Langsung ke konten utama

Dekalog: Sepuluh Firman Allah

JURNAL V
Kamis, 28 April 2016

Keluaran 20:1-17 berkisah tentang Allah yang menyampaikan firman-Nya kepada Musa untuk dinyatakan kepada bangsa Israel. Tradisi Kristiani meyakini bahwa ada sepuluh firman yang disampaikan Allah kepada Musa. Kesepuluh firman Allah itu sering disebut dengan istilah dekalog. Disebut demikian karena dekalog dianggap sebagai pernyataan utama dari tuntutan perjanjian.
Secara umum, dekalog tersebut terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama berkenaan dengan syarat dan perintah untuk menghormati YHWH. Bagian kedua merupakan syarat dan perintah yang mencakup semua tuntutan dasar baik yang bersifat religius, maupun moral dalam seluruh bidang kehidupan. Setiap perintah itu dinyatakan seluas mungkin, terkadang dengan keterangan yang detail (ayat 8-11), dan terkadang pula menghindari detail (ayat 13-15).
Menurut saya, ada dua hal menarik yang perlu dikaji lebih jauh terkait dekalog ini. Pertama, benarkah dekalog itu merupakan perintah yang berisi sejumlah larangan? Untuk menjawab pertanyaan problematif ini, dekalog perlu dipandang sebagai pernyataan dasar yang menjadi syarat mutlak dalam perjanjian antara YHWH dan Israel. Dekalog merupakan gabungan dalam satu teks yang tidak hanya berisi tuntutan khusus bagi orang Israel untuk hanya menyembah Yahweh saja, tetapi juga berisi sejumlah syarat moral yang penting dalam kehidupan bersama di masyarakat. Dengan demikian, dekalog lebih merupakan sebuah himbauan atau instruksi yang dialamatkan secara personal kepada Israel. Karena merupakan suatu anjuran, terminologi “Kamu seharusnya tidak...” jauh lebih tepat digunakan daripada terminologi “Jangan...” sebagaimana yang termuat dalam terjemahan bahasa Indonesia saat ini.
Hal kedua yang menarik untuk diperbincangkan adalah benarkah Musa yang telah menulis kesepuluh firman Allah pada dua loh batu? Tradisi Kristiani mengajarkan bahwa kesepuluh firman Allah itu ditulis oleh Musa pada dua loh batu atas kehendak Allah sendiri. Dalam perikop ini, kita tidak dapat menemukan ayat yang secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Kita baru menemukannya pada Keluaran 34:1: “...Pahatlah dua loh batu sama dengan yang mula-mula, maka Aku akan menulis pada loh itu segala firman yang ada pada loh yang mula-mula, yang telah kau pecahkan...”. Ulangan 5:22 menegaskan hal yang sama: “...Ditulis-Nya semuanya pada dua loh batu, lalu diberikannya kepadaku. ”Dalam kedua ayat ini justru dikatakan secara eksplisit bahwa Allah sendirilah yang menulis firman-Nya itu pada dua loh batu, bukan Musa. Musa hanya berperan menerima firman Allah yang tertulis pada dua loh batu itu dan menyatakannya kepada bangsa Israel.

Berpijak pada kedua ayat ini, tidaklah terkesan hiperbol apabila peran Musa sebagai penulis kesepuluh firman Allah itu, sebagaimana yang diajarkan tradisi Kristiani selama ini, dapat diragukan. Namun, bagi saya sendiri, masalah ini bukanlah yang paling penting. Lagipula, tidak ada yang pasti terkait dekalog ini sehingga kita tentu tidak dapat semata-mata mempersalahkan tradisi. Yang terpenting bagi kita ialah firman Allah itu sendiri. Karena terkait erat dengan keselamatan hidup kita, menjalankan apa yang difirmankan Allah itu jauh lebih berguna daripada memperdebatkan apakah benar Musa adalah penulis kesepuluh firman itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...