Langsung ke konten utama

Dies Dominica dalam Tinjauan Liturgi, Pastoral, Spiritualitas, dan Kesenian Suci

Perayaan Ekaristi Hari Minggu (Dies Dominica):
Tinjauan Liturgi, Pastoral, Spiritualitas, dan Kesenian Suci

Kita kerap kali mendengar orang-orang bertanya demikian: “Mengapa kita harus ke gereja pada Hari Minggu, hari yang sebenarnya sangat efektif untuk berlibur dan bersenang-senang?” Kita tentunya sependapat apabila disimpulkan bahwa pertanyaan problematif ini sesungguhnya memperlihatkan kekurang-pahaman umat mengenai hakekat atau makna terdalam dari perayaan Ekaristi. Padahal, perayaan ekaristi baik yang diselenggarakan pada hari-hari biasa, maupun dan terutama pada hari Minggu merupakan sumber dan puncak kehidupan umat beriman kristiani.  
Dalam artikel sederhana ini, penulis berupaya menguraikan secara singkat dan padat hakekat dan makna Perayaan Ekaristi Hari Minggu. Tanpa melepaskan perhatian pada fakta miris di atas, penulis juga mau mengangkat ke permukaan refleksi ilmiah mengenai perayaan ekaristi yang diselenggarakan pada setiap hari Minggu tersebut. Ditinjau dari perspektif liturgi, pastoral, spiritualitas, dan kesenian suci, penulis hendak menggali lebih dalam “harta karun” Dies Dominica dan mencoba memperlihatkan kekayaan maknanya bagi kehidupan Gereja.

Dies Dominica dalam Tinjauan Liturgi
Agar dapat memahami makna terdalam dari Dies Dominica, kita tentu dituntut untuk terlebih dahulu memahami liturgi. Secara etimologis, kata ‘liturgi’ berasal dari kata ‘leiturgia” (dari Bahasa Yunani: λείτούργιά) yang terdiri dari kata ‘ergon’ (karya) dan ‘leitos’ (bangsa). Dengan demikian, leiturgia berarti pelayanan atau karya yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Namun, setelah diberi arti kultis, leiturgia lalu mengacu pada pelayanan ibadat. Dalam Perjanjian Baru, misalnya liturgi dimaknai sebagai pelayanan kepada Allah dan sesama, baik dalam ibadat maupun dalam pelbagai bentuk kehidupan lainnya. Pemahaman ini kemudian dipersempit hanya untuk Perayaan Ekaristi, sejak Abad Pertengahan, meskipun pada masa pasca para Rasul, Liturgi masih dipahami sebagai kegiatan ibadat dan doa dalam artian luas.[1]
Bagi umat Kristiani, liturgi lebih dari sekadar upacara ritual belaka. Liturgi merupakan sebuah perayaan yang muliah dan meriah. Dalam liturgi, umat Kristiani merayakan Misteri Paskah yang merupakan puncak seluruh keselamatan Allah dan bahkan puncak seluruh sejarah umat manusia.[2] Itulah sebabnya, Misteri Paskah lalu menjadi pusat dan jantung hati seluruh tahun liturgi Gereja (bdk. SC. 107). Di samping itu, melalui liturgi, terutama dalam kurban Ilahi Ekaristi, terlaksanalah karya penebusan kita (SC. 2). Kristus menebus kita supaya kita sebagai anggota Gereja memiliki kebersamaan dan kesatuan dengan Allah melalui Dia dalam Roh Kudus dan dengan warga Gereja sendiri (bdk. SC. 48). Tambahan pula, dengan merayakan ekaristi, Gereja sebenarnya mengungkapkan dan melaksanakan dirinya sebagai sakramen keselamatan Allah (SC. 5.26; LG. 48; GS. 42.45;AG. 1.5), justru karena Gereja menghadirkan Kristus, Sang Sakramen Induk itu. “Jadi, dari liturgi, terutama dari ekaristi, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya” (SC. 10) dan “…penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh umat kudus dalam perayaan liturgi yang sama, terutama dalam Ekaristi.” (SC. 41).[3]  Konsili Vatikan II juga memaknai liturgi secara eklesial sebagai perayaan seluruh Gereja (bdk. SC. 48.26). Kata ‘perayaan’ jelas menunjukkan dimensi komunal, unsur penting dalam komunitas Kristiani, yang dipertegas dengan penggunaan kata ‘seluruh Tubuh Gereja’.[4]
 Ekaristi tidak hanya menjadi pusat seluruh liturgi Gereja, tetapi juga menjadi sumber dan puncak kehidupan Gereja. One key statement of Sacrosanctum Concilium (The Constitution on the Sacred Liturgy) is that the liturgy is "the summit toward which the activity of the Church is directed; it is also the fount from which all her power flows (n. 10). To say the Eucharist is the "source and summit of Christian spirituality" means at least two things. First, that Christian spirituality flows from the Eucharist as its source, the way light streams forth from the sun. And second, that Christian spirituality is supremely realized in and ordered to the Eucharist as its summit or highpoint – that to which all of our actions should ultimately be directed.[5] Lumen Gentium artikel 11 kemudian menegaskannya secara gamblang: “Dengan ikut serta dalam kurban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah…” Sebutan KV II mengenai “Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” menunjukkan pemahaman KV II yang tidak mau memisahkan Ekaristi dengan kehidupan sehari-hari. Hidup sehari-hari memperoleh kekuatan dan dasarnya dari Ekaristi sebagai sumber. Dari Ekaristi mengalirlah kekuatan yang menjiwai dan menggerakkan seluruh hidup orang kristiani dalam mengarungi suka-duka kehidupannya. Artinya, semua bidang kehidupan yang dijalani umat kristiani tertuju dan mengarah kepada Ekaristi sebagai puncaknya.[6] Tambahan pula, dengan penghayatan yang mendalam akan Ekaristi, buah-buah Ekaristi pun menjadi tampak, misalnya setelah mendengarkan sabda Tuhan, kita pulang membawa sukacita, mau berbuat baik untuk orang lain dan masyarakat. Liturgi yang baik harus mentransformasi orang beriman untuk menjadi agent of blessing, agen rahmat.
Pemahaman dan keyakinan umat kristiani mengenai Liturgi, terutama perayaan Ekaristi, sebagai sumber dan puncak seluruh kehidupannya ini pun menjadi kekhasan liturgi Kristiani, yang kemudian membedakannya secara mendasar dengan ibadat agama-agama lain. Misalkan saja, perbedaan liturgi (perayaan ekaristi) dengan ibadat mingguan dalam Kristen Protestan. Meski tidak dibuat pemisahan yang ketat antarkeduanya, mengingat kedua gereja ini pada mulanya adalah satu dan sama, yang juga berarti memiliki satu ibadat atau perayaan liturgi yang sama,[7] pemaknaan terhadap liturgi Kristiani dan ibadat mingguan Protestan tersebut tentu saja berbeda samasekali. Perbedaan ini juga tidak terlepas dari upaya Gereja Katolik yang di satu sisi terus-menerus mengembangkan dan memperbaharui tradisi, tetapi di sisi lain, tetap mempertahankan tradisi-tradisi tertentu yang kiranya sangat penting bagi perkembangan iman umat.  

Dies Dominica dalam Tinjauan Pastoral
Perayaan Ekaristi juga dapat ditinjau dari aspek pastoral yang tentunya terkait erat dengan konsep pelayanan. Menurut Gregorius Agung (abad VI), pelayanan pastoral merupakan sebentuk pemeliharaan jiwa (cura animarum).[8] Pelayanan pastoral itu menjadi tanggung jawab utama para pemimpin Gereja (uskup, pastor/imam, diakon). Lagipula, hal tersebut sesuai dengan makna dari kata ‘pastor’ itu sendiri (dari bahasa Latin) yang berarti ‘gembala’ atau ‘penggembala’. Dengan demikian, mereka pada dasarnya dipanggil untuk menggembalakan domba-domba, yang tidak lain ialah umat Allah sendiri. Menggembalakan domba-domba berarti melayani sekaligus membimbing mereka ke sumber air Kehidupan, yakni Yesus Kristus.
Perayaan Ekaristi merupakan salah satu model pelayanan pastoral yang mereka lakukan. Dalam perayaan tersebut, mereka melayani domba-dombanya dengan berperan sebagai pemimpin perayaan. Sebagai pelayan, mereka dituntut untuk sedapat mungkin menyediakan waktu kapan dan di mana saja guna membimbing, menasehati, dan mengarahkan domba-dombanya itu ke sumber mata air kehidupan. Pewartaan Sabda, terutama melalui homili, hendaknya menggunakan kata-kata sederhana yang dapat dipahami oleh seluruh umat, tanpa kehilangan tujuan utamanya: memberi peneguhan kepada umat agar hidup sesuai dengan imannya, yakni dengan mengandalkan Yesus sebagai satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup. Lebih dari itu, melalui perantaraan mereka-lah, Kristus hadir secara nyata dalam kurban Ekaristi. Bagaimanapun juga, mereka adalah wakil Kristus di dunia.
Untuk dapat mencapai air kehidupan, kepatuhan dan ketaatan domba-domba sangatlah dituntut. Kepatuhan dan ketaatan itu salah satunya ditampakkan dalam partisipasi umat saat mengikuti perayaan Ekaristi. Partisipasi secara sadar dan aktif sudah menjadi hakekat liturgi sendiri (SC. 14). Partisipasi juga mengalir dari imamat umum kaum beriman, yang bersama imam jabatan menurut caranya masing-masing, mengambil bagian dalam satu imamat Kristus (LG. 10). Namun, partisipasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan tugas atau peranannya masing-masing menurut hakekat perayaan dan kaidah-kaidah liturgi (SC. 28).
The Mass of its nature requires that all those present participate in it, in the fashion proper to each.This participation must primarily be interior (i.e., union with Christ the Priest; offering with and through Him). But the participation of those present becomes fuller (plenior) if to internal attention is joined external participation, expressed, that is to say, by external actions such as the position of the body (genuflecting, standing, sitting), ceremonial gestures, or, in particular, the responses, prayers and singing… It is this harmonious form of participation that is referred to in pontifical documents when they speak of active participation (participatio actuosa), the principal example of which is found in the celebrating priest and his ministers who, with due interior devotion and exact observance of the rubrics and ceremonies, minister at the altar.[9] Dengan demikian, partisipasi kaum awam dalam perayaan Ekaristi dan perayaan liturgi lainnya tidak boleh merupakan kehadiran fisik melulu, melainkan merupakan keikutsertaan penuh khidmat dan aktif (SC. 48).[10] Inilah yang disebut dengan “participation actuosa”.Perfect participatio actuosa of the faithful, finally, is obtained when there is added sacramental participation (by communion). Deliberate participatio actuosa of the faithful is not possible without their adequate instruction.”.[11]
Cara utama untuk mendorong partisipasi aktif umat dalam perayaan liturgis adalah dengan merayakan liturgi itu sendiri secara semestinya. Kebingungan, kegelisahan, atau kejengkelan yang dialami umat ketika mengikuti perayaan liturgis karena ketidaktahuan atau ketidaktaatan pada norma liturgis tentu akan menghalangi peran serta mereka yang aktif, sadar dan berbuah (actuosa participation et plena). Hal ini bisa jadi bersumber pada pengertian yang keliru tentang makna kebebasan (bisa berbuat sesuai dengan pengertiannya sendiri) dan ketidak-pahaman akan makna, nilai sejarah, dasar biblis atau pun dimensi universal eklesial. Itulah sebabnya, pendidikan liturgi sangatlah penting. Lagipula, Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi. Keikut-sertaan seperti itu dituntut oleh liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban umat kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawai, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9; Lih. 2:4-5).
Harus diakui juga bahwa upaya untuk berpastoral liturgi selain memiliki peluang, juga memiliki tantangan yang harus dihadapi. Selain berasal dari diri sendiri (faktor internal), baik peluang maupun tantangan yang muncul dapat pula berasal dari luar diri (faktor eksternal). Peluang yang dapat diperoleh dalam berpastoral liturgi, misalnya menumbuhkembangkan segala potensi yang dimiliki, terutama di bidang musik dan kesenian liturgi sehingga memudahkan kita untuk mewartakan Kerajaan Allah atau secara eksternal, dengan memanfaatkan multimedia sebagai sarana pewartaan. Hal ini sangat penting mengingat kita sendiri hidup di zaman modern yang menuntut penggunaan teknologi yang serba canggih. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan konteks zaman, teramat pentinglah untuk memanfaatkan multimedia, seperti layanan internet secara kreatif dan bertanggung jawab sebagai sarana pewartaan dan penggembalaan. Namun, tantangan yang harus dihadapi juga bisa berasal dari multimedia itu sendiri. Misalkan saja, di gereja kita seringkali menyaksikan beberapa umat yang masih mengoperasikan hand phone justru pada saat perayaan liturgi (Ekaristi) sedang berlangsung. Peristiwa ini jelas memperlihatkan bahwa teknologi itu berwajah ganda. Ia tidak hanya menjadi sarana pewartaan yang efektif, tetapi juga dapat menjadi pengahalang bagi kita untuk dapat berjumpa dengan Tuhan sendiri.

Dies Dominica dalam Tinjauan Spiritualitas
Spiritualitas liturgi merupakan spiritualitas pelayanan, Allah yang berbelas kasih dan murah hati.[12] Ketika kita berbicara mengenai pelayanan Kristiani, tentu kita tidak dapat terlepas dari pembahasan seputar dimensi pastoral dalam berliturgi. Bagaimanapun juga, berpastoral liturgi itu sendiri selalu berada dalam konteks eklesiologi. Lebih lanjut, pelayanan sangat erat berhubungan dengan kehidupan rohani pelayan itu sendiri. Mengapa? Terkait dengan iman pada Allah, seseorang tidak dapat disebut pelayan kristiani jika di dalam dirinya tidak ada jiwa untuk melayani Allah dan sesamanya. Menurut Nouwen, pelayanan dan spiritualitas tidak pernah dapat dipisahkan. Pelayanan bukanlah pekerjaan dengan jam kerja, tetapi pertama-tama adalah jalan hidup supaya dilihat dan dimengerti oleh orang lain sehingga pembebasan dapat menjadi satu kemungkinan. Benih-benih spiritualitas ini – seharusnya – tampak dalam pelayanan kristiani itu sendiri sehingga menjadi jelas bahwa setiap orang kristiani adalah pelayan.[13]
Kaum beriman membutuhkan semangat dasar (spiritus) dalam menghayati Ekaristi. Kualitas penghayatan yang mendalam kiranya menjadi “daya hidup” bagi tumbuh dan berkembangnya hidup yang ekaristis. Dalam konteks inilah, kita berbicara mengenai spiritualitas Ekaristi yang bertitik tolak pada makna Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan Kristiani. “The starting point for eucharistic spirituality is the table of the Lord Jesus, a truth affirmed at the Second Vatican Council and underscored in the Catechism of the Catholic Church: The Eucharist is the source and summit of the Christian life.[14] Pada umumnya, spiritualitas dimengerti sebagai hubungan pribadi dengan Allah dan perwujudannya dalam sikap hidup. Sebagai sumber spiritualitas Kristiani, Ekaristi menyatakan kepada kita bahwa keselamatan kita berasal dari Allah, bukan dari diri kita sendiri. Allah-lah yang pertama-tama memberikan diri kepada manusia dalam Kristus. Pada waktu yang sama, sebagai puncak spiritualitas Kristiani, Ekaristi adalah persembahan bebas diri manusia sendiri kepada Allah melalui Kristus, Sang Imam Agung kita, oleh Roh Kudus. Persatuan mesra antara Allah dan manusia yang terwujud melalui pemberian diri Allah kepada manusia dan tanggapan penuh kepercayaan manusia kepada Allah inilah yang lalu disebut sebagai komuni.[15]  
Karena spiritualitas Ekaristi terkait penghayatan iman pribadi, kita kemudian dapat melihat pengaruhnya bagi spiritualitas kaum awam. Sejak konsili Trente hingga KV II, kaum awam dalam Gereja Katolik Roma, baik pria maupun wanita, tetap menghadiri misa kudus. Kaum awam Katolik tentu saja diwajibkan untuk mengikuti Misa setiap minggu di bawah kekhawatiran akan dosa besar, dan kewajiban Misa ini di dalam banyak seginya berpusat pada Ekaristi. Dengan demikian, Ekaristi sebenarnya sudah menjadi bagian penting dalam spiritualitas kaum awam. Akan tetapi, bagi umat awam, spiritualitas yang berpusat pada Ekaristi hanya merupakan sebuah peristiwa hari Minggu saja. Dari hari Senin sampai Sabtu, spiritualitas awam pada umumnya tidak berpusat pada Ekaristi. Pada akhir abad ke-19 dan dekade-dekade awal abad ke-20, spiritualitas kaum awam biasanya berpusat pada doa rosario keluarga atau devosi-devosi lainnya.[16]
Terkait spiritualitas kaum awam yang berpusat pada devosi-devosi, Jack Tarigan lalu memberi penjelasan menarik mengenai perbedaan antara liturgi dengan devosi. Dalam artikelnya yang berjudul “Liturgi dan Devosi”, sebagaimana termuat dalam majalah online ‘Hidup Katolik”,[17] Tarigan menyatakan bahwa “Gereja Katolik berbeda dengan Gereja Ortodoks dan Gereja Reformasi Protestan, yang tidak memberi tempat pada devosi. Gereja Katolik tidak menghilangkan devosi, demikian juga sebaliknya. Bagi Gereja Katolik, liturgi adalah kegiatan yang resmi diakui Gereja, sedangkan devosi tidak terikat pada aturan resmi. Liturgi adalah kegiatan bersama (komunal), sedangkan devosi cenderung mengikuti selera pribadi atau kelompok tertentu. Liturgi merupakan perayaan yang mutlak perlu demi pertumbuhan iman dalam Kristus. Sementara itu, devosi bersifat fakultatif, tidak wajib dilaksanakan.” Meskipun demikian, Tarigan tetap menegaskan pentingnya devosi dan bahkan menganjurkan agar “dengan sikap kritis dan selektif, kita perlu mengembangkan beberapa bentuk devosi yang sehat, khususnya di kalangan kaum awam, yang hidup di tengah pluralisme budaya dan agama di Indonesia. Namun, menurut Tarigan, dibutuhkan kerjasama hirarki dan kaum awam, agar devosi tidak berkembang liar menjadi magis, sinkretisme, dan komersial.

Dies Dominica dalam Tinjauan Kesenian Suci[18]
Seni yang digunakan dalam liturgi disebut juga seni liturgi/seni suci liturgi. Kesenian liturgi tidak hanya mencakup semua kegiatan seniman dalam merancang, mengembangkan dan mengkombinasikan semua keahlian artistiknya (cita rasa seni) atas dasar norma liturgi, tetapi juga merujuk pada musik liturgi. Konsep dasariah yang harus dipahami adalah seni liturgi dibuat atas dasar iman dan diinspirasikan oleh iman. Tanpa iman, tidak ada seni yang sepadan dengan liturgi. Seni Suci berdiri di bawah imperatif yang tercantum dalam surat kedua kepada jemaat di Korintus: Menatap Tuhan, kita "diubah menjadi serupa dengan-Nya dari satu derajat kemuliaan yang lain, karena ini berasal dari Tuhan yang adalah Roh" (2Kor. 3:18). Manusia sebagai makhluk simbolis, ia menghadirkan kemuliaan Tuhan lewat indera penglihatannya. Ketika ia melihat suatu lukisan atau gambar kudus dalam gereja, ataupun mendengarkan latunan musik gereja yang penuh keagungan pada bagian-bagian tertentu perayaan Ekaristi, pada saat itu jiwanya dipersatukan ke dalam kemuliaan Tuhan. Melalui pemahaman iman, ia menelusurinya, menggambarkannya, dan menangkap realitas Tuhan di balik gambar atau lantunan musik tersebut. Seni dalam arti ini merupakan ekspresi iman dan inspirasi iman Gereja.
Karya seni yang digunakan dalam liturgi mengandung unsur ekspresi simbolis manusia atas kemahakuasaan Tuhan. Maka, seni liturgi itu menjadi harta rohani Gereja, dipelihara oleh Gereja dan digunakan oleh Gereja untuk pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Seni liturgi tersebut lebih tepatnya disebut suci, karena ia dikuduskan untuk kehormatan dan kemuliaan kepada Allah yang lebih besar. Karena itu, seni suci dalam liturgi mengandung karakter sakramental yang memiliki kemampuan untuk menghubungkan manusia/umat beriman dalam Inkarnasi dan sekaligus terlibat lebih mendalam atas misteri Keselamatan. Seorang seniman liturgi menciptakan karya seni khusus untuk digunakan dalam liturgi. Ia dapat membantu masyarakat mengembangkan desain liturgis yang tepat serta artistik (cita rasa seni) yang indah. Seni suci yang diciptakan untuk liturgi mengandung martabat yang lebih besar untuk perayaan Misteri Suci dan menginspirasikannya pada hati dan pikirannya.
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa liturgi adalah fokus dari seluruh kegiatan Gereja, dan sumber dari segala kekuatannya (SC. No. 10). Karena Liturgi sangat sentral untuk perjumpaan kita dengan Allah, maka lingkungan seni di mana manusia beraktivitas harus mencerminkan martabat dan kekuatan Sakramen. Seorang seniman atau pemusik tentu harus memahami kebutuhan ini dan dapat bekerja sama dengan komisi liturgi keuskupan untuk mengembangkan desain dan karya seni serta menggubah lagu-lagu liturgis yang menampilkan kualitas abadi dan kedalaman spiritual Gereja. Dalam hal ini peran sentral dari komisi liturgi sangat penting. “The mission of the Center for Liturgical Art is to promote the use of exceptional visual art in worship and ministry. The staff of the Center for Liturgical Art are available to churches and congregations as a valuable resource. The Center also accepts commissions for liturgical art as it works with groups and individuals to enhance the silent witness of the visual arts in worship and ministry.”[19]


Daftar Pustaka
Abineno, J. L. Ch. Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Atosoki Gea, Antonius, dkk. Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006.
Chan, Simon. Liturgical Theology: The Church as Worshiping Community. USA: InterVarsity Press, 2006.
Kreglinger, Gisela H. The Spirituality of Wine. USA: Wm. B. Eerdmans Publishing, 2016.
Manalo, Ricky. The Liturgy of Life: The Interrelationship of Sunday Eucharist and Everyday Worship Practices. Order of Saint Benedict, Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 2014.
Martasudjita, E. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Martasudjita, E. Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Nouwen, H. J. M. Pelayanan yang Kreatif. Yogyakarta: Kanisius. 1986.
Osborne, Kenan B. Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Prasetyantha, Y. B. (Editor). Ekaristi dalam Hidup Kita. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Suharyo, Ignatius. Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, edit. E. Martasudjita. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Tarigan, Jacobus. Memahami Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011.
Sumber Internet:








[1] Bdk. Jacobus Tarigan, Memahami Liturgi (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 2-3.
[2] Ignatius Suharyo, Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, edit. E. Martasudjita (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 40.
[3] E. Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 301.
[4] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 296.
[5] Ricky Manalo, The Liturgy of Life: The Interrelationship of Sunday Eucharist and Everyday Worship Practices (Order of Saint Benedict, Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 2014), p. 137.
[6] Bdk. E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, hal. 297.
[7] Lihat, Antonius Atosoki Gea, dkk., Character Building III: Relasi dengan Tuhan (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006), hal. 102.
[8] Dalam hal ini, ‘jiwa’ tidak diartikan sebagai unsur antropologis yang lebih tinggi eksistensinya daripada ‘tubuh’, tetapi merujuk pada manusia yang utuh: manusia dari tubuh dan jiwa atau dalam bahasa Lord dalam karyanya yang berjudul “The Unity of Body and Soul”, manusia adalah tubuh yang berjiwa. Paradigma ini memperlihatkan bahwa di satu sisi manusia memang adalah materi atau daging. Ia dibentuk dari debu tanah (Kej. 2:7). Akan tetapi, oleh nafas kehidupan yang Allah tiupkan ke dalam hidungnya, ia menjadi makhluk yang hidup (nefesy khaya). Atas dasar itu, pemeliharaan jiwa tidak hanya ditujukan untuk  melakukan reksa rohani, tetapi juga mendorong umat untuk mampu melayani sesama dalam dinamika hidup harian mereka. Bandingkan, J. L. Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 2.
[9] Simon Chan, Liturgical Theology: The Church as Worshiping Community (USA: InterVarsity Press, 2006), p. 97.
[10] E. Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, hal. 383.
[11] Simon Chan, Liturgical Theology: The Church as Worshiping Community, p. 97.

[12] Bandingkan, http://www.hidupkatolik.com/2015/02/06/katekese-liturgi-untuk-penghayatan-iman. Diunduh pada Selasa, 17 Mei 2016 pukul 7:56.
[13] H. J. M. Nouwen, Pelayanan yang Kreatif (Yogyakarta: Kanisius. 1986), hlm. 21.
[14] Gisela H. Kreglinger, The Spirituality of Wine (USA: Wm. B. Eerdmans Publishing, 2016), P. 79.
[15] Y. B. Prasetyantha (Editor), Ekaristi dalam Hidup Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 139-140.
[16] Kenan B. Osborne, Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 147.
[17] Lihat, http://www.hidupkatolik.com/2012/02/13/jacobus-tarigan-pr-liturgi-dan-devosi. Diunduh pada Selasa, 17 Mei 2016 pukul 9:53.
[18] Diolah dari Dokumen Gereja, Sacrosantum Konsilium artikel 112-130.
[19] Alejandro Garcia-Rivera and Thomas Scirghi, Living Beauty: The Art of Liturgy (New York: Rowman and Littlefield Publishers, 2008), p. 30.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...