Masalah
Lingkungan Hidup, Akar Persoalan dan Upaya Pencegahan,
Pendidikan
Ekologis di Indonesia
Pada
Senin (9/5/2016), Dr. Siti Nurbaya Bakur, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan RI, hadir sebagai presentator dalam seminar bertemakan ‘Pendidikan
Ekologis’ yang diselenggarakan Panitia Dies-Natalis
ke-47 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Mengawali seminar tersebut, Ibu
Karlina Supelli selaku moderator mengucapkan sebuah kalimat menarik yang
memperlihatkan relasi antara manusia dengan alam. “Manusia diberi kekuasaan
untuk menguasai alam dan serentak pula diberi kekuasaan untuk merawat alam.”
Dengan ini hendak ditegaskan bahwa dalam relasinya dengan lingkungan hidup,
manusia dituntut untuk selalu bersikap bijak. Baik kelestarian, maupun
kerusakan lingkungan hidup sangat ditentukan oleh sejauh mana manusia mampu berpikir
dan bertindak secara bijak terhadap alam ciptaan.
Masalah Lingkungan Hidup
Alam
Indonesia adalah sebuah ruang publik penjaga peradaban. Tersusun dari berbagai
keanekaragaman hayati dari Leuser hingga Lorenz yang serentak pula mencerminkan
keragaman wilayah dengan berbagai suku, adat istiadat, serta bahasa, alam
Indonesia jelas kaya akan sumber daya. Pengelolaan Sumber Daya Alam secara
bijak pun menjadi tuntutan mutlak untuk dapat mempertahankan kelestarian
lingkungan hidup. Berdampak juga pada terjalinnya relasi yang harmonis dengan
sesama, upaya untuk tetap menjaga kelestarian alam dan pemanfaatan SDA secara
bijaksana menjadi tanggung jawab bersama manusia Indonesia.
Namun,
tak dapat disangkal bahwa saat ini, terpampang di hadapan kita, wajah alam
Indonesia yang terluka. Bencana alam, seperti meletusnya gunung api dan gempa bumi
serta pelbagai masalah lingkungan hidup, seperti penebangan liar, pembakaran
hutan, sampah yang berserakan di sungai, banjir, tanah longsor, kekeringan
berkepanjangan, kekurangan air bersih, polusi udara, pemanasan global, dsb seharusnya
menjadi rambu-rambu agar alam Indonesia segera mendapat perawatan intens.
Ironisnya, kebanyakan masyarakat Indonesia, baik yang terdidik maupun yang tak
terdidik, berpikir dan berpandangan sempit dengan memandang fenomena ini sekadar
sebagai peristiwa-peristiwa lumrah yang dialami masyarakat Indonesia. Padahal
peristiwa-peristiwa tersebut telah menelan begitu banyak korban jiwa dan harta
benda. Di hadapan pelbagai masalah lingkungan hidup tersebut, akankah kita
terus-menerus berdiam diri tanpa mencari akar persoalannya serta berupaya
menempuh tindakan preventif?
Akar Permasalahan dan Upaya Pencegahan
Selain
menegaskan dimensi teknis dari pengrusakan alam, mengawali presentasinya, dengan
jeli Ibu Susi melihat persoalan mengenai lingkungan hidup dari dua dimensi/aspek:
diri dan sikap. “Ternyata saya juga melihat aspek lingkungan justru lebih
kepada diri dan kepada sikap”, tandas beliau. Lebih lanjut beliau menegaskan
bahwa persepsi yang keliru dan pemahaman atau penghayatan pengetahuan yang tidak
komprehensif adalah bagian dari dimensi personal yang tentu berdampak pada
sikap atau cara kita memperlakukan alam. Melihat lingkungan hidup semata-mata
sebagai obyek yang dapat dieksploitasi secara besar-besaran menjadi konsekuensi
ekstrem dari pola berpikir dan berprilaku yang antropologis-instrumental
tersebut.
Untuk
mengatasi persoalan ini, Ibu Susi menawarkan sebuah pendekatan yang memberi
penekanan pada interaksi dengan lingkungan hidup. Menurut beliau, memanfaatkan
Sumber Daya Alam secara bijaksana merupakan bagian dari interaksi kita dengan
lingkungan. Terkait hal tersebut, beliau lebih lanjut menegaskan bahwa
masing-masing kita memiliki kesempatan untuk memanfaatkan SDA. Namun, yang
perlu diingat ialah kesempatan yang sama juga haruslah menjadi milik generasi
yang akan datang. Kepada mereka, kita harus mampu memberikan kesempatan yang
sama, yakni dengan menyediakan akses menuju pemanfaatan SDA. Lagipula, bumi
yang kita huni saat ini adalah pinjaman dari generasi yang akan datang: “Satu
bumi, yang dipinjam dari generasi nanti”. Oleh sebab itu, kita berkewajiban
mengembalikan kepada mereka satu bumi yang utuh dengan kesempatan yang sama
untuk pemanfaatan SDA.
Pola
berpikir dan tindakan yang demikian, tidak akan tercapai apabila kita tidak
memiliki persepsi yang tepat terhadap lingkungan hidup. Pertama-tama lingkungan
hidup tentu harus dilihat sebagai subyek. Pola berpikir antropologis-instrumental
tentu saja mengobyekkan dan selanjutnya mereduksi lingkungan hidup semata-mata
sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi. Di samping itu, mengutip William
Ewald dalam Environment for Man (1967),
beliau juga menyatakan bahwa lingkungan haruslah
dipandang sebagai subyek yang dapat dirasakan, terutama dari sisi pandangan
yang bersentuhan langsung dengan auto
beauty atau rasa enak-tidak enak, sumpek, kotor, dsb. Pemahaman ini kemudian
berpengaruh terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup. Orientasi
langkah-langkah, seperti prinsip keberlanjutan (sustainabilitas), tata ulang
kebijakan alokasihutan, rehabilitasi lingkungan, produksi hutan lestari,
efektifitas pemanfaatan energi, penegakkan hukum lingkungan, dsb hanya
merupakan perwujudan dari persepsi yang tepat terhadap lingkungan. Bagaimanapun
juga, mengelola lingkungan hidup memang menjadi rencana dari, oleh, dan untuk keberlangsungan
hidup manusia itu sendiri.
Hal
penting yang perlu diperhatikan juga adalah agar pengelolaan lingkungan hidup
dapat berlangsung baik, kerja sama sangatlah dituntut. Mengingat ekologi juga merupakan
sebuah sistem yang rumit dan karena itu mencakup berbagai dimensi dalam
kehidupan bermasyarakat (politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya), manusia perlu
bahu-membahu mengatasi persoalan-persoalan lingkungan hidup. Interaksi dalam
kelompok yang berbeda dengan beragam konsentrasinya harus ditingkatkan. Masyarakat
dan pemerintah perlu bergandengan tangan dan membangun relasi kemitraan agar
persoalan mengenai lingkungan hidup dapat diatasi serta diminimalisir. Dengan
demikian, seiring perjalanan waktu, upaya tersebut kiranya dapat membawa
perubahan ke arah yang lebih baik pada lingkungan.
Pendidikan Ekologis
Pendidikan
ekologis merupakan upaya untuk membantu meningkatkan pemahaman bahwa manusia
menjadi kunci keberadaan alam dan lingkungan. Dalam konteks ini, pola berpikir
dan bertindak manusia memegang peranan penting. Persepsi yang tepat, pemahaman
yang komprehensif serta penghayatan pengetahuan jelas memengaruhi sikap atau
tindakan kita terhadap alam. Relasi yang harmonis dengan alam sangat tergantung
pada kita karena kitalah yang mampu menjaga keseimbangan alam. Untuk itu, selain
agar kita mampu memahami dampak yang ditimbulkan dari setiap keputusan yang
diambil, pendidikan ekologis membantu kita untuk dapat melihat alam secara
lebih positif dan memperlakukannya secara lebih bijaksana. Dengan demikian,
kita dapat kesadaran ekologis kolektif.
Akan
kesadaran ekologis yang menyeluruh hanya dapat terjadi apabila pendidikan
ekologis juga merambah ke seluruh lapisan masyarakat. Selain berkutat di
kalangan common people itu sendiri,
pendidikan ekologis harus mampu merangsek masuk ke dalam dunia pendidikan,
usaha, dan kepemerintahan. Hal ini penting mengingat kerja sama dari semua
pihak selain mempercepat penyebarluasan pengaruh ekologis melalui sebuah sistem
pendidikan, kesadaran ekologis juga dapat terinternalisasi dalam dunia
sosial-budaya itu sendiri. Internalisasi kesadaran ekologis secara kolektif ini
tentu saja dapat menjadi senjata ampuh untuk meretas masalah-masalah lingkungan
hidup. Dalam hal ini, pendidikan ekologis tidak hanya menjadi pengasah akal
budi, tetapi juga penggerak aksi. Apabila kerusakan SDA berakibat buruk pada
kewibawaan negara, pendidikan ekologis memulihkan kembali kewibawaan negara.
Dengan demikian, alam Indonesia akan tetap menjadi ruang publik penjaga
peradaban, mulai dari tingkat nasional hingga level internasional.
Komentar
Posting Komentar