Perayaan
Ekaristi Hari Minggu (Dies Dominica):
Tinjauan
Liturgi, Pastoral, Spiritualitas, dan Kesenian Suci
Kita kerap kali
mendengar orang-orang bertanya demikian: “Mengapa kita harus ke gereja pada
Hari Minggu, hari yang sebenarnya sangat efektif untuk berlibur dan
bersenang-senang?” Kita tentunya
sependapat apabila disimpulkan bahwa pertanyaan problematif ini sesungguhnya
memperlihatkan kekurang-pahaman umat mengenai hakekat atau makna terdalam dari
perayaan Ekaristi. Padahal, perayaan ekaristi baik yang
diselenggarakan pada hari-hari biasa, maupun dan terutama pada hari Minggu
merupakan sumber
dan puncak kehidupan umat beriman kristiani.
Dalam artikel sederhana ini, penulis berupaya menguraikan secara singkat dan padat hakekat
dan makna Perayaan Ekaristi Hari Minggu. Tanpa melepaskan perhatian pada fakta miris di atas, penulis juga mau mengangkat ke permukaan refleksi
ilmiah mengenai perayaan ekaristi yang diselenggarakan pada setiap hari Minggu tersebut.
Ditinjau dari perspektif liturgi, pastoral, spiritualitas, dan kesenian suci,
penulis hendak menggali lebih dalam “harta karun” Dies Dominica dan mencoba
memperlihatkan kekayaan maknanya bagi kehidupan Gereja.
Dies Dominica dalam Tinjauan Liturgi
Agar dapat memahami makna terdalam dari Dies Dominica, kita tentu dituntut untuk terlebih dahulu memahami
liturgi. Secara etimologis, kata ‘liturgi’ berasal dari kata ‘leiturgia” (dari Bahasa Yunani: λείτούργιά)
yang terdiri dari kata ‘ergon’
(karya) dan ‘leitos’ (bangsa). Dengan
demikian, leiturgia berarti pelayanan
atau karya yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Namun, setelah diberi arti
kultis, leiturgia lalu mengacu pada
pelayanan ibadat. Dalam Perjanjian Baru, misalnya liturgi dimaknai sebagai
pelayanan kepada Allah dan sesama, baik dalam ibadat maupun dalam pelbagai
bentuk kehidupan lainnya. Pemahaman ini kemudian dipersempit hanya untuk Perayaan
Ekaristi, sejak Abad Pertengahan, meskipun pada masa pasca para Rasul, Liturgi masih dipahami sebagai kegiatan ibadat
dan doa dalam artian luas.[1]
Bagi umat Kristiani, liturgi lebih dari sekadar upacara ritual belaka. Liturgi
merupakan sebuah perayaan yang muliah dan meriah. Dalam liturgi, umat Kristiani merayakan Misteri Paskah yang merupakan puncak
seluruh keselamatan Allah dan bahkan puncak seluruh sejarah umat manusia.[2]
Itulah sebabnya, Misteri Paskah lalu menjadi pusat dan jantung hati seluruh
tahun liturgi Gereja (bdk. SC. 107). Di samping itu, melalui liturgi, terutama
dalam kurban Ilahi Ekaristi, terlaksanalah karya penebusan kita (SC. 2). Kristus
menebus kita supaya kita sebagai anggota Gereja memiliki kebersamaan dan
kesatuan dengan Allah melalui Dia dalam Roh Kudus dan dengan warga Gereja
sendiri (bdk. SC. 48). Tambahan pula, dengan merayakan ekaristi, Gereja
sebenarnya mengungkapkan dan melaksanakan dirinya sebagai sakramen keselamatan
Allah (SC. 5.26; LG. 48; GS. 42.45;AG. 1.5), justru karena Gereja menghadirkan
Kristus, Sang Sakramen Induk itu. “Jadi, dari liturgi, terutama dari ekaristi,
mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh
pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja
lainnya” (SC. 10) dan “…penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam
keikutsertaan penuh dan aktif seluruh umat kudus dalam perayaan liturgi yang
sama, terutama dalam Ekaristi.” (SC. 41).[3] Konsili Vatikan II juga memaknai liturgi secara
eklesial sebagai perayaan seluruh Gereja (bdk. SC. 48.26). Kata ‘perayaan’
jelas menunjukkan dimensi komunal, unsur penting dalam komunitas Kristiani, yang
dipertegas dengan penggunaan kata ‘seluruh Tubuh Gereja’.[4]
Ekaristi tidak hanya menjadi pusat seluruh liturgi Gereja, tetapi juga
menjadi sumber dan puncak kehidupan Gereja. “One key statement of
Sacrosanctum Concilium (The Constitution on the Sacred Liturgy) is that the
liturgy is "the summit toward which the activity of the Church is
directed; it is also the fount from which all her power flows” (n. 10). To say the Eucharist is
the "source and summit of Christian spirituality" means at least two
things. First, that Christian spirituality flows from the Eucharist as its
source, the way light streams forth from the sun. And second, that Christian
spirituality is supremely realized in and ordered to the Eucharist as its
summit or highpoint – that to which all of our actions should ultimately be
directed.”[5] Lumen Gentium artikel 11 kemudian menegaskannya secara gamblang: “Dengan ikut
serta dalam kurban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani, mereka
mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah…”
Sebutan KV II mengenai “Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh hidup
kristiani” menunjukkan pemahaman KV II yang tidak mau memisahkan Ekaristi dengan
kehidupan sehari-hari. Hidup sehari-hari memperoleh kekuatan dan dasarnya dari
Ekaristi sebagai sumber. Dari Ekaristi mengalirlah kekuatan yang menjiwai dan menggerakkan
seluruh hidup orang kristiani dalam mengarungi suka-duka kehidupannya. Artinya,
semua bidang kehidupan yang dijalani umat kristiani tertuju dan mengarah kepada
Ekaristi sebagai puncaknya.[6] Tambahan pula, dengan
penghayatan yang mendalam akan Ekaristi, buah-buah Ekaristi pun menjadi tampak, misalnya setelah mendengarkan sabda Tuhan, kita pulang membawa sukacita, mau berbuat baik
untuk orang lain dan masyarakat. Liturgi yang baik harus mentransformasi orang
beriman untuk menjadi agent of blessing, agen rahmat.
Pemahaman dan keyakinan umat kristiani mengenai Liturgi,
terutama perayaan Ekaristi, sebagai sumber dan puncak seluruh kehidupannya ini
pun menjadi kekhasan liturgi Kristiani, yang kemudian membedakannya secara
mendasar dengan ibadat agama-agama lain. Misalkan saja, perbedaan liturgi (perayaan ekaristi) dengan
ibadat mingguan dalam Kristen Protestan. Meski tidak dibuat pemisahan yang ketat antarkeduanya, mengingat kedua gereja ini pada mulanya
adalah satu dan sama, yang juga berarti memiliki satu ibadat atau perayaan
liturgi yang sama,[7]
pemaknaan terhadap liturgi Kristiani dan ibadat mingguan Protestan tersebut tentu saja berbeda samasekali. Perbedaan ini juga tidak
terlepas dari upaya Gereja Katolik yang di satu sisi terus-menerus
mengembangkan dan memperbaharui tradisi, tetapi di sisi lain, tetap
mempertahankan tradisi-tradisi tertentu yang kiranya sangat penting bagi perkembangan iman umat.
Dies Dominica dalam Tinjauan Pastoral
Perayaan Ekaristi juga dapat ditinjau dari aspek
pastoral yang tentunya terkait erat dengan konsep pelayanan. Menurut Gregorius
Agung (abad VI), pelayanan pastoral merupakan sebentuk pemeliharaan jiwa (cura animarum).[8]
Pelayanan pastoral itu menjadi tanggung jawab utama para pemimpin Gereja
(uskup, pastor/imam, diakon). Lagipula, hal tersebut sesuai dengan makna dari
kata ‘pastor’ itu sendiri (dari bahasa Latin) yang berarti ‘gembala’ atau
‘penggembala’. Dengan demikian, mereka pada dasarnya dipanggil untuk menggembalakan
domba-domba, yang tidak lain ialah umat Allah sendiri. Menggembalakan
domba-domba berarti melayani sekaligus membimbing mereka ke sumber air
Kehidupan, yakni Yesus Kristus.
Perayaan Ekaristi merupakan salah satu model pelayanan
pastoral yang mereka lakukan. Dalam perayaan tersebut, mereka melayani
domba-dombanya dengan berperan sebagai pemimpin perayaan. Sebagai pelayan, mereka
dituntut untuk sedapat mungkin menyediakan waktu kapan dan di mana saja guna membimbing,
menasehati, dan mengarahkan domba-dombanya itu ke sumber mata air kehidupan. Pewartaan
Sabda, terutama melalui homili, hendaknya menggunakan kata-kata sederhana yang
dapat dipahami oleh seluruh umat, tanpa kehilangan tujuan utamanya: memberi
peneguhan kepada umat agar hidup sesuai dengan imannya, yakni dengan
mengandalkan Yesus sebagai satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup. Lebih dari
itu, melalui perantaraan mereka-lah, Kristus hadir secara nyata dalam kurban
Ekaristi. Bagaimanapun juga, mereka adalah wakil Kristus di dunia.
Untuk dapat mencapai air kehidupan, kepatuhan dan
ketaatan domba-domba sangatlah dituntut. Kepatuhan dan ketaatan itu salah
satunya ditampakkan dalam partisipasi umat saat mengikuti perayaan Ekaristi.
Partisipasi secara sadar dan aktif sudah menjadi hakekat liturgi sendiri (SC.
14). Partisipasi juga mengalir dari imamat umum kaum beriman, yang bersama imam
jabatan menurut caranya masing-masing, mengambil bagian dalam satu imamat
Kristus (LG. 10). Namun, partisipasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan tugas
atau peranannya masing-masing menurut hakekat perayaan dan kaidah-kaidah
liturgi (SC. 28).
The Mass of its nature
requires that all those present participate in it, in the fashion proper to
each.This participation must primarily be interior (i.e., union with Christ the
Priest; offering with and through Him). But the participation of those present
becomes fuller (plenior) if to internal attention is joined external
participation, expressed, that is to say, by external actions such as the
position of the body (genuflecting, standing, sitting), ceremonial gestures,
or, in particular, the responses, prayers and singing… It is this harmonious
form of participation that is referred to in pontifical documents when they
speak of active participation (participatio actuosa), the principal example of
which is found in the celebrating priest and his ministers who, with due
interior devotion and exact observance of the rubrics and ceremonies, minister
at the altar.[9] Dengan demikian,
partisipasi kaum awam dalam perayaan Ekaristi dan perayaan liturgi lainnya
tidak boleh merupakan kehadiran fisik melulu, melainkan merupakan keikutsertaan
penuh khidmat dan aktif (SC. 48).[10]
Inilah yang disebut dengan “participation
actuosa”. “Perfect participatio actuosa of the faithful, finally,
is obtained when there is added sacramental participation (by communion).
Deliberate participatio actuosa of the faithful is not possible without their
adequate instruction.”.[11]
Cara utama untuk mendorong partisipasi aktif umat
dalam perayaan liturgis adalah dengan merayakan liturgi itu sendiri secara
semestinya. Kebingungan, kegelisahan, atau kejengkelan yang dialami umat ketika
mengikuti perayaan liturgis karena ketidaktahuan atau ketidaktaatan pada norma
liturgis tentu akan menghalangi peran serta mereka yang aktif, sadar dan berbuah
(actuosa participation et plena). Hal
ini bisa jadi bersumber pada pengertian yang keliru tentang makna kebebasan
(bisa berbuat sesuai dengan pengertiannya sendiri) dan ketidak-pahaman akan
makna, nilai sejarah, dasar biblis atau pun dimensi universal eklesial. Itulah
sebabnya, pendidikan liturgi sangatlah penting. Lagipula, Bunda Gereja sangat
menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikut-sertaan yang
sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi. Keikut-sertaan seperti
itu dituntut oleh liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta
kewajiban umat kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawai, bangsa yang
kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9; Lih. 2:4-5).
Harus diakui juga bahwa upaya untuk berpastoral
liturgi selain memiliki peluang, juga memiliki tantangan yang harus dihadapi. Selain
berasal dari diri sendiri (faktor internal), baik peluang maupun tantangan yang
muncul dapat pula berasal dari luar diri (faktor eksternal). Peluang yang dapat
diperoleh dalam berpastoral liturgi, misalnya menumbuhkembangkan segala potensi
yang dimiliki, terutama di bidang musik dan kesenian liturgi sehingga
memudahkan kita untuk mewartakan Kerajaan Allah atau secara eksternal, dengan memanfaatkan
multimedia sebagai sarana pewartaan. Hal ini sangat penting mengingat kita
sendiri hidup di zaman modern yang menuntut penggunaan teknologi yang serba
canggih. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan konteks zaman, teramat pentinglah
untuk memanfaatkan multimedia, seperti layanan internet secara kreatif dan bertanggung
jawab sebagai sarana pewartaan dan penggembalaan. Namun, tantangan yang harus
dihadapi juga bisa berasal dari multimedia itu sendiri. Misalkan saja, di
gereja kita seringkali menyaksikan beberapa umat yang masih mengoperasikan hand phone
justru pada saat perayaan liturgi (Ekaristi) sedang berlangsung. Peristiwa ini
jelas memperlihatkan bahwa teknologi itu berwajah ganda. Ia tidak hanya menjadi
sarana pewartaan yang efektif, tetapi juga dapat menjadi pengahalang bagi kita
untuk dapat berjumpa dengan Tuhan sendiri.
Dies Dominica dalam Tinjauan Spiritualitas
Spiritualitas liturgi merupakan spiritualitas
pelayanan, Allah yang berbelas kasih dan murah hati.[12]
Ketika kita berbicara mengenai pelayanan Kristiani, tentu kita tidak dapat terlepas
dari pembahasan seputar dimensi pastoral dalam berliturgi. Bagaimanapun juga, berpastoral
liturgi itu sendiri selalu berada dalam konteks eklesiologi. Lebih lanjut,
pelayanan sangat erat berhubungan dengan kehidupan rohani pelayan itu sendiri. Mengapa? Terkait
dengan iman pada Allah, seseorang tidak dapat disebut pelayan kristiani jika di
dalam dirinya tidak ada jiwa untuk melayani Allah dan sesamanya. Menurut
Nouwen, pelayanan dan spiritualitas tidak pernah dapat dipisahkan. Pelayanan
bukanlah pekerjaan dengan jam kerja, tetapi pertama-tama adalah jalan hidup
supaya dilihat dan dimengerti oleh orang lain sehingga pembebasan dapat menjadi
satu kemungkinan. Benih-benih spiritualitas ini – seharusnya – tampak dalam pelayanan
kristiani itu sendiri sehingga menjadi jelas bahwa setiap orang kristiani
adalah pelayan.[13]
Kaum beriman membutuhkan semangat dasar (spiritus) dalam menghayati Ekaristi.
Kualitas penghayatan yang mendalam kiranya menjadi “daya hidup” bagi tumbuh dan
berkembangnya hidup yang ekaristis. Dalam konteks inilah, kita berbicara
mengenai spiritualitas Ekaristi yang bertitik tolak pada makna Ekaristi sebagai
sumber dan puncak kehidupan Kristiani. “The
starting point for eucharistic spirituality is the table of the Lord Jesus, a
truth affirmed at the Second Vatican Council and underscored in the Catechism
of the Catholic Church: The Eucharist is the source and summit of the Christian
life.”[14]
Pada umumnya, spiritualitas dimengerti sebagai hubungan pribadi dengan Allah
dan perwujudannya dalam sikap hidup. Sebagai sumber spiritualitas Kristiani,
Ekaristi menyatakan kepada kita bahwa keselamatan kita berasal dari Allah,
bukan dari diri kita sendiri. Allah-lah yang pertama-tama memberikan diri
kepada manusia dalam Kristus. Pada waktu yang sama, sebagai puncak
spiritualitas Kristiani, Ekaristi adalah persembahan bebas diri manusia sendiri
kepada Allah melalui Kristus, Sang Imam Agung kita, oleh Roh Kudus. Persatuan
mesra antara Allah dan manusia yang terwujud melalui pemberian diri Allah
kepada manusia dan tanggapan penuh kepercayaan manusia kepada Allah inilah yang
lalu disebut sebagai komuni.[15]
Karena spiritualitas Ekaristi terkait penghayatan iman
pribadi, kita kemudian dapat melihat pengaruhnya bagi spiritualitas kaum awam. Sejak
konsili Trente hingga KV II, kaum awam dalam Gereja Katolik Roma, baik pria
maupun wanita, tetap menghadiri misa kudus. Kaum awam Katolik tentu saja
diwajibkan untuk mengikuti Misa setiap minggu di bawah kekhawatiran akan dosa
besar, dan kewajiban Misa ini di dalam banyak seginya berpusat pada Ekaristi. Dengan
demikian, Ekaristi sebenarnya sudah menjadi bagian penting dalam spiritualitas
kaum awam. Akan tetapi, bagi umat awam, spiritualitas yang berpusat pada
Ekaristi hanya merupakan sebuah peristiwa hari Minggu saja. Dari hari Senin
sampai Sabtu, spiritualitas awam pada umumnya tidak berpusat pada Ekaristi.
Pada akhir abad ke-19 dan dekade-dekade awal abad ke-20, spiritualitas kaum
awam biasanya berpusat pada doa rosario keluarga atau devosi-devosi lainnya.[16]
Terkait spiritualitas kaum awam yang berpusat pada
devosi-devosi, Jack Tarigan lalu memberi penjelasan menarik mengenai perbedaan
antara liturgi dengan devosi. Dalam artikelnya yang berjudul “Liturgi dan
Devosi”, sebagaimana termuat dalam majalah online
‘Hidup Katolik”,[17]
Tarigan menyatakan bahwa “Gereja Katolik berbeda dengan Gereja Ortodoks dan
Gereja Reformasi Protestan, yang tidak memberi tempat pada devosi. Gereja
Katolik tidak menghilangkan devosi, demikian juga sebaliknya. Bagi Gereja
Katolik, liturgi adalah kegiatan yang resmi diakui Gereja, sedangkan devosi
tidak terikat pada aturan resmi. Liturgi adalah kegiatan bersama (komunal),
sedangkan devosi cenderung mengikuti selera pribadi atau kelompok tertentu.
Liturgi merupakan perayaan yang mutlak perlu demi pertumbuhan iman dalam
Kristus. Sementara itu, devosi bersifat fakultatif, tidak wajib dilaksanakan.”
Meskipun demikian, Tarigan tetap menegaskan pentingnya devosi dan bahkan
menganjurkan agar “dengan
sikap kritis dan selektif, kita perlu mengembangkan beberapa bentuk devosi yang
sehat, khususnya di kalangan kaum awam, yang hidup di tengah pluralisme budaya
dan agama di Indonesia.” Namun, menurut Tarigan,
dibutuhkan kerjasama hirarki dan kaum awam,
agar devosi tidak berkembang liar menjadi magis, sinkretisme, dan komersial.
Dies Dominica dalam Tinjauan Kesenian Suci[18]


Konsili Vatikan II menyatakan bahwa liturgi
adalah fokus dari seluruh kegiatan Gereja, dan sumber dari segala kekuatannya
(SC. No. 10). Karena Liturgi sangat sentral untuk perjumpaan kita dengan Allah,
maka lingkungan seni di mana manusia beraktivitas harus mencerminkan martabat
dan kekuatan Sakramen. Seorang seniman atau pemusik tentu harus memahami
kebutuhan ini dan dapat bekerja sama dengan komisi liturgi keuskupan untuk
mengembangkan desain dan karya seni serta menggubah lagu-lagu
liturgis yang menampilkan kualitas abadi dan kedalaman spiritual Gereja. Dalam
hal ini peran sentral dari komisi liturgi sangat penting. “The mission of the Center for Liturgical Art is to promote the use of
exceptional visual art in worship and ministry. The staff of the Center for
Liturgical Art are available to churches and congregations as a valuable
resource. The Center also accepts commissions for liturgical art as it works
with groups and individuals to enhance the silent witness of the visual arts in
worship and ministry.”[19]
Daftar Pustaka
Abineno, J. L. Ch. Pedoman Praktis
untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Atosoki Gea, Antonius, dkk. Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2006.
Chan, Simon. Liturgical Theology:
The Church as Worshiping Community. USA: InterVarsity Press, 2006.
Kreglinger, Gisela H. The
Spirituality of Wine. USA: Wm. B. Eerdmans Publishing, 2016.
Manalo, Ricky. The
Liturgy of Life: The Interrelationship of Sunday Eucharist and Everyday Worship
Practices. Order of Saint Benedict, Collegeville, Minnesota: Liturgical
Press, 2014.
Martasudjita, E. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius,
2005.
Martasudjita, E. Sakramen-sakramen
Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius,
2003.
Nouwen, H. J. M. Pelayanan
yang Kreatif. Yogyakarta: Kanisius. 1986.
Osborne, Kenan B. Komunitas,
Ekaristi, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Prasetyantha, Y. B. (Editor). Ekaristi
dalam Hidup Kita. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Suharyo, Ignatius. Gereja
yang Melayani dengan Rendah Hati, edit. E. Martasudjita. Yogyakarta:
Kanisius, 2009.
Tarigan, Jacobus. Memahami
Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011.
Sumber Internet:
[2] Ignatius
Suharyo, Gereja yang Melayani dengan
Rendah Hati, edit. E. Martasudjita (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 40.
[3] E.
Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 301.
[4] E.
Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja:
Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal.
296.
[5] Ricky
Manalo, The Liturgy of Life: The
Interrelationship of Sunday Eucharist and Everyday Worship Practices (Order
of Saint Benedict, Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 2014), p. 137.
[6] Bdk. E.
Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja:
Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, hal. 297.
[7] Lihat, Antonius Atosoki Gea, dkk., Character
Building III: Relasi dengan Tuhan (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2006), hal. 102.
[8] Dalam hal ini, ‘jiwa’ tidak diartikan
sebagai unsur antropologis yang lebih tinggi eksistensinya daripada ‘tubuh’,
tetapi merujuk pada manusia yang utuh: manusia
dari tubuh dan jiwa atau dalam bahasa Lord dalam karyanya yang berjudul “The Unity of Body and Soul”, manusia
adalah tubuh yang berjiwa. Paradigma ini memperlihatkan bahwa di satu sisi
manusia memang adalah materi atau daging. Ia dibentuk dari debu tanah (Kej.
2:7). Akan tetapi, oleh nafas kehidupan yang Allah tiupkan ke dalam hidungnya,
ia menjadi makhluk yang hidup (nefesy
khaya). Atas dasar itu, pemeliharaan jiwa tidak hanya ditujukan untuk melakukan reksa rohani, tetapi juga mendorong
umat untuk mampu melayani sesama dalam dinamika hidup harian mereka.
Bandingkan, J. L. Ch. Abineno, Pedoman
Praktis untuk Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 2.
[9] Simon
Chan, Liturgical Theology: The Church as
Worshiping Community (USA: InterVarsity Press, 2006), p. 97.
[11] Simon
Chan, Liturgical Theology: The Church as
Worshiping Community, p. 97.
[12] Bandingkan, http://www.hidupkatolik.com/2015/02/06/katekese-liturgi-untuk-penghayatan-iman. Diunduh
pada Selasa, 17 Mei 2016 pukul 7:56.
[15] Y. B.
Prasetyantha (Editor), Ekaristi dalam
Hidup Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 139-140.
[16] Kenan B.
Osborne, Komunitas, Ekaristi, dan
Spiritualitas (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 147.
[17] Lihat, http://www.hidupkatolik.com/2012/02/13/jacobus-tarigan-pr-liturgi-dan-devosi. Diunduh
pada Selasa, 17 Mei 2016 pukul 9:53.
[19] Alejandro Garcia-Rivera and Thomas Scirghi, Living Beauty: The Art of Liturgy (New York: Rowman and Littlefield
Publishers, 2008), p. 30.
Komentar
Posting Komentar