Langsung ke konten utama

Hubungan Manusia dengan Alam: Tinjuan Filosofis dan Praksis Pengelolaan Sampah

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM:
Tinjauan Filosofis dan Praksis Pengelolaan Sampah

Dalam rangka memeriahkan Dies Natalis STF Driyarkara yang ke-47, untuk yang kedua kalinya, Sie Diskusi mengadakan seminar bertemakan Lingkungan Hidup pada Senin, 25 April 2016. Dikemas dengan judul yang menarik: “HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM: Tinjauan Filosofis dan Praksis Pengelolaan Sampah”, seminar ini bertujuan memperdalam refleksi filosofis dan praksis kita mengenai relasi manusia dengan alam dalam implikasi konkret pada pengelolaan sampah. Dipandu oleh Ibu Lilian Budianto, MA selaku moderator, seminar kali ini dihadiri oleh dua narasumber, yakni Bapak Dr. A. Sonny Keraf (Dosen Universitas Katolik Atmajaya) dan Ibu Ir. Sri Bebbasari (Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association). Keduanya menyajikan dua pokok diskusi yang bertalian erat. Bapak Sonny Keraf secara filosofis meninjau hubungan manusia dengan alam dalam upaya pengelolaan sampah, sementara Ibu Sri Bebbasari lebih merujuk pada tataran praksis. Kedua pokok ini tentu mengarah pada satu tujuan yang sama: membangun relasi harmonis antara manusia dengan alam ciptaan.  

Tinjauan Filosofis Pengelolaan Sampah
Mengawali presentasinya, Sonny Keraf mengajukan sebuah pertanyaan informatif: “Apa itu sampah?”. Secara umum, sampah dapat diartikan sebagai sisa-sisa makanan atau barang-barang yang tak terpakai lagi dan karena itu layak dibuang. Pertanyaan lanjutan yang diajukan ialah apakah konsep mengenai ‘sampah’ itu memang demikian adanya? Ataukah pemahaman kita terhadap ‘sampah’ itu justru merupakan hasil dari paradigma berpikir kita sendiri?
Terkait pertanyaan problematif ini, mantan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia dan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup periode 1999-2001 itu kemudian menyatakan bahwa sikap dan perilaku manusia terhadap alam semesta dipengaruhi oleh paradigma berpikir kita tentang hakikat alam semesta. Menurutnya, ada dua paradigma berpikir kita yang memancing tindakan pengrusakan terhadap alam. Pertama, paradigma berpikir antroposentris. Paradigma ini memandang manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, sebaliknya alam semesta dianggap sebagai yang tidak memiliki nilai intrinsik pada dirinya sendiri, selain nilai instrumental-ekonomis. Alam baru dipandang berguna ketika dan hanya jika bermanfaat secara ekonomis. Paradigma ini lantas melahirkan perilaku eksploitatif eksesif terhadap alam sebagai komoditas ekonomi dan alat pemuas kepentingan manusia.   
Kedua, paradigma berpikir mekanistis-reduksionalitis. Paradigma yang dipengaruhi oleh filsafat Rene Descartes dan fisikawan Isaac Newton ini memandang alam semesta sekadar sebagai mesin raksasa yang terdiri dari bagian-bagiannya yang terpisah. Alam semesta, termasuk organisme, hanya terdiri dari materi yang pada dasarnya adalah sebuah mesin. Pemahaman dasariah atasnya hanya dapat diperoleh dengan cara menganalisis dan mereduksi bagian-bagiannya yang terpisah itu.
Terhadap kedua paradigma berpikir kita yang anti-ekologis ini, Keraf menawarkan suatu solusi. Bertolak dari pemikiran Fritjof Capra, seorang fisikawan dan filosof lingkungan hidup, ia mengusulkan agar kita melakukan perubahan paradigma secara radikal dari paradigma antroposentrisme menjadi biosentrisme, atau bahkan ekosentrisme dan dari paradigma mekanistis-reduksionalitis menjadi paradigma sistemis-organis. Paradigma biosentrisme, atau bahkan ekosentrisme merupakan sebuah paradigma yang memandang alam sebagai sama pentingnya dengan manusia. Justru karena di dalamnya terkandung kehidupan, baik kehidupan manusia itu sendiri, maupun kehidupan makhluk hidup lainnya, alam mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, alam juga harus dihormati dan dijaga kelestariannya. Sementara itu, paradigma sistemis-organis, yang disebut juga sebagai paradigma ekologis, merupakan suatu cara pandang terhadap alam sebagai sebuah sistem kehidupan yang utuh. Karena alam semesta merupakan sebuah sistem kehidupan, dan bukan sebuah mesin raksasa, alam semesta harus didekati secara berbeda. Alam semesta tidak lagi didekati dengan dominasi dan kontrol, tetapi dengan sikap hormat, kerjasama, dan dialog. Mengutip St. Fransiskus Assisi, alam semesta perlu juga dipandang sebagai saudara ataupun saudari. Kedekatan relasi ini tentu mendorong kita untuk selalu bersikap dan berprilaku bijak terhadap alam dengan mempertahankan harmonisasi dan menjaga keseimbangan ekosistemnya. Dalam tataran praksis, paradigma ini membantu kita untuk melakukan tindakan pengelolaan sampah secara bijak tanpa merugikan manusia di satu pihak, dan alam ciptaan di lain pihak.

Tinjauan Praksis Pengelolaan Sampah
Ibu Sri Bebbasari, dalam presentasinya, memaparkan sejumlah fakta terkait pengelolaan sampah, terutama di wilayah DKI Jakarta. Pada umumnya, fakta-fakta yang diperlihatkan itu menunjukkan bahwa tindakan dan mekanisme pengelolaan sampah di Ibukota masih jauh dari harapan. Berpijak pada fakta-fakta tersebut, penerima Kalpataru 2016 Kategori Pembinaan Lingkungan Hidup ini menyajikan lima aspek penting yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan sampah secara efisien. Kelima aspek tersebut adalah 1) aspek hukum; 2) aspek kelembagaan; 3) aspek pembiayaan; 4) aspek teknologi; dan 5) aspek sosial-budaya.
Aspek hukum merupakan aspek dasariah dalam sistem pengelolaan sampah. Dengan diberi landasan hukum, pengelolaan sampah diharapkan dapat dilakukan secara efektif. Pemerintah menanggapi secara positif harapan ini dengan menetapkan UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Aspek kelembagaan merujuk pada tindakan koordinasi dan kerjasama antarlembaga terkait pengelolaan sampah. Dalam hal ini, pemerintah dan lembaga-lembaga terkait lainnya perlu membangun kemitraan dengan masyarakat sehingga pengelolaan sampah dapat berlangsung secara maksimal. Aspek pembiayaan terkait erat dengan seberapa banyak uang yang diperlukan agar pengelolaan sampah itu dapat berjalan optimal. Sangat diharapkan agar pemerintah sebagai instansi yang berwenang secara yuridis tak perlu ragu mengeluarkan biaya untuk pengelolaan sampah. Untuk aspek ini, kita perlu belajar dari negara tetangga, Singapore dan Jepang, yang rela mengeluarkan biaya dalam jumlah besar untuk keberhasilan pengelolaan sampah. Jika aspek teknologi mengacu pada cara atau metode yang kita gunakan dalam proses pengelolaan sampah, aspek sosial-budaya lebih pada upaya mensosialisasikan cara dan manfaat pengelolaan sampah itu kepada masyarakat. Menanamkan budaya bersih lantas menjadi prioritas tindakan preventif ini.
Kelima aspek ini bertalian erat satu dengan yang lain. Agar pengelolaan sampah dapat dilakukan secara maksimal dan optimal serta efektif dan efisien, kelima aspek ini tidak dapat tidak terpenuhi. Selain itu, hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah kita harus mampu mengubah mindset dan perilaku kita sendiri. Seperti judul lagu yang dipersembahkan oleh F-Minor Band dalam seminar tersebut, perubahan radikal ke arah yang lebih baik berawal dari diri sendiri, yah “Kumulai dari diri sendiri”.  
Pertanyaan reflektifnya sekarang ialah kapankah perubahan radikal itu terjadi? Jika Jepang membutuhkan seratus tahun untuk menanamkan budaya bersih dan Singapore membutuhkan waktu lima puluh tahun, berapa tahunkah yang dibutuhkan Indonesia untuk melakukan hal yang sama? Dalam konteks ini, adagium klasik: “Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?” menjadi relevan. Sudah saatnya kita menjadi Green Consumer.

(Penulis: Fernando R. B. Nujun, mahasiswa semester IV STF Driyarkara)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...