Langsung ke konten utama

Metode Eksegese, Kritik Sumber



Jurnal II
Kamis, 4 Februari 2016
Dalam penyelidikan terhadap sumber tulisan-tulisan (Kritik Sumber) yang termuat dalam Kitab Suci, Julius Wellhausen mengemukakan Hipotesis Dokumen yang menyatakan bahwa kelima Hukum Taurat Musa merupakan gabungan dari empat dokumen atau sumber yang berbeda. Keempat dokumen tersebut adalah the Yahwist’s narrative (J), the Elohist’s narrative (E), the Deouteronomist’s document (D), dan the Priestly document (P). Masing-masing dokumen memiliki kekhasan tersendiri, baik dari segi waktu dan tempat penulisan, pengarang, komposisi, maupun dari segi karya sastra.
Mempelajari keempat dokumen ini sangatlah penting. Selain untuk menambah informasi dan memperluas cakrawala pengetahuan, mendalami the Graf-Wellhausen Hypothesis ini dapat membantu menghasilkan interpretasi yang kritis dan obyektif atas teks-teks kitab suci itu. Akan tetapi, tafsiran yang luas dan sarat makna terhadap perikop-perikop Tulisan Suci itu hanya dapat diperoleh jika “harta karun” yang terpendam dalam teks-teks tersebut sungguh-sungguh digali. Untuk itu, kapan dan di mana narasi itu disusun, siapa pengarang, serta bagaimana komposisinya, bahkan termasuk jenis karya sastranya merupakan unsur-unsur yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Unsur lain yang juga mutlak dilihat adalah Sitz im Leben (life setting) dan tujuan utama penulisan setiap sumber. Dengan begitu, upaya penggalian “harta karun” yang terpendam dalam teks-teks kuno tersebut dapat dilakukan dengan total.
Bagi saya, memperhatikan dengan seksama point-point penting ini adalah harga mati. Saya meyakini bahwa kebenaran obyektif tulisan-tulisan suci akan tersingkap dengan mengkaji lebih jauh teks-teks kitab suci yang hendak ditafsir. Di samping itu, kajian yang mendalam terhadapnya bukan hanya memperkaya dan memperluas cakrawala berpikir saya sendiri, melainkan juga dengan membagikannya kepada sesama, dahaga mereka yang haus akan makna terdalam dari karya-karya sastra yang adalah juga tulisan-tulisan suci itu dapat terpenuhi. Ini merupakan modal berharga, terutama bagi para calon imam dan imam yang secara konstitutif gerejawi memiliki kewenangan untuk menafsirkan kitab suci. Tafsiran yang obyektif dan kaya makna tentu dapat menarik perhatian umat untuk mau mendengarkan dan teristimewa menjalankan Sabda Tuhan yang disampaikan oleh para pelayan-Nya itu dalam hidup harian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...