Langsung ke konten utama

Analisis Retorik terhadap Perumpamaan mengenai Penghakiman Terakhir



Analisis Retorik terhadap Perumpamaan mengenai Penghakiman Terakhir (Mat. 24:45-25:46)
Kedatangan Anak Manusia dan Pemisahan Mereka Yang Terberkati dari Yang Terkutuk

Sebuah Pengantar: Komposisi Umum
Matius 25 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Matius 24. Kedua bab ini berbicara tentang satu hal yang sama, yakni khotbah tentang akhir zaman. Wejangan eskatologis (dari eschaton, kata Yunani yang berarti “akhir”) ini diawali dengan nubuat mengenai kehancuran atau runtuhnya Bait Allah (bdk. Mat. 24:1-2) dan diakhiri dengan nubuat tentang penghakiman terakhir (bdk. Mat. 25:31-46).
Dalam tulisan ini, penulis hendak menawarkan sebuah komposisi retorik yang bersifat konsentrik atas perumpamaan mengenai penghakiman terakhir. Menurut penulis, keempat perumpamaan yang masing-masing berbicara tentang wejangan eskatologis itu ditengahi oleh sebuah perintah untuk berjaga-berjaga. Oleh karena itu, dalam konteks jauh, perumpamaan mengenai penghakiman terakhir tersebut berbentuk demikian: A-B-“C”-B’-A’. Perhatikan komposisi berikut!
Kedatangan Anak Manusia dan Pemisahan Mereka Yang Terberkati dari Yang Terkutuk
Kedatangan Tuan        dan                    Tindakan serta Nasib hamba yang setia-bijaksana dan yang bodoh
    
Kedatangan Sang Mempelai dan Tindakan serta Nasib   lima gadis yang bijaksana dan lima yang bodoh

Perintah untuk selalu berjaga-jaga
                                                                         
  
Kedatangan Tuan     dan                   Tindakan serta Nasib    hamba yang baik-setia dan yang jahat-malas
Kedatangan Anak Manusia     dan         Tindakan serta Nasib   mereka yang diberkati dan yang terkutuk

Berdasarkan bagan di atas, kita dapat melihat bahwa perumpamaan mengenai hamba yang setia-bijaksana dan bodoh (A) memiliki padanannya dengan perumpamaan mengenai penghakiman terakhir (A’). Perumpamaan mengenai lima gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh (B) terkait erat dengan perumpamaan mengenai hamba yang setia dan malas (B’). Sementara itu, yang menjadi pusat dari keseluruhan perumpamaan itu adalah sebuah perintah untuk senantiasa berjaga-jaga (“C”). Jadi, A-A’ dan B-B’ mengapiti “C”. Akan tetapi, adanya pembagian seperti ini tidaklah berarti A-A’, B-B’, dan “C” berbeda satu dengan yang lain. Keempatnya berkaitan erat dan memiliki satu makna serta tujuan yang sama, meskipun subyek dalam masing-masing perumpamaan itu berbeda.
Pada bagian awal, penulis telah mengatakan bahwa Matius 25 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Matius 24. Karena merupakan satu kesatuan, penulis lalu berupaya mencari benang merah atau titik temu antara Matius 25 (yang terdiri dari tiga perikop) dengan Matius 24 (yang terdiri dari enam perikop). Dari enam perikop yang termuat dalam Matius 24, penulis menemukan satu perikop yang ternyata menjadi pintu utama menuju tiga perikop lain yang termuat dalam Matius 25. Perikop tersebut ialah Mat. 24:45-51, yang berbicara tentang perumpamaan mengenai hamba yang setia-bijaksana dan yang bodoh.
Sama seperti perikop-perikop yang termuat dalam Matius 25, perikop ini juga membahas tiga tokoh penting dalam perumpamaan mengenai penghakiman terakhir. Ketiga tokoh penting tersebut adalah Tuan/Mempelai/Anak Manusia/Gembala/Raja, hamba yang setia-bijaksana/orang-orang yang terberkati, dan hamba yang jahat-bodoh/orang-orang yang terkutuk. Berpijak pada pemahaman ini, penulis mencoba merangkum dan memasukkan Mat. 24:45-51 ke dalam konteks keseluruhan perumpamaan tentang penghakiman terakhir.

Konteks (Alkitabiah) Intratekstualitas Perumpamaan tentang Penghakiman Terakhir
            Pada bagian ini, penulis hendak menguraikan keempat perikop tersebut bagian perbagian. Selain itu, penulis juga berupaya melihat konteks sintakmatik dari masing-masing perikop. Artinya, penulis ingin menunjukkan hubungan-hubungan antara pelbagai unit tekstual dalam keempat perikop tersebut, terutama yang berhubungan dengan ayat, perikop, dan bab.
Kedatangan Tuan dan Tindakan serta Nasib Hamba yang Setia-bijaksana dan yang Bodoh (Mat. 24:45-51)
Dalam perikop ini, terdapat dua jenis hamba. Hamba yang pertama adalah hamba yang setia-bijaksana dan hamba yang kedua adalah hamba yang jahat. Penulis perlu menegaskan sejak awal bahwa sebutan ‘yang setia-bijaksana’ dan ‘yang jahat’ merupakan sebuah predikat, stigma atau justifikasi. Predikat itu disematkan kepada hamba-hamba tersebut. Titik tolaknya ialah sikap, tindakan, dan perbuatan mereka. Hamba yang bertingkah laku baik dinilai sebagai hamba yang setia-bijaksana. Hamba yang bertingkah laku buruk dinilai sebagai hamba yang jahat. Demikian pula halnya dengan ganjaran yang akan mereka terima. Hamba yang baik sikap dan tindakannya akan menerima segala sesuatu yang baik, sebaliknya hamba yang jahat sikap dan tindakannya akan menerima segala sesuatu yang buruk.
Menurut Mat. 24:45-51, baik hamba yang setia dan bijaksana, maupun hamba yang jahat sama-sama diangkat oleh tuannya. Kata ‘diangkat’ berarti bahwa kedua hamba tersebut menjadi orang kepercayaan tuannya. Mereka dipilih secara khusus dari antara hamba-hamba tuan yang lainnya itu untuk menjalankan peran/tugas dari sang tuan, ketika tuannya itu pergi. Terkait hal ini, kita tentu dapat bertanya: apa tugas yang diembankan kepada mereka oleh tuannya itu? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam Mat. 24:45: “memberikan makanan kepada hamba-hamba tuan yang lainnya itu pada waktunya.”
Dari hal di atas, kita dapat melihat dengan jelas bahwa ternyata tugas yang dipercayakan kepada hamba yang setia-bijaksana dan hamba yang jahat itu sama. Jika demikian, apa yang lalu membedakan hamba yang setia-bijaksana itu dengan hamba yang jahat? Hasil cermatan terhadap teksnya sendiri memperlihatkan bahwa perbedaan antarkeduanya terletak pada perbuatannya. Hamba yang setia dan bijaksana pasti melakukan tugas yang diembankan kepadanya itu dengan setia pula. Asumsi yang tersirat di balik pernyataan ini sebenarnya ialah hamba yang setia dan bijaksana itu menjalankan apa yang diperintahkan oleh tuannya tanpa terpengaruh pada kapan tuannya itu datang. Fokus perhatian dari hamba yang setia dan bijaksana itu adalah mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan. Ia tidak menyibukkan diri dengan pertanyaan informatif mengenai kapan tuannya itu datang, sebab hal tersebut menjadi urusan pribadi sang tuan. Dengan kata lain, hamba yang setia dan bijaksana itu tetap menjalankan perannya sebagai orang kepercayaan tuannya tanpa terusik dengan hal-hal yang bukan kepentingannya.
Ketika tuannya itu datang, ia pastinya akan mendapati hamba yang setia dan bijaksana ini sedang bekerja. Hal ini tentu dilihat oleh tuannya itu sebagai sikap yang bijaksana dari seorang hamba yang setia. Oleh karena kesetiaannya itu, sang tuan pun memberikan imbalan yang jauh lebih besar: mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya (bdk. Mat. 24:47). Jadi, ia sekarang bukan saja menjadi mandor bagi hamba-hamba tuan yang lainnya, melainkan juga menjadi pengawas segala milik tuannya itu.
Berbeda dengan sikap hamba yang setia dan bijaksana tadi, hamba yang jahat tidak melakukan tugasnya dengan baik. Ia memusatkan perhatiannya bukan pada pekerjaan yang telah dipercayakan kepadanya, melainkan pada pertanyaan informatif mengenai kapan tuannya itu datang. Hal ini dilakukannya supaya jika tuannya itu tidak datang-datang, ia dapat melakukan apa saja yang disukai dan dikehendakinya. “Tuanku itu tidak datang-datang, lalu ia mulai memukul hamba-hamba yang lain dan makan-minum bersama-sama para pemabuk” (Mat. 24:49).
Hamba yang memiliki sifat dan tingkah laku buruk ini, ketika tuannya itu datang di saat yang tidak ia ketahui, akan sangat terkejut. Keterkejutan itu lebih merupakan reaksi ketakutan. Ketakutan itu disebabkan oleh ketidaksetiaannya. Ketika tuannya tiba, ia pastinya tidak sedang mengerjakan tugasnya. Ketidaktahuannya akan kedatangan sang tuan menjadi malapetaka. Ia lalu dibunuh karena ketidaksetiaanya itu, sehingga pada akhirnya, nasib hamba tersebut sama seperti nasib orang-orang munafik. Pada saat penghukuman, ia akan dicampakkan ke dalam tempat yang paling gelap. Di sana hanya akan terdengar ratapan dan kertakan gigi.
Bertolak dari pandangan di atas, penulis lalu menyimpulkan bahwa perumpamaan mengenai dua hamba ini mengkontraskan sikap kesiapsediaan dengan sikap kelengahan. Hamba yang setia-bijaksana akan selalu bersikap waspada, sedangkan hamba yang jahat cenderung bersikap ceroboh. Pada akhirnya, ketika sang tuan itu datang, sikap berjaga-jaga dari hamba yang setia-bijaksana itu diapresiasi oleh sang tuan, sedangkan sikap kelengahan dari hamba yang jahat itu diganjar oleh sang tuan secara setimpal.
Dalam perumpamaan ini, ada tiga kata penting yang menarik untuk dilihat padanannya dengan beberapa kata dalam perumpamaan-perumpamaan lain.
1.      Kata ‘Tuannya itu datang’. Kata-kata ini ditemukan dalam dua perumpamaan selanjutnya. Misalkan saja, dalam perumpamaan tentang lima gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh (bdk. Mat. 25:31-46) akan ditemukan kata dengan nada serupa, yaitu kata ‘mempelai itu datang’. Sementara itu, dalam perumpamaan tentang penghakiman terakhir (bdk. Mat. 25:31-46), kata dengan makna yang sama ditemukan pada kata ‘Anak Manusia datang’. Meskipun subyeknya berbeda (tuan, mempelai, dan Anak Manusia), ketiganya tetap merujuk pada satu tokoh utama yang sama. Tokoh itu tidak lain ialah Yesus Kristus sendiri. Dia adalah juga seorang gembala dan raja (bdk. Mat. 25:31-34).
2.      Kata ‘tidak datang-datang’. Kata ‘tidak datang-datang’ memang mengacu kepada sang tuan atau sang mempelai yang kehadirannya sangat dinanti-nantikan. Akan tetapi, makna kata ini tidak dapat dilepas-pisahkan begitu saja dari pemahaman mengenai para hamba atau para gadis yang sedang berada dalam masa penantian. Itulah sebabnya, selain ditemukan dalam perumpamaan ini, kata ‘tidak datang-datang’ ditemukan juga dalam perumpamaan tentang lima gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh. Menariknya, dalam dua perumpamaan itu, makna dari satu kata yang sama ini sangatlah berbeda. Kata ‘tidak datang-datang’ dalam perumpamaan ini hanya merujuk pada hamba yang jahat, hamba yang selalu bertanya tentang kapan kira-kira tuannya itu datang. Sementara itu, kata ‘tidak datang-datang’ yang terdapat dalam perumpamaan tentang lima gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh itu merujuk kepada kesepuluh gadis yang sedang menantikan sang mempelai. Mereka bersama-sama menunggu kedatangan sang mempelai. Karena sang mempelai itu ‘tidak datang-datang’ juga, mereka merasa lelah dan pada akhirnya tertidur pulas.
3.      Kata “ratapan dan kertak gigi”. Kata ini ditemukan juga dalam perumpamaan tentang talenta. Baik dalam perumpamaan mengenai hamba yang setia-bijaksana dan hamba yang jahat, maupun dalam perumpamaan tentang talenta, kata ini merujuk pada satu orang yang sama, yakni hamba yang jahat, hamba yang tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Hamba yang satu itu memukul hamba-hamba tuannya yang lain dan makan-minum bersama para pemabuk. Hamba yang lain, setelah menerima satu talenta dari tuannya, tidak mengembangkannya, tetapi justru pergi menguburkannya. Dengan demikian, kata-kata ini sebenarnya memperlihatkan hukuman yang diperoleh oleh hamba-hamba yang tidak setia, jahat, dan malas itu.
Kedatangan Mempelai dan Tindakan serta Nasib Lima Gadis yang Bijaksana dan yang Bodoh (Mat. 25:1-12)
Perikop ini dimulai dengan sebuah kalimat yang berbunyi “hal kerajaan surga seumpama”. Kalimat dengan nada yang serupa akan ditemukan juga dalam perikop setelahnya, yakni perumpamaan tentang talenta: “hal kerajaan surga sama seperti”. Dengan demikian, kerajaan surga dapat diumpakan dengan dua hal. Pertama, hal kerajaan surga diumpamakan dengan kesepuluh gadis yang sedang menantikan sang mempelai. Lima gadis di antaranya bijaksana dan lima gadis yang lainnya adalah bodoh. Kedua, hal kerajaan surga juga dapat diumpamakan dengan tiga orang hamba yang masing-masing menerima talenta dari tuannya untuk dikembangkan. Dua orang hamba mengembangkan talenta-talenta itu dengan baik, sedangkan yang seorang sama sekali tidak melakukannya, bahkan pergi menyembunyikannya.
Sama seperti penjelasan mengenai perumpamaan dalam Mat. 24:45-51, dalam Mat. 25:1-12 kita juga akan mengikuti pola atau sistematika penjelasan yang sama. Pertama-tama, kita mengidentifikasi adanya tiga tokoh utama dalam perikop ini: sang mempelai, lima gadis yang bijaksana, dan lima gadis yang bodoh. Sang mempelai adalah seorang lelaki yang kedatangannya sedang dinanti-nantikan oleh kesepuluh gadis itu.
Kita dapat melihat bahwa tugas dari kesepuluh gadis itu adalah sama. Mereka bersama-sama menantikan kedatangan sang mempelai pria dan ketika saatnya tiba, akan pergi menyongsong dia. Jika demikian, pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah apa yang membedakan lima gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh itu? Dengan sungguh mencermati perikopnya sendiri, kita dapat melihat dengan jelas perbedaan antarkeduanya. Perbedaan tersebut terletak dalam sikap antisipatif dari kesepuluh gadis itu. Lima gadis yang bijaksana bersikap lebih antisipatif daripada lima gadis yang bodoh. Lima gadis yang bijaksana itu mempersiapkan dirinya jauh lebih baik daripada lima gadis yang bodoh.
Lima gadis yang bijaksana membawa pelita dan juga minyak dalam buli-buli mereka. Tindakan ini jelas memperlihatkan kecerdasan lima gadis yang bijaksana itu. Mereka telah berpikir satu langkah lebih maju daripada kelima gadis yang bodoh. Dengan bertindak demikian, mereka sudah mengantisipasi kemungkinan buruk yang akan terjadi selama masa penantian, yakni kehabisan minyak. Dalam konteks ini, kita dapat mengasumsikan bahwa kesepuluh gadis itu sama-sama tidak mengetahui kapan sang mempelai itu datang. Karena tidak memiliki kepastian mengenai kapan pengantin pria itu datang, kelima gadis yang bijaksana tersebut pun menempuh sebuah cara yang juga bijaksana. Mereka menyiapkan minyak cadangan untuk berjaga-jaga. Apabila pelita mereka mulai redup, minyak cadangan itu bisa digunakan. Ketika sang mempelai itu datang, sikap dan tindakan berjaga-jaga mereka ini diapresiasi olehnya. Karena sikap dan tindakan yang bijaksana itu, mereka lalu dinilai sebagai orang yang layak untuk menyambut dan menyongsong dia. Oleh karena itu, sang mempelai akan memperkenankan mereka mengambil bagian dalam kebahagiaannya. Mereka diberi kesempatan untuk masuk dalam ruangan perjamuan nikah sang mempelai.
Sementara itu, gadis yang bodoh sama sekali tidak menyiapkan minyak cadangan. Sesungguhnya, dengan bertindak demikian, mereka seolah-olah mengetahui secara pasti kapan sang pengantin pria itu datang. Karena sikap mereka yang sok-tahu tersebut, mereka menjadi lalai dan lengah. Ketika sang mempelai datang pada saat yang tidak disangka-sangka, kelalaian mereka itu pun berakibat fatal. Pelita mereka mulai redup karena kekurangan minyak. Bagi sang tuan, hal ini tentu menggambarkan ketidaksiapan mereka dalam menyambut dan menyongsong dia. Akibatnya, mereka tidak diperkenankan untuk memasuki ruangan perjamuan kawin sang mempelai. Kehadiran mereka ditolak. Penolakan tersebut dinyatakan secara tegas dengan berkata: “…sesungguhnya aku tidak mengenal kamu” (bdk. Mat. 25:12).
Terkait hal yang terakhir ini, kita dapat bertanya: mengapa sang mempelai tidak mengenal mereka, padahal kelima gadis yang bodoh itu, bersama-sama dengan kelima gadis yang bijaksana, sudah begitu lama menantikan sang mempelai? Kita tentu tidak dapat menemukan jawaban atas pertanyaan ini di dalam perumpamaan tersebut. Akan tetapi, berdasarkan penalaran yang sederhana, kita secara sepintas dapat memberikan jawaban yang meyakinkan. Kesepuluh gadis itu memang sudah lama menunggu kedatangan sang mempelai, bahkan tertidur pulas karena merasa letih. Akan tetapi, ketika sang mempelai itu datang, kelima gadis yang bodoh itu sudah tidak lagi ada bersama-sama dengan kelima gadis yang bijaksana. Mereka harus pergi membeli minyak karena pelita mereka mulai redup. Di sinilah letak masalahnya. Sang mempelai hanya mengenal orang-orang (kelima gadis yang bijaksana) yang datang menyongsong dia ketika ia datang. Sang mempelai pastinya menaruh respek terhadap orang-orang yang selalu siap untuk menyambut kedatangannya. Sang mempelai akan menilai mereka sebagai orang-orang yang senantiasa bersikap waspada dan antisipatif di hadapan pelbagai kemungkinan yang akan terjadi. Mereka tidak sok-tahu. Ketidak-sok-tahuan mereka itu justru menjadikan mereka bijaksana. Inilah inti perkaranya: ketidakpastian harus dihadapi dengan sikap berjaga-jaga.
Selain hal yang telah dijelaskan di atas, penulis juga menemukan hal menarik lain dalam perumpamaan ini. Hal tersebut terkait dengan tanggapan kelima gadis yang bijaksana atas permintaan kelima gadis yang bodoh. Ketika pelita mereka mulai redup, kelima gadis yang bodoh meminta supaya minyak cadangan yang dipersiapkan oleh kelima gadis yang bijaksana itu dibagi dua. Akan tetapi, permintaan tersebut ditolak secara halus oleh kelima gadis yang bijaksana itu. Mereka malah menganjurkan supaya kelima gadis yang bodoh itu pergi membeli minyak.
Menurut penulis, penolakan tersebut justru memperlihatkan kebijaksanaan kelima gadis yang bijaksana itu. Penulis mengajukan sebuah alasan sederhana. Ketika minyak itu dibagi dua, persediaan minyak tersebut tidak akan cukup untuk kesepuluh gadis itu. Gadis-gadis yang bijaksana itu sendiri telah mengatakannya: “Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu” (Mat. 25:9). Jika mereka tetap bersikeras memberikannya, maka tindakan mereka tersebut sama saja dengan tindakan kelima gadis yang bodoh itu. Akibatnya, ketika sang mempelai itu datang, ia akan melihat bahwa tidak ada dari antara mereka yang siap untuk menyongsong dia. Oleh karena itu, tidak satu pun juga dari antara mereka yang akan diperkenankan untuk memasuki dan mengambil bagian dalam perjamuan nikah sang mempelai. Kesepuluh gadis itu akan dihukum.
Mat. 25:13: Perintah untuk Berjaga-jaga
“Berjaga-jagalah, sebab kalian tidak tahu akan hari maupun akan saatnya”. Sebenarnya, Mat. 25:13 ini merupakan bagian akhir dari perikop tentang perumpamaan mengenai lima gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh. Akan tetapi, penulis secara sengaja ‘memisahkannya’ dari perikop tersebut. Kata ‘memisahkan’ bukanlah berarti bahwa ayat ini memiliki makna yang sama sekali berbeda dari perikop induknya. Yang penulis maksudkan dengan kata ‘memisahkan’ adalah menempatkannya secara berbeda karena kekhasannya. Menurut penulis, kekhasan ayat ini adalah menjadi pusat dari keseluruhan perumpamaan tentang penghakiman terakhir. Sebagai pusat, ia tentunya harus diposisikan di tengah-tengah. Ia menjadi sentral yang menghubungkan dua perikop besar yang satu (bdk. Mat 24:45-25:12) dengan dua perikop besar yang lain (Mat. 25:14-46). Jadi, ayat yang sederhana ini memiliki keterkaitan erat dengan semua perikop yang berbicara tentang wejangan eskatologis, sebagaimana yang termuat dalam Matius 24:45-25:46.  
Perintah untuk berjaga-jaga sesungguhnya telah disinggung oleh Yesus pada perikop sebelumnya. Dalam Mat. 24:36-44, mengenai penghakiman terakhir, dikatakan bahwa tidak ada yang tahu kapan harinya dan jamannya. Para malaikat dan bahkan Anak (Yesus sendiri) pun tidak mengetahuinya. Hanya Allah Bapa saja yang mengetahui dengan pasti kapan hari penghakiman itu tiba. Oleh karena itu, sikap yang paling bijak dalam menghadapi situasi ketidakpastian adalah waspada, berjaga-jaga, bersiap-siap, dan sikap antisipatif. “Jadi, waspadalah, sebab kalian tidak tahu kapan Tuhanmu itu akan datang” (Mat. 24:42). “Sebab itu, kalian juga harus bersiap-siap. Karena Anak Manusia akan datang pada saat yang tidak kalian sangka-sangka” (Mat. 24:44).
Kedatangan Tuan dan Tindakan serta Nasib Hamba yang Baik-Setia dan yang Jahat-Malas (Mat. 25:14-30)
Perikop ketiga ini memiliki kaitan yang erat dengan perikop kedua (B dengan B’). Jika pada perikop pertama (A) terdapat hamba yang setia-bijaksana, dan perikop kedua terdapat hamba yang bijaksana (B), maka dalam perikop ketiga ini dimunculkanlah hamba yang berkarakter setia (B’). Jadi, hal menarik yang ditemukan di sini adalah bahwa hamba yang berkarakter setia-bijaksana dalam perikop A, diuraikan secara berbeda dalam masing-masing perikop B dan B’.
Sama seperti dua perikop sebelumnya, sistematika penjelasan terhadap perikop ini diawali dengan mengedepankan tiga tokoh penting: tuan, hamba yang baik-setia, dan hamba yang jahat-malas. Baik hamba yang baik-setia, maupun hamba yang jahat-malas itu diserahi tugas dan tanggung jawab yang sama. Kepada mereka, sang tuan memberikan talenta sesuai dengan kesanggupan mereka masing-masing. Yang seorang diberi lima talenta, yang seorang lagi diberi dua talenta, dan yang lainnya diberi satu talenta.
Mereka diminta untuk mengembangkan talenta-talenta tersebut. Hamba yang diberi lima dan dua talenta mengembangkan talenta-talenta tersebut sebanyak lima dan dua talenta juga. Dengan demikian, mereka masing-masing sudah memiliki sepuluh dan empat talenta. Mereka inilah yang lalu disebut sebagai hamba yang baik-setia. Akan tetapi, hamba yang diberi satu talenta itu sama sekali tidak mengembangkannya. Ia malah pergi menguburkan talenta itu sambil menunggu tuannya kembali untuk menyerahkan lagi talenta itu kepadanya.
Apabila hamba tersebut mengembangkan satu talenta itu sebanyak satu talenta lagi, maka ia dapat memiliki dua talenta. Akan tetapi, karena ia tidak melakukannya, ia pada akhirnya tidak memiliki dan mendapatkan apa-apa. Bahkan, satu talenta yang sebelumnya diserahkan kepadanya diambil oleh sang tuan untuk diberikan kepada hamba yang telah berhasil mengembangkan lima talenta. “Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya” (Mat. 25:28-29). Hamba yang bersikap demikian ini lalu dinilai sebagai hamba yang jahat.
Hamba yang baik tentu menerima yang baik pula. Mereka telah setia dalam perkara-perkara yang kecil, mereka pasti setia juga dalam perkara-perkara besar. Sebagai bentuk apresiasi atas kesetiaan mereka, sang tuan lalu memperkenankan mereka untuk masuk dan turut berbahagia bersama dia. Sementara itu, hamba yang jahat mendapat ganjaran setimpal. Ia akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap tangis dan kertak gigi.
Menurut penulis ada dua hal menarik yang dapat ditemukan dalam perikop ini. Pertama, seandainya ketiga hamba itu mengembangkan semua talenta yang dimilikinya, maka total talenta yang ada ialah 16 buah. Angka 16 merupakan bilangan genap. Kedua, mereka yang diberi 5 dan 2 talenta mengembangkan talenta-talenta itu sejumlah angka yang sama, yakni 5 dan 2 juga. Pertanyaannya ialah mengapa tidak dikembangkan lebih dari angka-angka itu, misalnya mengembangkan talenta-talenta itu menjadi 6 dan 3? Sebaliknya, penulis tidak akan bertanya tentang mengapa para hamba itu tidak mengembangkan talenta-talenta tersebut kurang dari angka 5 dan 2, sebab jikalau mereka hanya mengembangkan beberapa saja dari keseluruhan talenta yang mereka miliki, mereka bukan lagi hamba yang baik. Masih terdapat beberapa talenta yang tentunya tidak mereka kembangkan, padahal sang tuan meminta mereka untuk mengembangkan semua talenta yang telah ia berikan kepada mereka.
Sebenarnya, apabila ditinjau dari segi bilangan, kita dapat menemukan beberapa hal menarik dari keempat perikop yang berbicara tentang penghakiman terakhir. Misalkan saja, dalam perikop pertama (Mat. 24:45-51), kita melihat dua orang hamba yang diangkat tuannya untuk menjadi mandor bagi hamba-hamba yang lainnya. Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan, yang seorang itu setia dan bijaksana dalam menjalankan pekerjaannya, sedangkan yang seorangnya lagi tidak. Dalam perikop kedua (Mat. 25:1-12), kita juga melihat sepuluh gadis yang sedang menantikan sang mempelai. Lima orang di antaranya bijaksana, sedangkan lima gadis yang lainnya itu bodoh. Dalam perikop ketiga (Mat. 25:14-30) terdapat tiga orang hamba. Akan tetapi, pembagiannya sekarang sedikit berbeda dari kedua perikop sebelumnya. Ada dua orang hamba yang bertingkah laku baik, sedangkan yang seorangnya lagi bertingkah laku buruk. Sementara itu, pada perikop keempat (Mat. 25:31-46), dikatakan bahwa sang gembala memisahkan kambing dan domba. Kambing dan domba itu singular, sebab tidak dikatakan kambing-kambing atau domba-domba. Meskipun demikian, kambing yang singular itu mewakili mereka yang terkutuk, sedangkan domba yang juga singular mewakili mereka yang terberkati. Kata “Mereka” tentu merujuk pada bilangan plural, bukan? Dalam tulisan ini, penulis tidak hendak menelaah lebih jauh makna sebenarnya dari permainan bilangan-bilangan ini. Penulis hanya berupaya menampilkan salah satu ‘kekayaan’ nilai yang dapat kita temukan dalam keempat perumpamaan ini.
Kedatangan Anak Manusia dan Tindakan serta Nasib Mereka yang Terberkati dan yang Terkutuk (Mat. 25:31-46)
Menurut penulis, perikop ini tidak hanya menjadi bagian penutup, tetapi juga menjadi kesimpulan dari seluruh wejangan eskatologis yang termuat dalam Mat. 24-25. Perikop-perikop sebelumnya dikemukakan hanya untuk mempertegas perikop yang terakhir ini. Atas dasar itu, penulis lalu mengambil kata-kata dari perikop ini untuk memberi judul pada keseluruhan perumpamaan mengenai penghakiman terakhir yang termuat dalam Mat. 25: “Kedatangan Anak Manusia dan Pemisahan Mereka Yang Terberkati dari Yang Terkutuk”.
Dalam perikop ini, situasi dan kondisi serta suasana pada saat penghakiman terakhir digambarkan dengan jelas, tetapi tampak mencekam. Di sana dikatakan bahwa hari penghakiman adalah hari di mana Sang Anak Manusia datang untuk kedua kalinya (parousia). Sebagai seorang Raja, Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya bersama dengan para malaikat. Setelah itu, ia akan mengumpulkan semua bangsa di hadapan-Nya. Sang Raja itu memisahkan semua bangsa menjadi dua jenis kumpulan: "sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing".
Terkait yang terakhir ini, kita dapat bertanya: mengapa semua bangsa harus diumpamakan dengan domba dan kambing? Menurut beberapa penafsir, ungkapan ini mencerminkan kehidupan para gembala kambing dan domba di Palestina. Kambing Palestina biasanya berbulu hitam atau kombinasi hitam dan putih, bulunya lurus dan tidak tebal. Domba adalah binatang seperti kambing, tetapi memiliki bulu putih keriting dan tebal. Domba dalam istilah tertentu disebut sebagai "kambing berbulu tebal".
Selama siang hari, domba dan kambing digembalakan bersama. Akan tetapi, pada malam hari, kedua kelompok hewan ini harus dipisahkan. Domba-domba lebih suka tidur di udara terbuka, sebab bulu mereka begitu tebal. Sementara itu, kambing-kambing perlu dimasukkan ke dalam kandang. Mereka harus mendapatkan kehangatan pada malam hari, sebab bulunya memang tipis. Kehangatan yang diperoleh kambing-kambing itu ternyata berpengaruh juga terhadap bertambahnya kualitas susu yang akan dihasilkannya. Kita perlu mengetahui bahwa orang-orang Palestina lebih memilih susu kambing untuk diminum daripada susu domba.
Jika demikian halnya, maka kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan menarik: mengapa Matius mengumpamakan orang-orang jahat dengan kambing, sementara orang-orang baik dengan domba, padahal kedua binatang piaraan itu sama-sama berguna? Misalkan saja, domba dapat dikuliti dan bulunya dapat dipakai untuk menghangatkan badan pada musim dingin. Kambing menghasilkan susu segar yang menyehatkan, sehingga dapat diminum dan menambah gizi tubuh. Apa perbedaan mendasar antarkeduanya, sehingga kambing ‘layak’ diumpamakan dengan orang jahat, sementara domba ‘layak’ diumpamakan dengan orang-orang baik? Tolok ukur apa yang digunakan para penginjil? Penulis tidak ingin memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Penulis tetap membiarkan pertanyaan ini tetap terbuka, supaya kita menyadari dengan sungguh bahwa perikop ini ternyata mengandung begitu banyak kekayaan nilai yang perlu digali lebih dalam lagi.
Selanjutnya, orang-orang yang diberi label “domba” ditempatkan di sebelah kanan, sedangkan yang diberi label “kambing” ditempatkan di sebelah kiri. Dalam bahasa Semit, ungkapan "sebelah kanan" menggambarkan suatu posisi yang terhormat. Pertanyaannya ialah mengapa golongan domba begitu diistimewakan, dihormati, dan bahkan dinilai sebagai mereka yang terberkati? Dalam perikop ini, tercantum sejumlah alasan: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” (Mat. 25:35-36). Jawaban si Raja ini mengundang rasa ingin tahu para ‘domba’. Mereka kemudian bertanya lebih lanjut mengenai kapan mereka melakukan hal-hal tersebut (bdk. Mat. 25:37-39). Jawaban yang diberikan si Raja ternyata mengejutkan: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat. 25:40).
Dari jawaban sang Raja ini, kita dapat melihat bahwa sang Raja menyebut orang-orang malang yang perlu ditolong itu sebagai saudara-Nya. Ia bahkan mengidentikkan diri-Nya sendiri dengan mereka, sehingga apapun yang diperbuat kepada mereka sebenarnya diperbuat juga untuk sang Raja. Menurut tafsiran penulis, pengidentikkan diri sang Raja dengan mereka yang membutuhkan pertolongan dan perhatian khusus memperlihatkan cinta dan kerendahan hati-Nya yang besar. Oleh karena itu, siapapun yang memiliki cinta dan kerendahan hati yang besar dan karenanya melakukan perbuatan baik kepada semua orang, terutama mereka yang paling membutuhkannya, dianggap oleh sang Raja sebagai orang-orang baik yang layak dikaruniai tempat terhormat di sebelah kanan-Nya. Pada akhirnya, orang-orang baik itu menerima kerajaan yang telah disediakan bagi mereka sejak dunia dijadikan.
Paradoks terjadi pada golongan orang-orang yang ada di sebelah kiri-Nya, yaitu golongan kambing. Menurut sang Raja, mereka tidak bertingkah laku seperti golongan domba (lih. Mat. 25:42-43). Akibatnya, mereka pun dihukum. "Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya" (Mat. 25:41). Kata "terkutuk" diucapkan dengan maksud mendatangkan celaka atau hal buruk. Tempat celaka itu adalah "api yang kekal", suatu ungkapan metaforis bagi "neraka", yang disediakan untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya. Karena tindakan mereka yang tidak berkenan di hati sang Raja, para hamba yang jahat itu kini menjadi penghuni kerajaan Iblis.
Bertolak dari uraian di atas, dalam perikop ini tampak jelas adanya dialog atau tanya-jawab antara Sang Gembala dengan golongan kambing-domba. Yang didialogkan sesungguhnya adalah apa yang telah dilakukan oleh masing-masing pihak. Mereka dimintai pertanggung jawaban atas segala perbuatannya. Akan tetapi, masalahnya ialah dapatkah disimpulkan bahwa penghakiman terakhir itu sesungguhnya adalah sebuah pertanggung jawaban atas segala tingkah laku? Menurut penulis, jawabannya: bisa ‘iya’, tetap bisa juga ‘tidak’! Alasannya sederhana, yaitu karena tidak ada seorang pun yang mengetahui jawaban yang pasti atasnya. Anak Manusia sekali pun bahkan tidak mengetahuinya. Jawaban yang pasti hanya diketahui oleh Allah Bapa saja.

Tafsiran Kritis atas Perumpamaan tentang Penghakiman Terakhir
Berdasarkan uraian konteks intratekstual di atas, inti terdalam dari nubuat tentang penghakiman terakhir adalah sikap berjaga-jaga. Kita dituntut untuk selalu berjaga-jaga, bersikap waspada, dan penuh antisipatif terhadap pelbagai kemungkinan yang akan terjadi. Inilah sikap yang bijak di hadapan ketidakpastian. Akan tetapi, penulis ingin mengajukan beberapa pertanyaan kritis terhadap inti perumpamaan ini. Sebenarnya, untuk siapakah perumpamaan tersebut? Siapakah yang harus selalu berjaga-jaga? Para pengikut Tuhan, orang-orang Kristiani ataukah justru semua orang, tanpa memandang perbedaan agama? Atau mungkinkah perumpamaan ini hanya ditujukan untuk para murid atau pengikut Kristus yang selalu merasa diri sebagai orang-orang yang terberkati?
Penulis hendak menawarkan sebuah tafsiran sederhana untuk menjawab pertanyaan kritis ini. Menurut tafsiran penulis, perumpamaan ini ditujukan untuk semua orang. Penulis berpegang pada Mat. 24:32. Ketika Anak Manusia datang sebagai Raja dengan segala kemuliaan-Nya, ia akan mengumpulkan semua bangsa di hadapan-Nya dan memisahkan mereka satu demi satu. Terminologi "semua bangsa" tentu merujuk kepada semua orang di bumi dari segala zaman.
Dalam ketiga perikop yang lain memang dikatakan bahwa tuan hanya mengenal dan berkenan terhadap hamba-hambanya yang baik, setia, dan bijaksana. Akan tetapi, perlu diingat bahwa hamba-hamba si tuan itu bukan hanya mereka yang berkarakter baik saja, melainkan juga yang berkarakter jahat, buruk, dan pemalas. Dengan demikian, terminologi ‘semua orang’ sebenarnya merujuk kepada semua hamba, baik yang sifat dan tindakannya berkenan pada hati sang tuan, maupun yang sifat dan tindakannya menyakiti hati sang tuan. Dengan kata lain, terminologi ‘semua orang’ bukan hanya merujuk pada mereka yang telah mengenal Kristus, melainkan juga mereka yang sama sekali tidak mengenalnya, baik karena mereka telah menganut kepercayaan lain, maupun karena mereka memang belum pernah mendengarkan pewartaan tentang Kristus sebagai Penyelamat satu-satunya.
Pada hari penghakiman, semua orang atau semua hamba itu akan dikumpulkan. Hamba yang baik akan dipisahkan dari hamba yang jahat. Mereka yang sejak semula senantiasa bersikap waspada dan penuh antisipatif akan dipisahkan dari mereka yang selalu bersikap ceroboh. Dari perspektif moral, mereka yang senantiasa bersikap waspada dapat ditafsirkan sebagai mereka yang cenderung berbuat baik kepada sesama, tanpa memandang latar belakang suku, agama, dan ras. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, paham bahwa hanya para pengikut Kristus saja yang diselamatkan tidak lagi berlaku, sebab ternyata di luar Gereja pun masih ada keselamatan. Pada akhirnya, yang berkarakter baik akan mendapatkan hal yang baik: mengambil bagian dalam kebahagiaan tuannya. Yang berkarakter jahat mendapatkan yang jahat pula sebagai hukumannya: dicampakkan ke dalam api yang kekal. Di sanalah akan terdengar ratapan dan kertakan gigi.  
Tafsiran penulis di atas bukanlah harga mati. Penulis tetap membiarkan pertanyaan kritis ini terbuka. Pelbagai penafsiran kritis untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa juga diberikan dari perspektif yang lain. Hal ini penting, sebab penulis tidak ingin jatuh pada pandangan yang serba moralistik, yakni sebuah pandangan sempit yang cenderung mengarah pada justifikasi terhadap kelompok-kelompok tertentu. Siapakah yang berani mengatakan bahwa perumpamaan ini ditujukan kepada mereka yang tidak mengenal Kristus? Kita tentu saja tidak ingin menjadi hakim bagi yang lain, “sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan juga kepadamu” (Luk. 6:38). Hakim yang sejati hanyalah Allah saja. Hari di mana Ia datang untuk menghakimi semua orang pun hanya Dia sendiri yang mengetahuinya. Oleh sebab itu, sebagai ciptaan-Nya, yang dituntut dari semua manusia adalah bersikap antisipatif dalam hidup. Sikap berjaga-jaga justru menampakkan iman yang dalam akan Dia. Sikap berjaga-jaga juga menjadi suatu kualitas hidup di mana para murid Kristus harus melakukannya.

Sumber pendukung:
Bergant, Dianne dan Robert J. Karris (Edit.). Lembaga Biblika Indonesia: Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...