Langsung ke konten utama

Mitos Bait Suci



Mitos Bait Suci dan Seruan Pertobatan Yeremia:
 Sebuah Interpretasi Hermeneutik atas Nubuat Yer. 7:1-15

Yeremia 7:1-15 merupakan salah satu bagian dari keseluruhan nubuat atau khotbah Yeremia di Bait Suci (Yer. 7:1-8:3). Dalam rangkaian nubuat tersebut, redaktur kitab Yeremia mencantumkan kotbah di kenisah, yang kemungkinan besar diwartakan pada masa pemerintahan raja Yoyakim (609-598 SM).[1] Menurut Yer. 7:2, kotbah itu disampaikan di pintu gerbang rumah TUHAN (Bait Allah) di mana para pengunjung biasanya masuk melewati pintu tersebut sambil membawa bahan persembahan. Umumnya, nubuat-nubuat yang ditemukan di Bait Suci pada tahun 621 SM ini, ditulis dalam gaya deuteronomistis, gaya Kitab Ulangan.
Menarik untuk dikaji lebih dalam bahwa khotbah Yeremia di Bait Suci ini penuh dengan tuduhan dan penghukuman yang disertai dengan sedikit janji keselamatan (bdk. Yer. 7:3). Yang hendak ditegaskan di sini ialah bila bangsa Israel tetap bertahan dalam kekerasan hati mereka, maka kehancuran akan datang menimpa, sebaliknya, bila mereka mau bertobat dan kembali kepada Allah, maka pengampunan dan keselamatan akan menjadi bagian dari mereka.
Bertolak dari hal tersebut, penulis mencoba mengedepankan penafsiran hermeneutik atas perikop ini. Dengan menekankan beberapa istilah penting, di dalam esai eksegetik ini, penulis hendak mengangkat ke permukaan nilai-nilai kehidupan yang kiranya dapat dipetik dari nubuat nabi Yeremia ini.

Perbaikilah Tingkah Langkah dan Perbuatanmu
Ayat 1-4 memperlihatkan kepada kita bahwa Allah memerintah Yeremia untuk menyampaikan Firman-Nya. Firman Allah itu ditujukan kepada “sekalian orang Yehuda yang masuk melalui pintu gerbang ini (Bait Suci) untuk sujud menyembah kepada Tuhan” (ayat 3). Mereka diperintahkan Allah untuk memperbaiki tingkah langkah dan perbuatannya. Kita tentu dapat mengajukan sebuah pertanyaan informatif: “Apa yang telah mereka perbuat, sehingga Tuhan semesta alam, Allah Israel berfirman demikian?” Yang pasti ialah Allah tidak pernah tidak memerintahkan sesuatu tanpa alasan. Mereka jelas telah melakukan kejahatan.
Ayat 5-6 memberikan jawaban yang meyakinkan. Kepada kita, Yeremia memperlihatkan tindakan-tindakan buruk apa saja yang telah diperbuat oleh bangsa tersebut. Mereka tidak berlaku adil satu dengan yang lain. Mereka menindas orang asing, anak-anak yatim, dan janda. Mereka menumpahkan darah orang yang tak bersalah di Bait Suci. Mereka bahkan tidak berlaku setia kepada Allah Israel dengan mengikuti allah lain yang tidak mereka kenal, termasuk kepada Baal, dewa bangsa Kanaan. Deretan tingkah langkah dan perbuatan mereka yang jahat ini pastinya dapat mendatangkan kemalangan sekaligus membawa malapetaka bagi mereka sendiri. Oleh karena itu, Allah Israel, melalui perantaraan Yeremia, mengajak mereka untuk bertobat, yakni dengan memperbaiki tingkah langkah dan perbuatan mereka itu. Hanya dengan begitu, Allah berkenan hadir dan tetap tinggal di tengah-tengah mereka dengan mendiami Bait-Nya yang kudus.

Bait Tuhan  
Bait Tuhan adalah tempat yang digunakan bangsa Israel untuk beribadah dan mempersembahkan kurban. Selama beberapa abad, tempat ini menjadi pusat ibadah agama Yahudi. Mereka meyakini bahwa Allah Israel yang mereka imani itu bersemayam di dalamnya. Kehadiran Tuhan di dalam Bait Suci menjadi tanda bahwa tempat ibadah tersebut  adalah kudus dan sakral.  
Keyakinan bahwa Bait Tuhan itu dikuduskan oleh kehadiran-Nya ternyata meracuni pola berpikir bangsa Israel. Mereka lalu dengan mudah menganggap Bait Tuhan sebagai tempat yang kebal, sebuah tempat yang memiliki unsur magis. Lagipula, berdasarkan janji TUHAN kepada Daud dalam 2Sam. 7, umat Israel meyakini bahwa Bait Allah Yerusalem tidak akan pernah dihancurkan dan sebaliknya, kehadiran Bait itu malah membuat mereka selalu aman (bdk. 2Sam. 7:10). Keyakinan kolektif ini semakin diperteguh dengan sebuah peristiwa historis. Kekalahan yang diderita raja Sanherib pada tahun 701 dilihat sebagai bentuk perlindungan Tuhan terhadap Yerusalem, kota yang kudus itu (bdk. 2 Raj 19:32-34; Yes. 37:33-35). Di samping itu, pada tahun 600 SM, dari sebelah Utara datanglah musuh yang kuat, Raja Babel dan pasukannya. Akan tetapi, mereka samasekali tidak merasa takut karena mereka meyakini bahwa kota suci dengan Bait Suci di dalamnya tidak dapat dikalahkan musuh.[2]
Suatu kepercayaan yang sungguh-sungguh bahwa Tuhan akan melindungi bangsa pilihan-Nya tentulah sangat baik sekali. Namun, menjadi sebuah kekeliruan yang besar apabila keyakinan itu didasarkan pada kesalahpahaman. Dengan tidak berpikir panjang, penduduk Yerusalem mengambil kesimpulan bahwa Tuhan selalu dan senantiasa melindungi tempat kudus-Nya, begitu pula dengan umat pilihan-Nya. Apapun yang mereka lakukan entah yang baik, entah yang jahat, samasekali tidak berpengaruh pada sikap Allah terhadap mereka. Sampai kapan pun, Tuhan tetap berdiam di dalam Bait-Nya dan itu menjadi tanda perlindungan Tuhan yang tak berkesudahan atas mereka. Inilah mitos Bait Suci yang mengakar kuat dalam pikiran bangsa pilihan itu.
Namun, menariknya ialah Yeremia mengesalkan hati bangsa tersebut dengan menandaskan bahwa kepercayaan semacam itu tidak berdasar. Tidaklah salah kalau mereka suka akan kota Yerusalem, kalau mereka ingin supaya tanah air yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu tetap dilindungi dari serangan musuh. Akan tetapi, perlindungan Allah tidak dapat dicapai dengan mantra yang berbunyi: “Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN” (Yer. 7:4-5). Menurut Yeremia, Allah dapat begitu saja meninggalkan Bait-Nya sebab Tuhan semesta alam, Allah Israel, tidak terikat pada suatu tempat tertentu. Di sini tampak jelas bahwa Yeremia menuntut suatu perbuatan sebagai syarat agar Tuhan mau tinggal bersama umat-Nya “di tanah yang telah diberikan-Nya kepada nenek moyang mereka, dari dahulu kala sampai selama-lamanya” (bdk Yer 7:7). Syarat yang dituntut itu tidak lain ialah melakukan hal-hal yang baik di mata Tuhan.

Sarang Penyamun
Penyamun sering kali menggunakan sarangnya untuk bersembunyi dan merencanakan kejahatan selanjutnya. Menarik bahwa Yeremia memakai gambaran ini untuk melukiskan orang-orang yang memasuki Bait Suci, yang di satu sisi datang untuk mempersembahkan korban, tetapi di lain sisi juga datang untuk merencanakan suatu perbuatan yang keji. Menurut pikiran mereka, dengan datang berdiri di hadapan Tuhan di rumah yang atasnya nama-Nya diserukan, dosa mereka yang banyak itu akan dihapus dan ditangguhkan. Dengan demikian, mereka kemudian dapat merancang dan melakukan perbuatan yang lebih keji lagi. “Kita selamat, supaya dapat pula melakukan segala perbuatan yang keji ini!” (Yer. 7:10).
Yeremia mengingatkan bahwa dengan berlaku demikian, mereka telah menjadikan Bait Tuhan sebagai sarang penyamun. “Sudahkah menjadi sarang penyamun di matamu rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini?” (Yer. 7:11).[3] Lagipula, Allah sendiri tidak dapat disogok. Yahwe adalah pemilik segala sesuatu. Ia juga mahamengetahui. Allah Israel dapat melihat ke dalam hati manusia dan mengetahui isi hatinya. Tidak ada segala sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya. “Kalau Aku, Aku sendiri melihat semuanya, demikianlah firman TUHAN” (Yer. 7:11).
Tambahan pula, bagi Yahwe yang terpenting bukanlah seberapa sering dan banyak korban yang harus dipersembahkan, melainkan sikap dan tindakan yang suci, yang senantiasa terarah kepada kebaikan bersama. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa kotbah dalam kenisah ini juga merupakan suatu kecaman terhadap praktik ibadat para pengunjung kenisah. Mereka yang menganggap diri saleh dan orang Israel sejati itu memang membawa persembahan dan melakukan ibadat, tetapi yang dipersoalkan ialah apakah hal seperti itu sudah cukup?

Kehancuran Silo
Bagian terakhir dari perikop ini (Yer. 7:12-15) ditutup dengan sebuah ancaman bahwa Tuhan akan menyerahkan kenisah dan tempat itu untuk dihancurkan, seperti yang pernah terjadi di Silo pada zaman para hakim. Silo adalah sebuah tempat yang terletak di sebelah utara Yerusalem dan Betel, dan sebelah barat Sungai Yordan. Dahulu kala, sebelum Bait Suci Yerusalem didirikan sudah ada tempat kebaktian di Silo. Karena itu, Silo menjadi pusat keagamaan suku-suku Israel pada abad ke-12 SM, yakni pada waktu pembagian tanah (bdk. Yos. 18:9). Karena menjadi pusat keagamaan, Silo dianggap sebagai tempat yang suci sehingga memiliki imam-imam. Eli dan putera-puteranya melayani di situ sampai pada waktu Tabut Perjanjian direbut (bdk. 1Sam. 4). Menurut Mzm 78:60-61, Silo dihancurkan oleh orang-orang Filistin pada tahun 1050 SM dan tidak pernah dibangun kembali.[4]
Menurut Yeremia, apa yang terjadi di Silo merupakan kehendak Tuhan. Oleh karena umat Israel di Silo pada saat itu melakukan kejahatan, Tuhan lalu mendatangkan malapetaka ke atas mereka. Mereka diserang dan dihancurkan oleh bangsa lain. “Tetapi baiklah pergi dahulu ke tempat-Ku di Silo itu, di mana Aku membuat nama-Ku diam dahulu, dan lihatlah apa yang telah Kulakukan kepadanya karena kejahatan umat-Ku Israel” (Yer. 7:12). Selanjutnya, Yeremia memperlihatkan bahwa bangsa Israel yang hidup pada jamannya itu juga telah melakukan kejahatan yang sama seperti yang dilakukan oleh umat Israel di Silo. Mereka tidak mau mendengarkan Yahwe, meskipun Ia selalu berbicara kepada mereka. Mereka juga tidak menjawab, ketika Yahwe berseru kepada mereka. Itulah sebabnya, mereka juga akan dijatuhi hukuman yang sama seperti yang dialami oleh umat Israel di Silo. Yahwe akan melemparkan mereka dari hadapan-Nya. Seperti semua saudara mereka, seluruh keturunan Efraim akan dibuang Yahwe ke tempat pembuangan.

Penutup
Secara keseluruhan, ayat 1-15 memuat dua hal pokok: kotbah Yeremia yang menentang kepercayaan magis pada bait Allah dan seruan pertobatan kepada umat Israel. Keduanya berkaitan erat satu dengan yang lain. Kepada Daud, Allah memang telah berjanji untuk selalu menjaga umat pilihan-Nya dengan mendiami Bait-Nya yang kudus (bdk. 2Sam. 7). Namun, kehadiran Allah dalam Bait Suci, sebagaimana yang diyakini bangsa Israel, bukanlah tanda mutlak bagi terpenuhinya janji Allah tersebut. Janji Allah itu baru diwujudkan apabila umat Israel hidup dengan tingkah laku dan perbuatan yang benar di hadapan-Nya. Ini menjadi syarat mutlak bagi terpenuhinya janji perlindungan Yahwe. Dengan demikian, seruan pertobatan Yeremia kepada bangsa Israel bertujuan agar mereka mau berbalik dari tindakannya yang salah serta mulai mencintai Allah dan sesama dengan segenap hati.
Apa yang dikotbahkan Yeremia ini pastinya relevan dengan kehidupan menggereja kita dewasa ini. Sadar atau tidak, kita cenderung berpikir bahwa dengan tak jemu-jemunya berseru kepada Tuhan dan memberi derma sekian banyak di gereja, kita dapat memenangkan hati Tuhan. Dengan demikian, apa yang kita minta kepada-Nya didengarkan dan dikabulkan. Keyakinan ini memang tidak salah. Namun, doa dan persembahan kita harus disertai dengan perubahan sikap dalam hidup. Keduanya harus seimbang. Di satu sisi, kita dituntut untuk senantiasa mengandalkan Tuhan dan terus terlibat aktif dalam kegiatan menggereja di paroki, misalnya. Namun, di lain sisi, hal itu baru  menjadi bermakna apabila kepada sesama yang sakit, miskin, terlantar, lemah, dan para pengungsi, kita mau membuka mata hati kita untuk melihat penderitaan mereka dan membuka diri serta mengulurkan tangan untuk mau meringankan beban hidup mereka. Dalam konteks ini, apa yang disampaikan oleh St. Yakobus adalah benar. “Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati” (bdk. Yak. 2:14-26).
Daftar Pustaka
Bergant, Dianne dan Robert J. Karris (Edit.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Jakarta: Kanisius, 2002.
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab: Panduan Dasar ke dalam Kitab-Kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Brueggemann, Walter. Jeremiah 1-25: To Pluck Up, To Tear Down. USA: William B. Eerdmans Publishing Company, 1988.
Darmawijaya, St. Warta Nabi sebelum Pembuangan: Zefanya, Nahum, Habakuk, Yeremia. Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia-Kanisius, 1990.
Rothlisberger, H. Firman-Ku seperti Api para Nabi Israel. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.


[1] Bdk. St. Darmawijaya, Warta Nabi sebelum Pembuangan: Zefanya, Nahum, Habakuk, Yeremia (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia-Kanisius, 1990), hal. 129-130.
[2] Bdk. H. Rothlisberger, Firman-Ku seperti Api para Nabi Israel (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hal. 57.
[3] Istilah seperti “allah lain yang tidak kamu kenal” dan “rumah yang atasnya nama-Ku diserukan” menunjukkan bahwa bangsa itu sesungguhnya mempunyai hubungan yang amat pribadi dengan Allah, yang dikenal dan yang tinggal di antara mereka. Bdk. St. Darmawijaya, Warta Nabi sebelum Pembuangan: Zefanya, Nahum, Habakuk, Yeremia, hal. 131-132.
[4] Bdk. W.R.F. Browning, Kamus Alkitab: Panduan Dasar ke dalam Kitab-Kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hal. 409.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...