
merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Pengalaman ini hanya dapat
diketahui ketika seseorang yang mengalaminya bertingkahlaku eksentrik dan “di
luar garis”.
Meskipun demikian,
pengalaman mistis ini dipandang sebagai pengalaman keagamaan yang sejati.
Pengalaman mistis tertinggi bahkan menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut
ekstase, yakni keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Karena itu,
pengalaman mistis mungkin akan dialami sekali seumur hidup oleh seseorang.
Dalam al-Quran, ini diumpamakan dengan turunnya “malam kepastian” yang
disebutkan sebagai lebih baik dari seribu bulan. Artinya, seseorang yang
mengalami satu momen menentukan itu akan terpengaruh oleh pesan yang dibawa
seumur hidupnya, yakni sekitar seribu bulan atau delapan puluh tahun.
Meskipun suatu pengalaman
mistis sebagai suatu kejadian hanya bersifat sesaat, relevansinya bagi
pembentukan budi pekerti akan bersifat abadi. Dalam pengalaman intens yang
sesaat itu, orang berhasil menangkap suatu kebenaran utuh. Kesadaran akan
kebenaran yang utuh itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan tentram yang
mendalam, suatu euphoria yang tak
terlukiskan. Euphoria itu sekaligus
disertai dengan kesadaran akan posisi, arti, dan peran diri sendiri yang
proporsional, yaitu tahu diri yang tidak lebih daripada Mahapencipta.
Sebagai dorongan hidup
bermoral, pengalaman mistis sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan. Itulah
sebabnya ajaran tashawwuf juga disebut sebagai ajaran akhlak yang merupakan
tiruan akhlak Tuhan sesuai dengan sabda Nabi: “Berakhlak kamu semua dengan
akhlak Allah”.
EKSPRESI ESTETIKA DALAM KEBUDAYAAN ISLAM
1.
Dalam Islam,
lukisan sebuah makhluk hidup dilarang. Apa
sebab dan latarbelakangnya?
Ada tiga unsur ekspresi
dalam kebudayaan islam, yakni ikonoklasme, seni kaligrafi, dan Arabesk. Pada dasarnya, ketiga unsur ini
menunjukkan tingginya minat kaum muslim terhadap karya seni. Akan tetapi, dalam
kasus tertentu, ekspresi dari kesenian itu (ikonoklasme) dilarang, terutama
jika terkait dengan fungsi produk-produk seni rupa yang menjadi personifikasi
ke-ilahi-an, seperti lukisan sebuah makhluk hidup ataupun dalam rangka upaya
pendekatan diri kepada Al-Khalik (ibadah). Larangan itu didasarkan pada tiga
hal, yakni 1) ditaatinya larangan yang bersumber dari hadits, 2) pelukisan
makhluk hidup dalam bangunan peribadatan dianggap mengganggu konsentrasi
pendekatan lahir-batin terhadap dzat Allah, dan 3) pelukisan dzat Allah
terutama pada Rasulullah itu dikhawatirkan akan menyebabkan pendekatan diri
pada syirik yang amat terlarang. Larangan ini juga merupakan konsekuensi dari
konsep mengenai peradaban islam yang diyakini berkembang dan didirikan di atas
fondasi-fondasi pengabdian pada illahi. Bertolak dari konsep ini, seni islam lalu dipandang
sebagai seni ilahiah.
2. Pada agama-agama non-Islam, perkembangan estetika
lahir jauh sesudah agama itu berada, sehingga diyakini perkembangannya tidak
memiliki sangkut-paut dengan keyakinan agama. Dalam Islam sangat terkait dengan
konsep Tauhid dan menjadi salah satu bagian dari keprihatinan ajaran.
Adakah
perkembangan estetika dalam Islam berproses menuju kesempurnaan?
Dibanding agama-agama lain,
estetika dalam Islam adalah sublimasi bukti ke-Ilahi-an yang bersumber dari
al-Quran sebagai kebenaran sekaligus keindahan tertinggi. Estetika dalam Islam
juga bertumbuh dan berkembang sejak Islam itu diturunkan. Baik di dunia, maupun
di Nusantara, estetika islam merupakan seni ilahiah yang mengacu pada keesaan
Tuhan yang transenden, absolut, dan tak dapat dipersonafikasi secara figuratif.
Perkembangannya pun berawal dari tahapan syari’at menuju tahapan yang lebih
tinggi (tarekat, hakekat, dan ma’rifat). Hal ini mengindikasikan perkembangan
estetika dalam Islam berproses menuju kesempurnaan.
KONSEP-KONSEP
ISLAM TENTANG POLITIK
(FIQH AL-SIYASAH)
Apa
itu politik Islam? Adakah konsep negara Islam?
Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin
diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan
pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah
saw melakukan hijrah dari Makkah ke Yatsrib hingga saat sekarang ini, Islam
menampilkan dirinya secara terkait sangat erat dengan masalah kenegaraan. Dalam
hal ini, Rasulullah sendirilah yang menjadi teladan dalam melihat hubungan
antara agama dan negara dalam Islam. Diubahnya nama Yatsrib oleh Nabi menjadi
Madinah hendak menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya
dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian
menghasilkan suatu entitas sosial-politik, negara. Hingga saat ini, rencana
mulia Nabi itu terwujud sekurang-kurangnya pada Kerajaan Saudi Arabia dan
Republik Islam Iran.
Pengalaman Islam zaman modern, yang begitu ironik
tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan dengan sikap saling
menuduh dan menilai lainnya sebagai ‘kafir’ atau ‘musyrik’ antara kedua pemerintahan
Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Saudi Arabia, sebagai pelanjut
paham Sunni mazhab Hanbali aliran Wahabi, banyak menggunakan retorika yang
keras menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi’i yang sepanjang sejarah
merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka. Iran sendiri melihat Saudi
Arabia sebagai musyrik karena tunduk kepada kekuatan-kekuatan Barat yang
non-muslim.
Semua ini menggambarkan betapa polematisnya perkara sumber legitimasi dari sebuah negara
yang mengaku atau menyebut dirinya “negara Islam”. Sikap saling membatalkan
legitimasi masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti bahwa
tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi ialah salah satu dari
keduanya benar atau kedua-keduanya salah, atau bahkan juga masing-masing dari
keduanya itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.
Dalam hal wawasan tentang masalah sosial-politik,
Islam jelas akan memberikan ilham kepada para pemeluknya. Akan tetapi, sejarah
menunjukkan bahwa agama Islam memberi kelonggaran besar dalam hal bentuk dan
pengaturan teknis masalah sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan
tidak ada sangkut pautnya dengan masalah legitimasi politik para penguasanya.
Yang penting adalah isi negara itu
dipandang dari sudut beberapa pertimbangan prinsipil Islam tentang etika
sosial. Apa yang dikehendaki Islam tentang tatanan sosial-politik atau negara
dan pemerintah adalah apa yang dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara
dan pemerintah itu, yang pokok pangkalnya ialah egalitarianisme, demokrasi,
patisipasi, dan keadilan sosial.
KONSEP
KEADILAN, KETERBUKAAN, DAN DEMOKRASI
1)
Menurut Bellah,
masyarakat Islam masa Nabi dan Para Sahabat sesudahnya sangat modern. Di manakah letak kemodernan masyarakat
Islam tersebut?
Kemodernan masyarakat Islam
tersebut terletak pada tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang
tinggi, suatu hal yang sangat diharapkan dari semua lapisan anggota masyarakat.
Di samping itu, ia juga modern dalam hal keterbukaan posisi kepemimpinannya
terhadap kemampuan yang dinilai menurut ukuran-ukuran universal. Hal itu
dilambangkan dalam usaha untuk melembagakan kepemimpinan puncak yang tidak
bersifat warisan.
Komunitas Islam yang pertama
ini merupakan contoh sesungguhnya bagi nasionalisme partisipan yang egaliter.
Sebagai masyarakat egaliter partisipatif, klasik Islam itu menyerupai benar
gambaran sebuah masyarakat yang adil, terbuka, dan demokrasi. Sifatnya yang
egaliter dan partisipatif itu juga telah nampak dalam berbagai keteladanan Nabi
sendiri, demikian pula dalam keteladanan para khalifah yang bijaksana, bahkan
masih terasa denyut nadinya sampai kepada masa-masa selanjutnya yang cukup
jauh, seperti masa khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz dari dinasti Umawi dan
malahan dalam masa khalifah al-Qadir Billah dari dinasti Abbasi pada
saat-saatnya terakhir sebelum mengalami kehancuran.
2)
Salah satu sabda
Nabi adalah bahwa para Sahabat (Abu Bakr, Umar, Utsman, dan 'Ali) dijamin masuk
surga. Apa makna tersirat dan implikasi
dari sabda Nabi tersebut?
Sebagaimana yang dijelaskan
di atas, para Sahabat Nabi ini telah memberikan teladan yang baik, terutama
dalam berlaku adil, bersikap terbuka, dan menjunjung tinggi demokrasi. Teladan
yang baik ini perlu juga menjadi bagian dari sikap kita dalam menjalani dan
memaknai hidup. Masuk surga merupakan pahala bagi semua orang hidup
sesuai denga etika sosial. Dalam hal ini, kita memang perlu tidak hanya baik,
tetapi juga bijak dalam bertingkah laku agar tercipta masyarakat yang damai,
adil, dan sejahtera.
KONSEP
KEMAJEMUKAN ISLAM: INTRA DAN ANTAR UMAT BERAGAMA
·
Bagaimana cara dan metode al-Quran menghadapi
perbedaan ajaran-ajaran dari agama-agama yang ada di dunia ini?
Cara dan metode
al-Quran dalam menghadapi berbagai perbedaan ajaran dari agama-agama lain
sangatlah positif. Misalkan saja, pandangan mengenai kemajemukan dalam
al-Quran. Kemajemukan dilihat sebagai kepastian Allah (taqdir). Karena itu, yang diharapkan adalah menerima kemajemukan
itu sebagaimana adanya, lalu menumbuhkan sikap bersama yang sehat, menggunakan
segi-segi kelebihan masing-masing untuk secara maksimal saling mendorong dalam
usaha mewujudkan berbagai kebaikan (al-khayrat)
dalam masyarakat. Sementara itu, berbagai persoalan yang terkait dengan
kemajemukan itu diserahkan kepada Tuhan semata (q. AL-Ma’idah/5:48). Sebagai
ketentuan ilahi, kemajemukan termasuk dalam kategori Sunnat-u’I-lah yang tak terhindarkan karena kepastiannya (q.
al-Fathir/35:43). Perbedaan yang dapat ditenggang adalah yang tidak membawa
kepada kerusakan kehidupan bersama. Cara dan metode al-Quran yang positif ini
juga ditegaskan dalam Surat al-Hujurat/49, ayat 10 sampai 14 yang pada dasarnya
berisikan pedoman dalam bertingkahlaku, terutama terkait dengan sikap terhadap
sesama yang berbeda aliran kepercayaan. Hal ini mendorong kaum Muslim, dalam
relasinya dengan agam lain, untuk bersikap toleran, bebas, terbuka, adil, dan
jujur. Prinsip-prinsip itu tampak jelas pada sikap dasar sebagian besar umat
Islam sampai sekarang, lebih-lebih lagi sangat fenomental pada generasi kaum
Muslim klasik (salaf).
·
Apakah keuniversalan Islam bisa berarti membenarkan
semua agama yang ada?
Salah satu kesadaran yang
sangat berakar dalam pandangan seorang Muslim adalah bahwa agama Islam adalah
sebuah agama universal untuk sekalian umat manusia. Keuniversalan itu terletak
pada nuktah ajaran Kitab Suci mengenai Kebenaran Universal yang adalah tunggal,
meskipun ada kemungkinan manifestasi lahiriahnya yang beraneka ragam. Pokok
pangkal kebenaran universal yang tunggal itu adalah paham Ketuhanan Yang Maha
Esa atau tawhid. Karena itu, tugas
para rasul atau utusan Allah, sebagaimana yang ditegaskan dalam Kitab Suci,
adalah menyampaikan ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa atau tawhid serta ajaran tentang keharusan
manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya saja.
Al-Quran mengajarkan paham
kemajemukan keagamaan. Ajaran itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua
agama diberi kebebasan hidup dengan resiko yang akan ditanggung para
pengikutnya, baik secara pribadi, maupun secara kelompok. Sikap ini dapat
ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada bahwa mereka pada
mulanya menganut prinsip yang sama: keharusan manusia untuk berserah diri kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Q. al-Baqarah/2:62) ditegaskan bahwa siapa pun dapat
memperoleh keselamatan asalkan dia beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian,
dan berbuat baik tanpa memandang apakah ia itu keturunan nabi Ibrahim atau
bukan. Keselamatan tidak didapat karena faktor keturunan.
Gambaran singkat mengenai
sikap yang diajarkan dalam al-Quran ini mengindikasikan secara implisit bahwa
keuniversalan Islam, dalam arti tertentu, dapat membenarkan semua agama. Karena
bagaimana pun juga, agama dilandaskan pada satu pokok yang sama, yakni beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
DI SEKITAR
MASALAH ISLAM DAN DUNIA MODERN
·
Kesan yang
sering diterima oleh sebagian orang adalah Islam itu agama yang kurang mampu
menerima kemodernan. Betulkah pendapat
tersebut?
Gambaran yang cenderung
dramatis tentang kemunduran ummat yang diberikan oleh para pemikir modernis
adalah hasil langsung perbandingan keadaan dunia Islam dan Barat. Penilaian
yang mereka berikan sepenuhnya beralasan dan sah, tetapi hanya dalam kaitan
nisbinya dengan Dunia Modern di Barat saja. Sementara di luar perkembangan itu,
ummaat dan Dunia Islam sesungguhnya berkembang dengan mengikuti jalur
sejarahnya yang wajar. Dalam beberapa hal, dunia Islam bahkan masih menunjukkan
kecemerlangannya, baik dalam menghasilkan pemikir-pemikir besar (seperti Mulla
Shadra, Ahmad Sirhindi, Shah Waliyyullah, dsb), maupun dalam bidang politik dan
kemiliteran.
Ketika dihadapkan dengan
Eropa Barat yang modern pada abad ke-19, Dunia Islam memang sangat ketinggalan.
Akan tetapi, perlu diperjelas lagi bahwa apa yang terjadi itu pada hakikatnya
adalah penghadapan antara dua zaman: Zaman Agraria dan Zaman Abad Teknis.
Keunggulan Dunia Islam selama berabad-abad kejayaannya adalah suatu keunggulan
relatif antara sesama masyarakat Zaman Agraria. Sementara itu, keunggulan Eropa
Barat terhadap Dunia Islam terjadi dalam makna dan dimensi historis yang jauh
lebih fundamental, yaitu keunggulan Zaman Teknik atas Zaman Agraria.
Menurut Marshal Hodgson,
Zaman Teknik terjadi oleh adanya “Transmutasi” yang amat dipercepat dan karena berbagai hal tertentu “kebetulan”
dimulai di Eropa Barat Laut. Terkesan amat kuat bahwa Eropa yang teknis itu
rasional, sedangkan masyarakat lain termasuk Dunia Islam adalah tradisional.
Sayangnya, kesan tersebut hanya ada dalam taraf psikologis sebab sekalipun
terdapat unsur rasionalisme dan modernisme yang kuat, bukti menunjukkan bahwa
masyarakat modern yang ada sekarang juga berkembang dengan mengikuti jalur
kultural tradisional tertentu. Begitu pula dengan masyarakat-masyarakat
pra-teknis, seperti Dunia Islam yang meskipun mengandung unsur otoritas
kultural yang lebih kokoh, dalam berbagai hal tertentu tidak kurang rasionalnya
dengan masyarakat teknik. Keunggulan menyeluruh masyarakat teknik terhadap masyarakat
agraria adalah sistem kerja yang teroganisasi dan efisien. Pada tingkat
perorangan tidak jarang terjadi bahwa individu-individu dari Asia, Afrika, dan
Amerika Latin lebih unggul dan rasional daripada mereka dari Eropa Barat atau
Amerika Utara. Jadi, pendapat bahwa Dunia Islam mengalami kemunduran
dalam kemodernan tidak selamanya benar.
·
Al-Quran
berulang-ulang memerintahkan manusia untuk selalu berpikir, bertafakkur,
bertadabbur, dan merenung. Karenanya umat Islam secara doktrinal tidak akan
mengalami gangguan untuk mencapai teknologi canggih. Akan tetapi, mengapa realitas umat Islam saat ini justru
bertolak belakang dengan sistem doktrinal yang dimilikinya?
Ernest Gellner, seorang ahli
sosiologi agama menunjukkan bahwa Tradisi Agung Islam tetap bisa dimodernkan
tanpa memberi banyak konsesi kepada pihak luar dan bisa merupakan semata-mata
kelanjutan berbagai dialog dalam ummat sepanjang sejarahnya. Dari antara
berbagai agama yang ada, Islam adalah satu-satunya yang mampu mempertahankan
sistem keimanannya itu di Abad Modern ini tanpa mendapat gangguan doktrinal.
Dalam Islam dan hanya dalam Islam, pemurnian dan modernisasi di satu pihak dan
peneguhan kembali identitas lama ummat di lain pihak, dapat dilakukan dalam
satu bahasa dan perangkat simbol-simbol yang sama. Dunia Islam memang gagal
menerobos zaman dan memelopori ummat manusia memasuk Zaman Modern, tetapi
karena watak dasar Islam itu, kaum Muslimin menjadi kelompok ummat manusia yang
paling besar memperoleh manfaat dari kemodernan dunia.
Komentar
Posting Komentar