Filsafat
Teknologi Heidegger[1]:
Tinjauan
Kritis Heidegger terhadap Teknologi Modern
dalam
Bingkai Kerusakan Ekologis dan Krisis Kemanusiaan
Teknologi
merupakan topik yang sangat penting dalam pemikiran Heidegger. Selain
mempertimbangkan teknologi sebagai permasalahan ontologis, ia bahkan menjadikan
teknologi sebagai pokok sentral dalam filsafat. Meskipun demikian, Heidegger
tetap memiliki pandangan kritis, terutama terhadap teknologi modern. Baginya,
teknologi modern cenderung berorientasi negatif terhadap alam (Ge-stell).
Cara pandang yang instrumentalistik terhadap alam ini berimbas juga pada cara
pandang yang sama terhadap manusia itu sendiri. Manusia pun dipandang sebagai
sumber daya. Namun, teknologi tidak
melulu berdampak buruk. Di dalam hakikat teknologi yang
bersifat mendua ternyata
terdapat juga suatu daya
penyelamatan. Pembingkaian yang kreatif membuat teknologi menyelamatkan
manusia. Bertolak dari paradigma Albert Borgmann, penulis mencoba menjelaskan
filsafat teknologi Heidegger yang teramat sulit tersebut. Untuk
itu, penulis terlebih
dahulu mengulas esensi teknologi menurut Heidegger yang
menjadi titik tolak kritikannya terhadap teknologi modern.
Esensi Teknologi Menurut Heidegger
Dalam The Questions Concerning Technology, Heidegger
membahas dan menyingkapkan esensi teknologi yang tidak bersifat teknologis.[2]
Penyingkapan itu dilakukan untuk membantu kita menjalin suatu hubungan yang bebas
dan bertanggung jawab dengan teknologi. Ketika
hubungan yang
bebas dan bertanggung jawab dengan teknologi itu terjalin, kita
mampu membuka eksistensi kita terhadap hakikat teknologi. Dengan demikian, kita juga dapat
menanggapi hakikat teknologi secara tepat. Selain
itu, dengan mengetahui dan memahami esensi teknologi, kita
diharapkan mampu mengalami teknologi dalam batas-batasnya sendiri dan bahkan
berupaya melampaui batas-batas tersebut.
Pada prinsipnya, dengan
menyelidiki landasan ontologis teknologi, Heidegger berusaha membebaskan
teknologi itu sendiri dari pandangan-pandangan keliru yang bersifat subyektivistik
dan instrumentalistik serta menjadikannya persoalan pokok filsafat.[3]
Menurut Heidegger, esensi teknologi terkait erat dengan eksistensi manusia. Konsep
ini bertolak dari pandangannya sendiri mengenai teknologi. Ia mengartikan
teknologi lebih sebagai suatu cara pandang dan pengalaman yang membentuk cara
kita bertindak, cara kita menggunakan alat, dan cara kita berhubungan dengan
dunia kehidupan. Oleh karena itu, yang ia soroti bukanlah teknologi an sich ataupun bentuk-bentuk teknologi,
melainkan orientasi kita pada teknologi. Dalam hal inilah, dimensi praktis dari
teknologi menjadi
sangat jelas.
Heidegger kemudian berpendapat
bahwa untuk dapat menyingkap fenomena teknologi, teknologi harus terlepas dari
pandangan yang semata-mata instrumental dan antropologis. Pandangan yang
instrumental berarti melihat teknologi sekadar sebagai alat, manufaktur, mesin
atau pelbagai sarana untuk mencapai tujuan, sedangkan pandangan yang
antropologis berarti melihat teknologi hanya sebagai aktivitas manusia belaka. Kedua
definisi ini memang dapat disatukan, sebab mencapai tujuan dengan memanfaatkan
sarana adalah kegiatan manusia. Dengan demikian, pembuatan dan pemanfaatan
peralatan, alat dan mesin, benda yang dihasilkan dan digunakan, serta kebutuhan
dan tujuan yang dipenuhinya, semuanya termasuk dalam pengertian teknologi. Singkatnya,
seluruh perangkat pelik yang dirancang untuk tujuan tertentu memang suatu contrivance/instrumentum.[4] Meskipun
kedua definisi itu benar, namun bagi Heidegger, pandangan-pandangan ini sangatlah
dangkal, tidak memadai, dan menjadikan teknologi melulu sebagai instrumen dari
sains. Definisi-definisi ini mengimplikasikan bahwa teknologi hanyalah ciptaan
subyek dan berfungsi sebagai instrumen yang netral.
Heidegger lebih lanjut menyatakan
bahwa pandangan terhadap teknologi baik secara instrumental, maupun antropologis
tersebut “is correct, but not true”.[5]
Apa yang betul hanyalah benar dalam arti tertentu saja, yakni benar dalam
bagian tertentu saja atau benar dalam arti yang terbatas (kebenaran yang
parsial). Sementara itu, kebenaran bagi Heidegger adalah ketidaktersembunyian (aletheia) yang dimunculkan lewat
penerangan (Lichtung)[6]
atau penyingkapan (revealing). Itulah
sebabnya, “he proposes to get to the true
sense via the correct sense”.[7]
Artinya, agar mencapai kebenaran, penglihatan kita harus melampaui apa yang
betul karena apa yang betul selalu didasarkan pada suatu struktur
ketersingkapan yang menentukan apa yang betul itu.
Heidegger lalu berpendapat
bahwa teknologi bukanlah persoalan ontis, melainkan persoalan ontologis. Secara
ontologis, teknologi merupakan upaya kebenaran menyingkapkan dirinya atau merujuk
pada latar belakang benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang memunculkan diri
dengan cara tertentu. Dengan demikian, secara ontologis, teknologi bukan hanya
sekumpulan instrumen atau aktivitas teknologis, melainkan juga suatu cara
pengungkapan kebenaran atau suatu wilayah di mana entitas dan aktivitas muncul
seperti adanya. Teknologi muncul dalam wilayah di mana penyingkapan (revealing) dan ketidaktersembunyian (unconcealment) berlangsung, di mana aletheia dan kebenaran terjadi.[8]
Heidegger kemudian mempertanyakan kaitan
antara esensi teknologi dengan penyingkapan kebenaran. Ia sendiri berpandangan
bahwa kaitan antarkeduanya adalah segala-galanya, karena setiap
mengemukakan-ke-hadapan (Her-vor-bringen,
bringing-forth) didasarkan atas
penyingkapan. Akan tetapi, bagaimana ia
akhirnya menyimpulkan bahwa teknologi adalah suatu penyingkapan kebenaran?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Heidegger memulai pembahasannya dengan merujuk
pada yang ontis, yakni teknologi dilihat dari sudut pandang instrumental. Hal
ini berarti kita mempertanyakan dalam kondisi apa sesuatu itu menjadi ‘sarana’
dan ‘tujuan’. Sarana tidak lain adalah suatu cara yang melaluinya sesuatu
dipengaruhi dan dicapai, sementara sebab merupakan sesuatu yang memiliki efek
sebagai konsekuensinya.[10]
Karena
teknologi dipandang sebagai instrumen, maka ia pastinya memiliki efek yang
tertentu dan terkait erat dengan dinamika sebab-akibat. Heidegger menjelaskan
persoalan ini dengan mengajukan contoh piala perak untuk menguraikan empat
‘sebab’ yang berasal dari Aristoteles. Keempat sebab itu adalah sebab materi,
yakni bahan perak yang digunakan untuk membuat piala perak itu. Sebab formalnya
adalah kepialaan perak yang digunakan untuk mengisi suatu cairan, seperti air
anggur. Sebab finalnya ialah piala itu dibuat untuk dipakai misalnya, dalam
perayaan ekaristi. Sementara itu, yang menjadi sebab efisiennya adalah tukang
piala.
Keempat
sebab ini saling berhutang dan bertanggung jawab satu sama lain. Perak
bertanggung jawab bagi adanya cawan dan cawan berhutang kepada perak. Perak
menjadi cawan karena ada eidos kecawanan,
tetapi terutama karena ada sasaran (telos)
yang mau dicapai, yakni cawan persembahan, serta adanya logos atau pengrajin yang menimbang dengan seksama dan menyatukan
ketiga tanggung jawab dan keberhutangan di atas.
Pandangan
ini juga bertolak dari pemahaman Heidegger sendiri tentang
pengertian etimologis teknologi. Menurutnya, teknologi berasal dari kata Yunani
techne yang artinya tidak hanya
merujuk pada aktivitas dan keahlian menukang dengan tangan, tetapi juga merujuk
pada seni pikiran (the arts of the mind)
dan seni halus (fine arts). Dalam
Yunani kuno, istilah techne ini dihubungkan dengan episteme. Keduanya sama-sama melibatkan
pengetahuan. Jika techne melibatkan
pengetahuan praktis, episteme melibatkan
pengetahuan teoretis.
Pengetahuan membawa
suatu penyingkapan atau penerangan (Lichtung).
Techne menyingkapkan apa yang tidak
dapat mengemukakan-dirinya-ke-hadapan (bringing-forth)
dan apa yang belum berada di depan kita. Apa yang menentukan techne bukanlah proses pembuatan,
melainkan penyingkapan. Di dalam penyingkapan, techne merupakan sebentuk mengemukakan-ke-hadapan (bringing-forth). Misalkan saja, seorang tukang
membuat piala dengan keahlian tangannya merupakan penyingkapan yang melaluinya
piala itu dimunculkan ke hadapan,
atau dengan bantuan teknologi tersingkaplah bahwa sungai Ciliwung ternyata
dapat menjadi energi air pembangkit tenaga listrik.
Jadi, techne merupakan
satu cara di mana benda-benda dibantu untuk muncul dan dikemukakan ke hadapan
sehingga tersingkap. Dalam hal ini, dimensi praksis dari fenomenologi Heidegger
terlihat jelas.
Penyingkapan Teknologi Modern
Teknologi
modern bukanlah seni tangan (work of
craftmanship), melainkan
suatu penyingkapan. Terkait hal ini, Borgmann menulis: “He (Heidegger) describes the particular mode of disclosure that is
technology and, very importantly, the revealing that modern technology
constitutes”.[11]
Pendeskripsian tersebut menekankan lima istilah kunci dari filsafat
teknologinya, yakni challenges
(herausforden), positions (stellen), orders (bestellen), resource (der Bestan) dan
the framework (das Gestell). Kelimanya
merupakan bentuk penyingkapan dominan dalam teknologi modern.
Penyingkapan
yang dominan dari teknologi ini menuntut alam secara berlebihan. Alam dipaksa dan ditantang, serta dilihat
sebagai persediaan (Bestand, standing
reserve) yang dapat diambil, disimpan, dan digunakan. Alam dipandang bukan sekadar sebagai cadangan bahan
baku, melainkan sumber daya yang siap dihadirkan ke hadapan kita. Misalkan saja
dalam kasus pertambangan di Manggarai-Flores atau di Papua, bumi ditantang dan
disingkapkan sebagai persediaan mineral. Sementara dalam kasus kincir angin
kuno, alam memang tidak ditantang dan dikuasai, namun yang disingkapkan di sana
adalah energi angin, yakni menunggu angin untuk memutar baling-baling.
Teknologi modern mengisap dan menguasai alam untuk
hasil yang maksimal, tetapi dengan biaya yang minimal dan tanpa rasa hormat
terhadap alam itu sendiri, seperti para petani zaman dulu yang merawat tanah
dan membiarkan tanaman bertumbuh seturut musimnya tanpa harus menggunakan pupuk
kimia. Teknologi modern juga meniadakan obyek sebagai obyek. Obyek menjadi
sesuatu yang siap disingkap apa-nya dan bagaimana-nya (Bestand). Misalkan saja, pesawat yang berada di landasan pacu.
Seluruh rancangannya menyingkapkan pesawat sebagai obyek yang memungkinkan
transportasi udara.
Oleh
Heidegger, cara pandang seperti di
atas disebut sebagai Ge-stell
(enframing), yakni membingkai.[12]
Sebagai penyingkapan, teknologi muncul dalam proses membingkai, yakni suatu
cara yang sistematik dalam memandang dunia secara terbatas. Ge-stell menjadi bingkai sistematik yang menyingkapkan
kenyataan sebagai Bestand. Dengan
membingkai, seluruh bumi dilihat sebagai persediaan dan alam dilihat sebagai
sumber energi untuk kegunaan instrumental manusia. Dalam pembingkaian,
ketidaktersembunyian disingkapkan di mana teknologi modern menyingkapkan yang
real sebagai persediaan.
Kerusakan Ekologis dan Krisis Kemanusiaan sebagai Implikasi
Pembebasan
teknologi dari pandangan yang subyektivistik dan instrumentalistik merupakan sebuah
antisipasi. Bagaimanapun juga, pandangan yang keliru itu berimplikasi buruk
tidak hanya bagi kehidupan manusia itu sendiri, tetapi juga alam ciptaan.
Heidegger menyadari hal ini sejak awal. Itulah sebabnya ia mengingatkan kita
untuk tidak melihat teknologi semata-mata sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Pandangan yang keliru jelas memengaruhi cara berpikir kita sehingga berdampak pula pada perubahan
orientasi kita, terutama terhadap alam. Kita kemudian melihat alam melulu
sebagai persediaan. Selanjutnya,
kita mulai menciptakan berbagai alat teknologi untuk
dapat mengambil, menyimpan, dan menggunakan potensi-potensi yang alam miliki.
Penerapan ilmu dan
teknologi modern semakin
meningkatkan hasrat untuk menguasai, mula-mula alam, kemudian manusia sendiri.
Alam menjadi sasaran garapan dan rebutan, padahal sumber daya alam dan yang
terperbaharui relatif terbatas.[13]
Keadaan seperti inilah yang mempercepat kemusnahan manusia. Tindakan merusak
alam yang dilakukan secara masif dan terstruktur membawa manusia pada jurang
kebinasaan.
Pemanfaatan
alam secara berlebihan jelas berdampak pada kerusakan alam itu sendiri. Itulah
yang telah terjadi, misalnya dalam dunia pertambangan. Pertambangan menantang
bumi untuk menghasilkan biji logam. Untuk mendapat lebih banyak biji logam,
manusia (dengan alat-alat teknologi yang telah diciptakan) mengeruk perut bumi
dalam skala yang sangat besar. Bumi diobrak-abrik secara tidak bertanggung
jawab, padahal persediaan bumi itu sendiri begitu terbatas. Sama pula halnya
dengan ilegal logging. Demi kepentingan
ekonomis, pembakaran dan penggundulan hutan terjadi di mana-mana, sehingga tidaklah heran apabila Indonesia kerap kali
dilanda oleh bencana asap dan tanah longsor.
Akibatnya, baik manusia maupun binatang mendapat imbas dari kerusakan alam
tersebut. Binatang kehilangan tempat tinggalnya, sementara ribuan manusia,
terutama kaum miskin menderita berbagai penyakit aneh karena bahan-bahan kimia
yang telah menjadi polusi. Demikian
pula dengan pemanasan global yang terjadi karena pelepasan zat karbondioksida
secara berlebihan ke udara melalui asap kendaraan dan pabrik-pabrik. Kerugian-kerugian
yang timbul dari pengrusakkan terhadap alam ini sangatlah dahsyat, dan bahkan
dapat menyebabkan kematian. De facto, peristiwa-peristiwa
tersebut telah terjadi, terutama sejak teknologi menguasai alam pikiran manusia
hingga abad ini.
Kerusakan alam sebenarnya merupakan gejala luar dari adanya
masalah yang lebih dalam, yaitu keterasingan dari alam. Mentalitas teknokratis
yang bersifat eksploitatif terhadap alam terlalu menekankan sifat instrumental
alam bagi manusia. Alam adalah obyek untuk dikuasai dan dimanfaatkan manusia.
Antroposentrisme yang memandang manusia sebagai puncak dan pusat ciptaan
terlalu memisahkan manusia dari makhluk-makhluk lain. Padahal, manusia pada
dasarnya adalah bagian dari alam. Para rekayasawan dan teknolog cenderung
berpikir dan menghadapi kenyataan hidup secara mekanis dan kurang dalam
kerangka ekologis.[14]
Pertanyaannya sekarang adalah apa bahaya dari cara
pandang terhadap dunia sebagai sumber daya atau persediaan? Bahaya terbesarnya
ialah manusia juga dipandang sebagai sumber daya. Masalah ini menjadi sangat nyata
dalam kasus perburuhan. Sebelum teknologi berkembang pesat seperti sekarang
ini, para buruh menjadi alat produksi utama. Tenaga mereka dieksploitasi secara
besar-besaran untuk menghasilkan barang-barang produksi dalam jumlah yang besar
pula. Ironisnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan upah buruh yang mencukupi.
Banyak dari antara mereka tetap hidup dalam kemiskinan, jauh di bawah rata-rata
angka kesejahteraan. Sementara itu, para pemilik modal semakin hidup mewah
dalam kelimpahan harta mereka. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila muncul
masalah-masalah sosial lainnya, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan,
pemerkosaan, terorisme, dsb. Semuanya itu merupakan bentuk reaksi negatif atas
ketidakadilan sosial dalam masyarakat.
Setelah teknologi berkembang pesat, masalah yang
menimpa kaum buruh menjadi sedikit berbeda. Keterasingan para pekerja pun
menjadi tema sentral. Di bawah sistem kapitalisme yang menekankan pemilikan
pribadi modal dan alat-alat produksi, kaum buruh terasing dari pekerjaan, diri,
dan sesama mereka. Mereka tidak lagi memiliki mesin-mesin sebagai alat kerja
mereka, tetapi justru mereka harus bekerja melayani mesin-mesin tersebut
seturut irama yang ditentukan oleh pemilik modal. Dalam hal ini, para buruh
berada dalam posisi yang lemah. Mereka tidak mempunyai pilihan lain, selain menjual
tenaga mereka sebagai komoditi. Kerja tidak dapat menjadi sarana perwujudan
diri mereka sebagai manusia, tetapi malah mengasingkan mereka dari pekerjaan
mereka, diri mereka sendiri, dan sesamanya.[15]
Penggunaan teknologi
modern juga dapat mengancam
keharmonisan masyarakat dunia. Betapa tidak, negara-negara maju berlomba-lomba
membekali diri dengan senjata-senjata canggih, terutama senjata-senjata biologis dan nuklir. Bukankah
hal ini dapat memicu lahirnya Perang Dunia III? Tindakan uji coba nuklir dan
peluncuran roket yang dilakukan oleh Korea Utara adalah contoh konkret
penyalahgunaan teknologi modern yang dapat
mengancam keharmonisan hidup manusia saat ini.
Contoh lainnya lagi ialah penyebaran
paham-paham radikal melalui jejaring internet yang getol dilakukan oleh para teroris, seperti ISIS. Orang-orang yang
tergiur oleh janji akan kebahagiaan di dunia dan akhirat, tidak perlu lagi pergi
jauh-jauh ke Suriah untuk mendengarkan kata-kata bijak para teroris, tetapi
dengan mengklik situs-situs yang direkomendasikan, mereka sudah bisa melakukan
apa yang perlu mereka lakukan sebagai anggota teroris.
Dalam konteks nasional, terutama di Jakarta saat ini,
tindakan tidak terpuji Buni Yani yang mengedit video pertemuan Gubernur
non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan masyarakat di
Kepulauan Seribu dan kemudian menyebarkannya melalui akun facebook menjadi contoh tersendiri. Di sana diperlihatkan kepada
kita tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang, karena terdorong oleh kepentingan
tertentu, lantas memanfaatkan teknologi sedemikian rupa untuk membuat orang lain
menderita. Mereka yang tidak bersalah dibuat menjadi bersalah. Mereka yang
tidak melakukan tindakan penistaan terhadap agama dibuat menjadi tersangka dan
terdakwa kasus penistaan agama. Ironis, bukan? Hal-hal ini merupakan akibat buruk
dari cara pandang yang instrumentalistik terhadap alam, yang kemudian merembes
pada cara pandang yang sama terhadap manusia, yakni memandang manusia sebagai
sumber daya. Namun, perlu diingat juga bahwa karena manusia sendiri memiliki
kebebasan dan karena itu dapat masuk ke dalam proses mengatur, ia tidak
sepenuhnya menjadi sumber daya seperti wujud lainnya. Manusialah yang memacu
teknologi dan mengambil bagian dalam teknologi sebagai penyingkapan.
Daya Penyelamatan Teknologi
Persoalaan pokok di atas tentu dapat kita kritisi
dengan bertanya: sungguhkah hakikat teknologi semata-mata membawa dampak buruk
bagi kehidupan manusia dan alam ciptaan? Tentu saja tidak, sebab hakikat
teknologi itu sendiri bersifat mendua. Di satu pihak, pembingkaian memang membahayakan
manusia, karena baik alam maupun manusia dipandang sebagai persediaan yang siap
digarap. Di lain pihak, pembingkaian yang kreatif justru membuat teknologi
menyelamatkan manusia. Menyelamatkan berarti membawa pulang, yaitu
mempersatukan sesuatu dengan hakikatnya.
Hal ini berarti Ge-stell
bukan hanya dipahami sebagai cara menyingkap alam dengan mengatur jalan yang
menantang alam ke hadapan kita, melainkan juga ketergantungan yang membuat kita
tenggelam dan merasa betah dalam dunia teknologis tanpa kita sendiri menyadari ketergantungan
itu. Meskipun demikian, Ge-stell
tidak hanya menantang-ke-hadapan, tetapi juga membawa-ke-hadapan. Di dalam
membawa-ke-hadapan itulah terletak kemungkinan penyelamatan. Artinya, di dalam
hakikat teknologi sebagai pembingkaian ada kekuatan penyelamatan. Jika manusia
mampu berada dalam hakikat pembingkaian yang lain (seperti, pemeliharaan dan
pelestarian), ia akan berhati-hati menyingkapi kemajuan teknologi. Ia tidak
memandang teknologi melulu sebagai obyek kekuasaan. Sebaliknya, ia bekerja sama
dengan teknologi, misalnya dalam hal menggarap tanah. Tanah digarap bukan untuk
dieksploitasi, melainkan untuk diolah agar berguna bagi manusia, sekaligus
merawat dan memelihara tanah sesuai dengan kapasitasnya sebagai tanah. Jadi,
bagi Heidegger penyelamatan bergantung pada kemampuan dan kemauan membangun
cara pandang terhadap ‘keterbukaan hakiki’ dalam teknologi. Hal ini tentu
tidaklah berarti bahwa Heidegger ingin agar kita semua menjadi seniman. Ia
hanya menganjurkan kita untuk melibatkan visi seni ke dalam pandangan terhadap dunia.
Dengan cara itu, ia yakin bahwa kita dapat berjaga terhadap bahaya pembingkaian
dan secara kritis mempertanyakan relasi kita dengan kebenaran.
Daftar
Pustaka
Borgmann, Albert. Technology dalam “A Companion to
Heidegger: Blackwell Companions to Philosophy” edited by Hubert L. Dreyfus dan
Mark A. Wrathall, (USA: Blackwell Publishing Ltd, 2005).
Hadirman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu
Pengantar Menuju Sein und Zeit (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2003).
Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology and Other
Essays (New York: Harper and Row, 1977).
Jacob, T. Manusia, Ilmu dan Teknologi: Pergumulan Abadi dalam Perang dan Damai
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988).
Lim, Francis. Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat
(Yogyakarta: Kanisius, 2008).
Pattison, George. Routledge Philosophy Guidebook to The Later
Heidegger (London and New York: Routledge, 2000).
Sudarminta, J. Dampak Teknologi bagi Kehidupan Manusia,
dalam DISKURSUS Vol.3, No.1 (Jakarta: STF Driyarkara, 2004).
[1] Tulisan ini diringkas,
dirangkum, dan dikembangkan dari:
Albert Borgmann, Technology, dalam “A
Companion to Heidegger: Blackwell Companions to Philosophy” edited by Hubert L.
Dreyfus dan Mark A. Wrathall, (USA: Blackwell Publishing Ltd, 2005), hal.
420-432. Sebagian dari tulisan ini juga sudah dimuat dalam blog
pribadi penulis: Kreativitas Pena
Fernando Nujun atau fernandonujun.blogspot.com
[2] Martin Heidegger,
The Question Concerning Technology and
Other Essays (New York: Harper and Row, 1977), hal. 4.
[3] Bandingkan, Francis Lim,
Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang
Dunia, Manusia, dan Alat (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 43.
[5] Albert
Borgmann, Technology, dalam “A
Companion to Heidegger: Blackwell Companions to Philosophy” edited by Hubert L.
Dreyfus dan Mark A. Wrathall, hal. 428.
[6] Sebenarnya,
kata Lichtung berarti “pembukaan atau
pembersihan hutan”. Akan tetapi, di sini Heidegger lebih mengaitkannya dengan Licht, yaitu cahaya, sehingga Lichtung juga dapat diartikan sebagai
“penerangan”. Lihat F. Budi Hadirman, Heidegger
dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), hal. 58.
[7] Albert
Borgmann, Technology, dalam “A
Companion to Heidegger: Blackwell Companions to Philosophy” edited by Hubert L.
Dreyfus dan Mark A. Wrathall, hal. 428.
[8] Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia,
Manusia, dan Alat, hal. 47.
[9] Pokok
bahasan ini dirangkum dan diolah dari Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, hal. 49-50.
[11] Albert
Borgmann, Technology, dalam “A
Companion to Heidegger: Blackwell Companions to Philosophy” edited by Hubert L.
Dreyfus dan Mark A. Wrathall, hal. 428.
[13] T.
Jacob, Manusia, Ilmu dan Teknologi:
Pergumulan Abadi dalam Perang dan Damai (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1988), hal. Xii.
[14] J.
Sudarminta, Dampak Teknologi bagi
Kehidupan Manusia, dalam DISKURSUS Vol.3, No.1 (Jakarta: STF Driyarkara,
2004), hal. 23.
Komentar
Posting Komentar