Langsung ke konten utama

Misiologi: Kristus Jalan satu-satunya Menuju Keselamatan



Kristus adalah Jalan Satu-Satunya Menuju Keselamatan

Baik pluralisme dialogis, maupun postmodernisme naratif sama-sama tidak mempercayai Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan. Keduanya berargumentasi bahwa Yesus Kristus hanyalah salah satu dari sekian banyak jalan menuju persekutuan dengan Allah. Sungguhkah Yesus merupakan jalan yang unik menuju keselamatan? Pertanyaan problematif inilah yang hendak dijawab, dipecahkan, dan diuraikan secara singkat dalam tulisan ini.
Ketika kita berbicara tentang keunikan Yesus Kristus, kita tidak sedang berbicara tentang keunikan agama Kristen, meskipun persoalan ini bisa juga dikaitkan dengan agama Kristen. Kekristenan sebagai sebuah sistem religius harus dinilai dari kesetiaannya pada pewahyuan biblis, secara khusus pewahyuan pribadi Yesus Kristus. Dalam sejarah ekonomi keselamatan manusia, keunikan identitas Allah secara sempurna tampak dalam diri, hidup, dan karya Yesus Kristus. Melalui perkataan dan perbuatan-Nya, Yesus sendiri memperlihatkan keunikan identitas Allah yang terintegrasi dalam diri-Nya itu (bdk. Mrk. 2:5, 10; Mat. 11:27; Yoh. 5:19-23; Mat. 14:33, 28:17; Yoh. 5:22-23, 20:28-29; Mat. 21:16; Luk. 20:18; Yoh. 8:12, 10:11; Mat. 25:31-46, 26:64; Yoh. 14:6; Mat. 26:65; Yoh. 5:17-18, dst). Atas dasar itulah, para rasul, setelah kematian dan kebangkitan-Nya, dengan berani mewartakan bahwa Yesus had made about himself. Ia memiliki kedaulatan penuh atas segala sesuatu. Ia adalah ciptaan ilahi yang paling unik dari semua ciptaan. Ia adalah Firman Allah yang menjadi manusia. Klaim para rasul ini merupakan pengakuan atas identitas ilahi yang unik dalam Yesus Kristus. Identitas Yesus yang unik itu lalu mendasari keyakinan para penulis PB mengenai keselamatan. Bagi mereka, keselamatan hanya berasal dari hidup, kematian, dan kebangkitan Yesus. Dialah satu-satunya jalan menuju keselamatan. Inilah pesan pokok dari PB.
Pewartaan para rasul mengenai identitas keilahian Yesus Kristus yang unik itu diteguhkan lagi oleh para misiolog di kemudian hari. Menurut mereka, Yesus belongs inherently to who God is. Keyakinan ini melatarbelakangi orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya untuk tidak ragu-ragu berdevosi dan menyembah Dia. Ia dianggap sebagai Allah sendiri. Selain itu, mereka meyakini bahwa Ia adalah satu-satunya manusia yang dapat menampakkan Allah yang tidak kelihatan. Hal itu dimungkinkan karena kodrat dan karakter Allah secara sempurna tersingkap dalam diri-Nya. “Dialah yang menjelmakan Allah dalam seluruh kepenuhan-Nya: Pelbagai ciri/sifat dan karya Allah (roh, sabda, kebijaksanaan, dan kemuliaan-Nya), secara sempurna tampak dalam diri Yesus Kristus” (Ott, 322). Tambahan pula, Kristus dilihat sebagai Sang Pembebas. Ia tidak hanya membebaskan umat manusia dari kuasa kegelapan, tetapi juga membawa mereka ke dalam Kerajaan-Nya. Ia juga bahkan menganugerahi mereka keselamatan. Dengan demikian, Yesus secara mutlak unik dalam diri-Nya sendiri, dalam relasi-Nya dengan Allah Bapa, dan dalam karya-Nya yang memberikan keselamatan kepada umat manusia.
Kepercayaan total pada identitas keilahian Yesus Kristus yang unik ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Bagi umat Kristiani yang hidup di tengah pelbagai kultur dan sistem kepercayaan dunia yang lainnya, terutama dalam konteks pluralisme di Indonesia, tantangan itu sangatlah terasa. Di satu sisi, umat Kristiani dituntut untuk tetap mempertahankan imannya dengan teguh. Di lain sisi, sebagai bagian dari tanggung jawab iman, umat Kristiani perlu mewartakan Yesus sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan. Di sini, hal yang penting untuk diperhatikan adalah umat Kristiani harus selalu bersikap hati-hati pada triumfalisme (keberhasilan) yang tampak arogan dalam upaya untuk menghadirkan/memperkenalkan Kristus kepada kaum non-kristiani. Oleh sebab itu, dalam upaya mewartakan keunikan identitas keilahian Kristus, umat Kristiani perlu bersikap rendah hati. Artinya, kita harus selalu mempertahankan dan memperlihatkan kelemahlembutan serta penghormatan pada kepercayaan yang lain. Kita harus menunjukkan suatu sikap yang bijak, yakni sikap menghargai apa yang benar dan mulia dalam agama-agama dunia yang lain itu. Jadi, kita perlu menegaskan keunikan Yesus Kristus dengan kerendahan hati, dengan kesediaan untuk mendengarkan serta kemauan untuk belajar, dan dengan sikap respek yang tinggi pada mereka yang kepadanya injil itu kita wartakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...