Langsung ke konten utama

Pandangan Inklusivisme dan Penegasan Iman Gereja



Tanggapan Positif pada Inklusivisme dan Penegasan Iman Gereja:
Yesus Kristus Tetaplah Sang Penyelamat Satu-Satunya

Persoalan teologis yang terus-menerus dihadapi umat Kristiani, terutama dalam kaitannya dengan tugas perutusan universal Gereja dan dialog antaragama adalah pandangannya mengenai Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan. Posisi inklusif Gereja ini dianggap ‘mengganggu’ dan dinilai ‘menghambat’ terjalinnya relasi harmonis antaragama baik oleh para tokoh terkemuka dari agama-agama lain, maupun oleh para teolog pluralis (yang gagasan-gagasannya mengenai dialog antaragama cenderung jatuh pada relativisme) dari agama Kristen itu sendiri. Pada umumnya, mereka sama-sama berpendapat bahwa inklusivisme Kekristenan sesungguhnya memperlihatkan arogansi dan superioritas Gereja itu sendiri atas agama-agama lain, meskipun Gereja (setelah Konsili Vatikan II) mulai bersikap rendah hati dan lemah lembut dengan menghormati serta mengakui segala sesuatu yang baik dan benar pada kepercayaan-kepercayaan lain.
Berbeda dengan pandangan di atas, sebagai pengikut Kristus dan anggota Gereja, saya secara positif menanggapi posisi inklusif Gereja. Saya mengimani Yesus Kristus sebagai Sang Penyelamat satu-satunya. Saya meyakini bahwa perutusan Kristus ke dalam dunia adalah rencana terbesar Allah untuk membebaskan umat manusia dari belenggu dosa. Itulah sebabnya Kristus menegaskan identitas dirinya sebagai jalan, kebenaran, dan kehidupan. Jadi, saya tetap percaya bahwa satu dan hanya satu jalan menuju keselamatan, yaitu Yesus Kristus. Melalui Dia, semua orang baik yang Kristen maupun non-Kristen sampai kepada Allah. Dia akan selalu dan senantiasa menjadi penyelamat umat manusia untuk selama-lamanya.
Tanggapan positif saya terhadap inklusivisme Gereja sekaligus mempertegas iman Kristiani saya. Penegasan iman ini tentu berpijak pada Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium Gereja yang tidak lain ialah sumber bagi iman Kristiani saya. Salah satu magisterium Gereja yang saya gunakan untuk mengukuhkan posisi saya adalah Ensiklik Bapa Suci St. Yohanes Paulus II tentang Amanat Misioner Gereja, Redemptoris Missio (1990). Dalam ensiklik tersebut, Bapa Suci menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Sang Penyelamat satu-satunya (RM 1). Menurut Bapa Suci, peristiwa penebusan Yesus Kristus membawa keselamatan kepada semua orang. Setiap orang termasuk dalam misteri penebusan dan melaluinya, Kristus mempersatukan diri-Nya dengan umat manusia untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, hanya dalam iman akan Yesus Kristus-lah, tugas perutusan Gereja dapat dipahami dan memperoleh landasannya (bdk. RM 1, art. 4).
Menurut St. Yohanes Paulus II, keyakinan Gereja akan keunikan Yesus Kristus sebagai Penyelamat satu-satunya bukan tanpa dasar. Yesus Kristus, Tuhan yang diimani umat Kristiani, mengatakannya sendiri, yakni bahwa tanpa melalui Dia, tidak ada seorang pun datang kepada Bapa (bdk. Yoh. 14:6). Dengan demikian, keselamatan yang ditawarkan Yesus sesungguhnya bernilai universal, artinya berlaku bagi semua orang. Karena universalitas keselamatan itulah, para murid diutus oleh Kristus sendiri untuk mewartakannya kepada semua orang (bdk. RM 1, art. 5).
Menariknya, pewartaan para rasul tersebut sama sekali tidak bertentangan, tetapi justru sebaliknya senantiasa terarah kepada kebebasan manusia (RM 1, art. 7,8). Dengan kebebasannya, manusia dapat menerima ataupun menolak tawaran keselamatan Allah tersebut. Akan tetapi, hidup manusia menjadi sungguh bermakna, ketika ia dengan kebebasan yang dimilikinya tidak saja membangun relasi horisontal dengan sesama, tetapi juga relasi vertikal dengan Yang Mutlak. Di sinilah suara hati berperan penting. Oleh karena itu, pewartaan iman Kristiani yang dilakukan dengan sikap hormat terhadap suara hati, tidaklah memperkosa martabat kebebasan. |
Gereja adalah ahli waris pertama keselamatan itu, sebab Kristus memenangkan Gereja bagi diri-Nya sendiri dengan menumpahkan darah-Nya. Ia menjadikan Gereja sebagai partner untuk bekerja sama dalam penyelamatan dunia. Ia berdiam di dalam Gereja dan menjadikannya sebagai mempelainya. Karena Dia-lah, Gereja dapat bertumbuh. Pada akhirnya, Ia melaksanakan tugas perutusan-Nya melalui Gereja. Itulah sebabnya, Gereja menjadi tanda dan sarana keselamatan (bdk. RM 1 art. 9). Akan tetapi, keselamatan di dalam Kristus tersebut tidak hanya dianugerahkan kepada Gereja saja, tetapi juga kepada semua orang yang berkehendak baik. Atas dasar itu, Gereja harus menjalankan tugas perutusannya yang universal. Tugas perutusan merupakan masalah iman karena ia menjadi tolok ukur yang tepat dari iman Gereja akan Kristus dan akan cinta-Nya kepada Gereja (bdk. RM 1, art. 11).

Tanggapan Kritis terhadap Pandangan Negatif Kaum Pluralis
Dengan mengutarakan posisi saya sebagai orang Kristiani, saya tidak bermaksud memandang rendah agama-agama lain. Di satu sisi, saya tetap menghargai upaya untuk membangun dialog antaragama demi terciptanya relasi harmonis antarpenganut pelbagai kepercayaan itu sendiri. Akan tetapi, di sisi lain, saya harus tetap menegaskan kekhasan identitas kekristenan saya dengan mengakui dan mengimani Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan.
Berpijak pada keyakinan tersebut, saya dengan berani menyatakan ketidaksetujuan saya terhadap pandangan para tokoh terkemuka dari agama-agama lain dan para teolog pluralis/relativis dari agama Kristen itu sendiri yang cenderung menilai secara negatif posisi inklusif Gereja. Meskipun pandangan mereka merupakan kritikan pedas terhadap Kekristenan, saya tetap menganggap kritikan tersebut tidak pada tempatnya. Menurut saya, jika mereka bermaksud membangun dialog yang sejajar atau berupaya menyetarakan posisi iman antara agama Kristiani dengan agama-agama lain, yakni dengan cara menolak iman Kristiani akan keunikan pribadi Yesus Kristus dan bahkan memaksa para penganutnya untuk melihat pribadi Yesus Kristus tidak lebih tinggi dari para pendiri agama-agama lainnya, maka mereka justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan hakikat dialog yang jujur antaragama itu sendiri.
Dialog antaragama merupakan relasi yang positif antarumat beragama. Dialog menjadi sarana atau cara kita untuk hidup bersama. Dialog terjadi karena adanya perbedaan. Oleh sebab itu, dalam berdialog dengan agama lain, saya mau tidak mau menyatakan keunikan iman saya, yaitu bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan. Dalam dialog tersebut, para penganut agama lain bisa saja mempertanyakan iman saya. Tambahan pula, dialog antaragama dapat juga menyebabkan beberapa orang Kristen mualaf ataupun sebaliknya, beberapa dari antara mereka bertobat menjadi Kristen. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah berarti agama Kristen sama saja dengan agama-agama lain. Penyamarataanlah yang justru dihindari dalam membangun dialog antaragama. Dengan demikian, dalam berdialog, tugas saya sebagai seorang Kristiani sebenarnya adalah memperdalam iman saya sendiri di hadapan perbedaan. Dengan kata lain, saya harus menjadi seorang Kristiani yang lebih baik lagi, bukan malah mempertobatkan orang lain atau bahkan membuat umat  beragama lain menjadi semakin baik berdasarkan keyakinannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Aku adalah Aku", Arti Sebuah Nama

JURNAL III Kamis, 14 April 2016 “Aku adalah Aku”. Inilah nama yang diperkenalkan Allah kepada Musa. Nama Allah tersebut sebenarnya adalah terjemahan dari “ EHYEH ASYER EHYEH ”. Akar kata EHYEH itu sendiri adalah HYH yang diartikan sebagai “Ada”. Kata “Ada” kemudian merujuk pada waktu yang belum selesai, masa kini dan masa depan (sebentuk imperfek). Dengan demikian, kata ini, dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan secara harafiah sebagai ‘Aku adalah Aku yang sekarang Ada; Aku adalah Aku yang akan Ada. Yang hendak ditekankan di sini sesungguhnya ialah sifat dari Yang Ilahi, yakni yang tidak dapat mengenal waktu. Dengan kata lain, Yang Ilahi itu bersifat kekal. Dalam dimensi kekekalan itu, tersingkap pula sifat misteri dan transendensi dari Yang Ilahi. Kata HYH kemudian berkembang menjadi YHWH. Dalam bentuk orang ketiga, HYH menjadi YIHYEH atau dalam bentuk yang lebih tua ialah Yahweh. Yahweh itu sendiri dapat diartikan sebagai ‘Dia yang menyebabkan apa yang ada’. Segala sesuatu ...

Katekese Dasar

Bagian Pertama: Katekese Dasar 1.1 Beberapa Materi Pokok dalam Matakuliah Katekese Dasar 1.1.1   Pengertian Dasar Katekese Katekese berasal dari kata benda bahasa Yunani katēchēsis; katēchein dengan akar katanya, kat (keluar/ke arah luar) dan echo (gema/gaung). Dengan demikian, secara etimologis, katekese berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar berupa pengajaran lisan yang sistematis. Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21). Meskipun terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, kekhasan katekese, yakni sebagai inisiasi, pendidikan, dan pembinaan, tetap dipertahankan (DKU. 31). Dalam beberapa dokumen gereja, seperti Evangelii Nuntiandi (artikel 44), katekese menjadi sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi katekese sendiri berisikan wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyela...

Makna di Balik Si vis Pacem, Para Bellum

JURNAL I Kamis,31 Maret 2016 Sebuah pepatah Latin klasik berbunyi demikian: “ Si vis Pacem, Para Bellum ”. Artinya, ‘Jika engkau mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Dengan rumusan yang berbeda, Flavius Vegetius Renatus --sekitar tahun 400 M, di dalam kata pengantar De re Militari -- menyatakan hal yang senada: “ Qui Desiderat Pacem, Bellum Praeparat ”. Artinya, ‘Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk berperang’. Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan, kedua pepatah ini perlu ditafsir secara bijak dan kritis. Pepatah-pepatah tersebut tentunya tidak bermaksud negatif. Dalam artian, memotivasi orang untuk terlebih dahulu menciptakan situasi ketidaknyamanan (perang, misalnya), sebelum akhirnya dapat menciptakan situasi nyaman penuh kedamaian. Lagi pula, ini bukan masalah seputar ‘mana yang terlebih dahulu’ atau ‘mana yang lebih kemudian’. Mengapa? Karena dengan pemahaman yang demikian, orang dapat mengalami kesesatan berpikir. Perdamaian lalu dili...